Peluh Ibu


Ibu, bara tempurungnya masih ada, baju ibu mau ku setrika tidak?
“Tidak usah nak, ibu hanya kepasar jualan sayur, tak perlu terlalu rapi. Setrika saja baju sekolahmu supaya licin, anak gadis harus rapi lho.”
Itu jawaban singkat ibuku, sudah jam sepuluh malam, biasanya kutemani beliau mengikat sayuran untuk dibawa ke pasar esok pagi-pagi buta. Tapi besok aku akan ujian EBTANAS, jadinya aku tidur lebih awal dan biasanya juga aku memang selalu tertidur lebih awal dari ibu. Aku tidak tahu jam berapa ibu tidur, pun tidak tahu jam berapa ibu terjaga. Atau mungkin ibu tidak pernah tidur?

Ibu jarang membangunkan kami dipagi hari, sebelum pagi ibu sudah tidak ada di rumah. Ayam saja belum berkokok, ibuku sudah keluar dari rumah. Ibu selalu membawa peralatan untuk shalat. Ia pun berjalan dari rumah kepasar hanya pakai sandal jepit saja, sepasang sandal yang dulunya untuk ibu dan ayah. Jika ibu membawa sandal, ayah kemana-mana tidak pakai sandal.

Aku sering ikut dengan ibu, dulu semasa ayah masih ada. Aku dibuatkan tas karung kecil, ibu sendiri yang menjahitnya, karena aku berhasil membujuk ibu untuk mengajakku ikut serta bersamanya walaupun susah sekali aku dibangunkan. Ketika kami sudah terjaga pada pagi harinya, sayur mayur yang akan dibawa sudah diletakkan di halaman dekat rerumputan supaya segar tersiram embun. Tas karung kecil yang akan kubawa sama persis seperti ibu, tapi karungku hanya bisa diisi lima ikat sayur, sedangkan ibuku sampai lima puluh ikat.
Kami berjalan berdua anak beranak. Lolongan anjing masih terdengar di sana-sini. Kupegang erat-erat baju ibu, hingga aku benar-benar merasa aman bersamanya. Ketika sampai, pasar masih belum ramai. Azan subuh telah berkumandang dan ibu bergegas sembahyang di surau dekat pasar. Aku terduduk saja kelelahan sehabis berjalan kaki.
-
Kulihat ibu memanggil-manggil menjajakan sayurannya, aku bermain-main di depan toko, di seberangnya ada gerobak berjualan es berwarna warni, aku teramat ingin mencobanya, tapi aku takut ibu tidak mau membelikanku. Karena aku pernah meminta, ibu hanya menjawab, Uang kita baru sedikit, kita tunggu banyak dulu ya nak!
Ibu berjualan di depan Toko Emas Maju Jaya, kadang-kadang ibu disuruh bergeser karena mengganggu pelanggan toko emas itu, bahkan ibu pernah diusir. Pemilik toko emas sampai mengamuk hingga melempar sayur dagangan ibu hingga berserakan sambil memaki-maki. Ibu menangis, menutup mukanya dengan kain sarung. Orang-orang memandangi ibu, aku ikut menangis di samping ibu. Kami dipandangi seperti orang gila. Di sebelahnya ada ibu Marni, teman ibuku yang berjualan buah-buahan, tetapi ibu Marni punya tempat dengan memberikan uang pelicin pada pemililk toko di belakangnya.
Ibu Marni menolong mengumpulkan dagangan ibuku yang berserakan, tetapi sudah berkabut dan tidak lagi terlihat segar. Kami berdua langsung pulang waktu itu meninggalkan sayuran yang sudah menjadi sampah. Ibu segera meraih tas kecil yang ia duduki tempat menyimpan uang, tanganku digandeng sampai aku terseret-seret. Kami pulang dengan sedih, kami hanya terdiam.

Besoknya, ibu berhenti berdagang sayur, kami iba melihat ibu yang hancur hatinya, di dapurpun air matanya masih berderai. Hari berikutnya ibu Marni datang dengan suaminya sore-sore memakai sepeda motor dan diletakkan di halaman rumah. Adikku girang sekali naik-naik motor ibu Marni.

Jangan terlalu dipikirkan, Sum. Pemilik toko emas mau minta maaf, dan mau mengganti kerugian daganganmu, jadi besok jualan saja, toh, kehidupan juga masih milik kita kan. Dan milik mereka juga. Tak usah dipikirkan lagi sikap dan perkataannya, kita jualan sayur kan untuk hidup kita, untuk senyum anak-anak kita! Si penjual sayur pun kita tetaplah itu pengorbanan yang besar untuk survive,” ujar ibu Marni menguatkan ibuku.
Kening ibu berkerut seperti berpikir lama. “Maaf bu Marni, survive itu apa?,”
Itu bahasa Inggris bu Sum. Bertahan hidup,” Jelas bu Marni. Jangankan bahasa Inggris, mambaca dan menulis saja ibu tidak tahu, tapi ibu pintar menghitung uang dan membedakannya.

Kadang aku mengajarkan ibu membaca, sampai berjam-jam lamanya, besoknya ibu lupa lagi. Terkadang disela-sela belajar membaca ibu berkata, “Rajin-rajin belajar ya nak, supaya tidak bodoh seperti ibu ini”.

Kini aku harus tidur, besok aku akan ujian EBTANAS, dan sebentar lagi aku akan lulus SMP. Dua orang adikku sudah tertidur, yang satu berumur sebelas tahun, dan yang kecil umurnya tujuh tahun, kami bertiga perempuan, kakakku yang laki-laki sudah kelas dua SMA. Ia sekolah di kota, jauh dari kampung kami. Pulangnya sekali sebulan. Ia orangnya pintar sekali, sambil sekolah dia bekerja untuk tambahan jajan.

Paginya tinggal kami bertiga beradik kakak, tak ada ayah tak ada ibu, tak ada kakak, aku bimbing adik-adik untuk mandi kugoreng telur itik yang sudah direbus dua butir, satu butir dibelah dua, empat belahan telur rebus, kami sisakan sebelah untuk ibu kalau dia pulang nanti. Nasi dan telur rebus juga sayur yang dimasak ibu tadi malam.

Saat awal-awal ditinggal ayah dulu adik sering bertanya tentang ibu, Kakak, ibu mana?”. Namun, lama kelamaan ia mengerti. Kadang ia berkata padaku. Kakak, kalau ibu pergi malam-malam nanti apa tidak digigit hantu? Aku bingung menjawabnya, tapi aku tahu satu hal, anak kecilpun mencemaskan ibunya. Tapi sekarang dia sudah besar, sudah sekolah, juara kelas pula keduanya.

Kami bersiap-siap berangkat sekolah, sekolahku jauh, dan harus berjalan kaki, sekolah adikku tidak terlalu jauh dari rumah, jadinya mereka berdua selalu menunggu didepan kelasnya jauh sebelum pintu dibuka dan jauh sebelum teman-temannya datang. Mau bagaimana lagi, kalau ditinggal dirumah, mereka belum bisa mengunci pintu. Pintu rumah kami sudah rusak, namun ada cara unik untuk mengunci atau membukanya. Aku tak akan beri tahu, karena rumah kami menyimpan banyak harta berharga. Salah satunya nasihat ibu dan ayah.

Ujian berakhir hari ini, tadi pagi ibu sepertinya terlambat ke pasar sampai dia harus membangunkanku untuk menunggu tungku di dapur karena nasi belum masak, takut nanti rumah kami terbakar. Selesai ujian akhir aku langsung berjalan pulang, begitu teriknya panas bertepatan pula aku lupa membawa air minum, terpaksa ditahan sampai dirumah. Jajan yang diberi ibu sudah habis untuk membelikan jepitan rambut dan gula-gula untuk adikku.
Kami berjalan beramai-ramai, tapi satu persatu temanku habis, rumahku paling jauh karena berbeda desa. Jalanan berdebu, dibelakang sana kulihat sebuah sepeda motor, aku pura-pura tidak tahu, padahal aku sangat berharap dia mau menumpangkanku. Dan terus berharap, ketika sampai di dekatku tidak ada tanda-tanda dia mengerem motornya. Ah, pelit sekali dia pikirku. Tapi beberapa meter di depan dia berhenti, menawarkanku untuk naik. Aku berlari-lari dan langsung naik. Namun di tengah jalan aku bertemu ibu, aku meminta turun dan meminta terima kasih banyak kepada bapak yang menumpangkanku. Lalu aku berjalan lagi bersama ibu. Kulingkari tanganku dipinggangnya.

Ibu bertanya bagaimana ujianku hingga tentang teman-temanku, guruku, bahkan harga lontong sayur di sekolahku. Seperti biasa pembawaan ibu sangat tenang, langkahnya masih tegap. Sesampainya di rumah, aku harus jemput dulu adik-adik di rumah tetangga. Ketika ibu memanggil, mereka langsung lari mengejar dan memeluk ibu. Aku hanya kebagian membawakan tas dan sepatu mereka. Ibu membuka pintu dan segera membuka jendela. Rumah kami hanya rumah kayu, tetapi masih kuat dan terawat. 

Tiba-tiba ibu mengeluarkan sebiji buah mangga dari dalam tasnya, sudah busuk bagian tangkainya. Ya, ibu sering membawa sisa buah-buahan yang busuk separohnya dari ibu Marni. Kadang aku protes, mengapa dia hanya memberi buah-buahan busuknya saja. Ibu menjawab, Nak, dia kan jualan pakai modal, kalau dibagi yang bagus dia akan rugi, jawab ibu lemah. Jawaban ibu membuatku tak mampu melawan lagi, air mukanya melemahkan emosiku. Sungguh aku sayang ibu, sayang sekali. Buah mangga kami makan bertiga, iya hanya bertiga, ibu cuma mengupaskan saja untuk kami. Dari yang begitu saja terlihat cintanya.
Itu ceritaku tujuh setengah tahun yang lalu. Besok aku akan diwisuda karena sudah menamatkan kuliah sebagai seorang dokter. Ibu dan adik-adik sudah datang kekontrakan kami. Mereka kelelahan di dalam bus dari kampung. Aku memasak bersama teman-teman untuk menyambut ibu. Aku keluar sebentar menemani temanku menjemput orang tuanya ke terminal. Sampai dirumah, ternyata ibu sudah bangun, kamarku rapi, buku-buku kuliahku tersusun rapi.

Tak ada kesenangan lain selain melihat ibuku senang di hari itu. Ternyata kakakku juga datang, aku sangat terkejut. Waktu itu aku sempat sedih karena dia tidak bisa datang, dia sering mengirimku uang belanja walau aku sudah mendapat beasiswa penuh. Akhirnya kami berfoto bersama. Aku dan ibu bersama tiga saudaraku.

Kucetak foto itu besar-besar dan kuletakkan di rumah, di belakangnya kutulis, “Wanita yang ada di sampingku dalam foto ini adalah ibuku, dahulu dia adalah wanita yang cantik, namun sekarang dia terlihat tua, tapi keadaan apapun takkan mengubah cintaku padanya. Aku sayang ibu. Sangat.! ncecep