Hari Yang Baru

Kembali ke sini, Jabal karamuntiang, terjal memalingkan wajahnya kebarat, landscape Kota Padang nan kucintai terbentang pasrah menghadapi apapun kehendak dunia nanti, kicauan burung berirama menelusup gendang telinga, indah bukan?. Cerita buku tulis basah seorang murid Sekolah Dasar, tatapan penuh harap pengamen cilik, begitu judul-judul menggugah nurani sekotah makhluk berbudi pekerti luhur. Langit licin menyingsingkan kumpulan awan bertabuh, matahari rendah menjilat kulit sang laut, gemingan angin membuai ujung-ujung nyiur tertatah-tatah gemulai menari manja. Dewi warna melentikkan jemari menjulang berdiri menopang samudra laksana menjamah ikan kecil dibalik serpihan karang. Lihatlah diriku terpesona saat alam menyihir setiap saraf dalam cembungan tulang tengkorak seluruh volume otakku, liar menjalar ke pelosok paling dalam di diriku. Kudapati badanku tak kuasa menghitung keagungan tuhan, Subhanallah, kuraih sebiji butir tasbih, aku takut Engkau marah lagi, mengusik setiap mata yang mengatup lelah.

Tuhan, apakah selama ini aku menyakiti manusia lain?. Kujawab sendiri, banyak. Banyak sekali.

Tuhan, apakah Kau mengampuniku jika aku memohon padamu?. Aku yakin tuhanpun menjawab dengan iya.

Lega sudah, setiap ornamen yang melekat disetiap jengkal raga, pilar-pilar merentang sempurna menegakkan tubuhku. Kuberanikan diri melawan godaan setan yang semangat juang melemahkan keimananku beserta umat manusia lainnya, sekeras apakah mereka menggodaku, metode apa yang digunakan, sehingga kerasnya hatiku masih bisa mereka lumpuhkan takhluk sirna terbang bagai debu kecil tak kasat mata, sungguh setan musuh yang sangat nyata.

Jangan tumpahkan, bawa sedikit yang tak berguna itu melawan bibit-bibit murka hina menjauh dari hidup. Tak tentu apa yang kupikirkan, sejuta ambisi, sejuta ide-ide kreatif, hanya satu bintang rating lekat menilaiku sopan. Oh begitu, ternyata aku belum siapa-siapa, ingatlah, belum siapa-siapa, bukan tidak siapa-siapa. Kamu akan menyesal tidak mengenalku, tapi aku belum siapa-siapa, kecewa.

Kelewati alur misteri mencekam disela-sela pertukaran hembusan nafas sengauku ini. Putih membiru menerjang badai dinihari. Apa yang kupikirkan, jodoh, itulah yang sedang kupikirkan, aku penasaran menunggu janjimu tuhan, kadang berdebar-debar sebegitu hebatnya gendang kulit jantungku ini, ditabuh bayang sudut senyum rautan wajahnya. Mengapa begitu terus, bodoh!. Dua unsur berkejar-kejaran beradu pintar. Sudahlah siapa yang berjanji? Dia bertanya. ”Tuhan, tuhan berjanji kepadaku”,! Lantang darahku bersorak-sorak bergemuruh mendukung tuannya. Apakah kau percaya janji itu?, tentulah aku percaya, janjimu yang kau tepatipun kadang aku tak percaya.

Kubujuk mataku, kumendekap dikeheningan malam, dekapan termesraku, tersenyum menjawab sapaan manja angin malam, angin-angin berbaris siap menebak setiap konundrum dalam hidupku. Kadang membekap dada takjub dan kagum menemui jawaban sejuta pesona dalam garis tarikan senyum diwajahku yang hampa. Mengapa begitu, ah biasa saja, aku sedang bermain kata-kata, jangan ganggu, nanti aku kalah, malam itu, aku senang, tapi aku tak mau membaginya. Apapun yang kulakukan, tentu aku punya alasan yang kuat untuk itu. Jika dia mau, aku pasti mau. Jika tidak mau, disana masih ada yang benar-benar berdiri tegap tak berkutik menungguku, oh begitu, dia disembunyikan dulu. Hehe, mataku kembali terang satu bar line. Dadaku lebih luas sekian mil, hatiku senang, tapi kenapa, kenapa aku mengharapkan dia? Apakah hubungannya dengan rahasia tuhan? Apakah aku berhasil menebak rahasia itu? Astaga, aku semakin tak karuan memakai beberapa persen kalori yang telah tersimpan untuk besok pagi.

Acara yang diangkat dalam bungkusan pekan jurnalistik untuk pertama kalinya sukses terlaksana, meskipun dengan berbagai cela dan hina, hiruk pikuk meramu peraduan terpal hijau khas plesetan Gempa Andalas, bisikan pujian fatamorgana, sedikit meyisir keringat kecil mengintip di pori lapisan kulit ari, sebelum acara dimulai, sebelum terompet start dikumandangkan nyaring berliku-liku, kuyakini bahwa secara skill aku memadai, aku bisa walau aku tak mampu.

Jaring-jaring menyusup radius pandangan mata, hari ini kuliah libur, oh maaf, aku meliburkan diri, mengapa? Barang tentulah menjaga stand bazaar yang memburuhkan mahasiswa latah tak menentu arah saja. Dagangan kugelar diatas meja kayu beralaskan potongan kain batik yang disemat di pinggirnya dengan sebuah lipatan unik, ah mereka bisa saja membuat rakyat jelata menjadi Rama. Mereka calon ahli-ahli ekonomi yang handal, calon manager yang bergaya rapi apik menyeruakkan buih-buih di hati pemandang yang sangar, para pemain kata, teknisi setengah jadi, atau komentator bual membual.

Kecuali aku seorang sosiolog memperhatikan tingkah laku mereka semua, salah… salah besar, aku bangga menyebut diriku seorang pengusaha, atau seorang penulis, atau seorang sutradara.

Gaya dangudutan lagu enampuluhan atau tujuhpuluhan, delapanpuluhan sama saja, lantang masuk ke mic condenser sensitifitas tinggi mengalir ke kabel-kabel diserap dan menyisakan suara audiosonic lebih besar dalam waktu sepersekian detik dalam kotak pengeras suara.

Tali temali berpegangan berteman mengapit sebatang potongan bambu tua kering menguning, ditengah gedung seperti bulevar keramaian, kinerja para bumiputera melayangkan pandangan mata para pejalan kaki, shopper, banker, atau mahasiswa. Toh, kalian semua juga senang menjajakan wajah menebar pesona, jarang-jarang yang dilirik seperti itu diluar sana. Aku lebih baik tidak, aku masih kecil, aku masih dikaji banyak pediatris-pediatris masa kini. Oh, sombongnya aku.

Kuhadapkan lensa bening mengikat seraut wajah mengelak malu, pas dan kucuri lukisan alam itu menjadi sebuah gambar resolusi yang lebih baik, berjalan keluar mencari angin yang bersembunyi terus, tak pernah menampakkan dirinya, sifatnya suka mengelus manja benda-benda yang ada. Kuarahkan kembali keatas awan sana berharap ada Pegasus muncul berpose menunggu lensa terbuka, ternyata tidak ada, sejak saat itu banyak anggota mendadak mengidap narsisme, hebat sekali, rasakanlah memikul tanggung jawab.

Kubalikkan badanku berharap dia berdiri puas memandangku dari belakang, tapi kok salah terus, tak ada sesiapa disana. Selalu saja mendramatisir keadaan, burung puyuh menyambut hari baru meninggalkan sarang mereka yang penuh kelompang-kelompang, menghararapkan tempat yang lebih baik lagi, yang tak terusik oleh pemangsa. Aku melamun dipinggir teras disamping tiang penyangga, bersandar bergaya klasik, terbenam dalam jingganya sore, memandangi pucuk-pucuk gedung kampus, juga pucuk-pucuk daun kelapa. Tersentak azan membangunkan manusia, engsel itu menjerit saat daunnya kudorong perlahan. Kuharapkan air ini mensucikan jiwa dan ragaku.

Hilir lagi mencari, kemudian lebih hilir, belum juga bersua, mudik saja tapi disana tadi sudah, kurindu secercah cahaya yang menerangi ruang karoten mata dan membangunkan sang kornea. Adakah pencerahan itu selalu datang?.

Aku datang untuk itu, kesana kemari mencari untuk itu, kutakkan menyerah, pasti musuhku menertawakan saat melihatku menyerah, aku harus tetap berdiri menutup telinga.