Antara Birokrasi, Modernisasi dan Dependensi

Ironis memang, saat pelayan dengan sendirinya berubah fungsi menjadi majikan. Bagaimana tidak, birokrasi yang pada dasarnya adalah sebagai sebuah piramida yang di puncaknya adalah pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, dan para birokrat-birokrat yang dipekerjakan sangat banyak, sebagai alas piramida. Disini, masyarakat masuk melalui alas-alas piramida, dan birokrasilah sebagai jembatan penghubung antara masyarakat dengan pemerintah. Namun, permasalahan yang terjadi dengan hal perubahan status pelayan menjadi majikan ini adalah, pembangunan yang cenderung bersifat top-down, bukan bersifat bottom-up.
Pembangunan yang diartikan sebagai sebuah modernisasi kehidupan, teori pembangunan boleh saja mengoarkan statement yang memberikan standar modern bagi setiap kehidupan masyarakat, inilah yang saya maksudkan dengan pembangunan yang bersifat top-down, pemerintah menempatkan dirinya sebagai pembuat pembangunan, atau actor yang akan melakukan perubahan, karena dibayangi dengan teori modernisasi. Namun, bisakah kita mengubah need (kebutuhan) masyarakat itu yang sejak dahulu menjadi culture kehidupan social mereka. Saya asumsikan seperti pembangunan yang terjadi di kota padang, jika di kota padang masyarakat itu dikatakan modern jika mempunyai rumah dengan standar tipe 36 dan mempunyai sistem MCK yang baik. Ketika pemerintah ingin me modernkan masyarakat mentawai dibangun rumah bagi penduduk dengan tipe yang sama, apa yang terjadi?
“Masyarakat butuh beras kok yang dikasih Bola Kaki”!
Nah, inilah pembangunan top-down, perumusannya berdasarkan apa yang ada di pikiran pemerintah.
Pernah kejadian, pembangunan rumah tipe 36 di mentawai bagi penduduk setempat, namun apa yang terjadi, tiga hari setelah ditempati penduduk kabur kembali, masuk ke hutan lagi. Ini bukan satu-satunya contoh, coba kaji lagi tentang pembangunan MCK di penduduk suatu daerah di Jambi, dan kasus yang terjadi di Kalimantan, terdengar kabar bahwasanya penduduk akan mendapatkan dana untuk pembangunan sebanyak 20 juta, Moral Hazard, inilah mastermind dari kasus ini, para MH ini mengadakan Impor sapi, penduduk diarah-arahkan supaya beternak sapi, disini ada interest yang bermain, kepentingannya adalah supaya mereka dapat mencicipi dana tersebut dengan pengadaan sapi, bagaimna kelanjutannya, penduduk tentu dilambung dengan angan-angan para MH, pertimbangannya adalah, penduduk tidak mengetahu tentang peternakan sapi, jadilah sapi yang mereka beli kurus-kurus, bahkan banyak yang mati.
Mungkin kita akan kaji lagi tentang teori modernisasi pembangunan, seharusnya pembangunan itu bersifat bottom-up, apa-apa yang dibutuhkan masyarakat, itulah yang dikerjakan, supaya pembangunan itu tepat sasaran, benar-benar need dari masyarakat, dengan begitu banyak pengertian dan pembuktian teori modernisasi, terdapat satu bentuk kritikan yang tidak bisa dihindarkan itu adalah bahwa culture kehidupan masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja, jelaslah bahwa teori modernisasi jika kita lintaskan dengan teori dependensi bisa melahirkan sebuah sintesis baru seperti yang pernah dikemukakan Hegel. Jadi, tak ada teori itu yang mutlak benar, hanya ada sebuah perspektif.
Kembali lagi ke permasalah birokrasi negeri ini, birokrasi merupakan jembatan yang menghubungkan pemerintah dengan masyarakat dengan begitu banyak kepentingan. Kalimat tersebut cenderung menganggap pekerjaan birokrasi terlalu terinjak dalam organisasi birokrasi, sebagai sebuah titik tolak dalam keberhasilan pembangunan juga birokrasi, jangan sampai sebuah pembangunan itu salah sasaran, jangan sampai terjadi yang namanya salah garuk, “jidad yang gatal kok malah pantat yang digaruk”.

(TIDAK DI PRODUKSI UNTUK UMUM)
0 Responses