Cerita Bunga Kayu

Belum habis kukunyah satu gigitan pisang rebus itu, dia datang dengan senyuman yang berirama, kemelut lilitan pembuluh darah disela-sela otot penjaganya berdesir merayap menopang sebuah viva. “Sudah, lakukan apa yang saya inginkan, atau saya akan melakukan apa yang tidak anda inginkan” jemarinya bermain menyisir sudut kesudut air mukanya yang sudah merusak lelehan ronanya, jauhi semua yang berada didekatku, kau tahu artinya, aku sudah katakan berulang-ulang, bahkan ketika ibumu memetik pucuk daun singkong di halaman belakang tuan tanah ber-anting emas itu.

Sialan kau bedebah! Beraninya kau menampakkan amarah ifrit mu itu didepan pria berkacamata tebal itu, engkau tahu itu siapa? Tulang kakinya kokoh berdiri, bangkit dari kursi panjang sekenanya.

Berapa kali kau harus menampakkan muka kampungmu itu bersama dengan baju konspirasi merah delapan berkancing lepas satu yang kau kenakan.

Jangan berpura-pura bermain air sabun, mulutmu tetap berbusa, ludah aseton mu itu merusak gerigi kulit buaya di kubangan dekat pematang.

Terimalah ini sebagai kapsul pengobat diaremu, dewa Eros belum pulang, dia akan memberikan tongkat sihirnya kalau kau tidak penakut lagi. Kalau gadis itu punya ayah, dan ayahnya penikmat helaian ganja kering, kamu pasti dibolehkan membawa anak gadisnya kalau kau beri dia daun berjari itu. Atau kau tambahkan saja sedikit kopula ditengah kalimat rayumu yang centil, kalau belum cukup belajarlah dulu, disana ada gudang kertas bekas, disampingnya kalau kau belum tahu, saya akan beritahu, tempat tinggal seorang… tunggu dulu, dia putus asa melihat kekasihnya yang terus mencampakkannya, padahal dia punya banyak cadangan cinta… aku bingung bagaimana menggambarkannya, ah, tidak begitu penting, dia seorang pujangga, belajarlah, kalau kau belum bisa mendekatinya, sebelum kau belajar rayu-merayu padanya, belajarlah dulu mendekatinya. Aku mau bercukur dulu, kumis dan cambang ini membuat istriku geli. Kalau kau sudah mencampur pekerjaanmu, dan menjamu perasaanmu, bolehlah kalau kau panggil aku lagi kerumahmu, aku masih punya simpanan nasehat baik bagimu, tapi jangan kau lupakan lagi teh saring yang pahit tolonglah kau bagi sedikit.

Onggokan jerami kering, atau lelehan purga yang kau mau, tentu tidak, walaupun empuk, jerami banyak miang nya, lelehan purga juga tak begitu bagus untuk bermenung menyaksikan nafasmu yang beruap. Sekarang dia pasti sedang menajahit, mengayuh pedal mesin jahit itu, semoga dia menangkap bayang-bayang tubuhku disela retina matanya yang tertuju pada ujung jarum, kalau iya, sudah tentu dia akan melirik ayahnya yang sedang terbaring malas di kursi goyangnya.

Aku sungguh melihat cinta yang kau punya, sungguh-sungguh berkata begitu, tapi apakah kau tahu, ayahmu adalah seorang bandit atas cinta kita berdua, ah, atau kadang yang aku tak suka, cinta kita berdua yang sedikit dari cintamu juga telah dicuri orang, aku merasakan begitu, semoga rasa ini sebuah fiktif yang hanya mengibuliku.

Satu-satunya kalau bisa, itu jika ayahmu sudah buta, atau lupa akan segalanya. Barulah benih-benih cinta itu akan kutumbuhkan dekat dari halaman hatimu. Setiap hari yang lalu aku dapat melihatmu sepenuhnya, tapi dari belakang. Karena, kau tak pernah tahu siapa aku. Karena sesungguhnya akulah yang mengarang fiksi. Cinta itu huruf-hurufnya, dan kamu adalah suspect dari peliharaan jiwa khayalku.

Ceritaku bersambung, tapi aku lupa kalau kata-katanya telah kuhapus dalam kamus tebal yang rusak di bagian sudutnya. Dari tadi aku mengingatnya, tapi tetap saja lupa, nah, sekarang aku sudah menulisnya, kalau aku lupa, lupakan saja.

Dia datang lagi, masih belum menerima, perlakuan sang patih berbisa kepadaku, aku saja tidak mempermasalahkan lagi apa yang terjadi di warung tadi siang, teman,! Dia selalu peduli dengan nasibku disaat aku sendiri tak memperdulikannya.

Panah demi panah kusambut setiap hari, perisai ku hanyalah sahabatku, lara pun tak kunjung hilang, dukaku selalu merogoh sisa-sisa keringat untuk esok. Mentaripun tak mampu menghadirkan kehangatan seperti hangat yang dirasakan mereka, jadilah aku akan menunggu!!!

Terima kasih teman, telah meluapkan pembelaan untukku, telah menunjukkan guru pujangga untukku yang sedang dalam penyamaran kacamata tebal. Kuinginkan dia!

0 Responses