Ksatria Kecil


Budiman, ksatria kecil itu bernama. Ialah teman kecilku, waktu itu kami berumur delapan tahun tiga bulan. Ia pintar bermain kelereng. Aku sering meminta sekelompok dengannya kalau bermain kelereng agar aku bisa menang. Tapi kalau urusan sekolah, tak jarang telinganya dicubit Bu Nur. Ia juga yang mengajarkan aku memanjat pohon kelapa dan mengupas buah mangga langsung dengan mulut. Masa kecil kami sungguh penuh dengan warna-warna yang tidak biasa.
Sendal kamipun seringnya sama, karena ketika ibuku kepasar, waktu itu kami sama-sama ingin dibelikan sendal, jadilah sandal kami sama, ukuran dan warnanyapun sama, sandal jepit yang membawa sejuta cerita. Untuk membedakannya, kami membuat ukiran nama kami dibahagian tumitnya. Sewaktu awal-awal dipakai, jikalau kotor kami selalu mencucinya dengan sabun krim ibu, sampai hampir habis setengah bungkus. Ujung-ujungnya kami dimarahi.
Disekolah, Budi adalah anak yang jahil, suka mengejek Siti, anak perempuan yang tak seorangpun anak laki-laki yang mau dikatakan pacaran dengannya, suatu hari ia mengejek Siti habis-habisan sampai menangis, Siti pulang dan mengadukan pada ibunya, Kemudian, ibunya datang kesekolah, dan memarahi Budi dengan berangnya.
Semasa kecilnya ia juga sangat nakal, ketika itu dia diajak ibunya pergi ke kedai, sesampainya dikedai, budi kecil mendorong dan menjatuhkan keranjang telur ayam, hingga ibunya menagis karena tidak punya cukup uang untuk mengganti kerugian kepada pemilik kedai, terpaksa berhutang dulu.
Rumah kami dikampung. Tapi semasa menjelang panen jagung, ayah ibu kami bermalam dan tinggal sementara dikebun yang cukup jauh dari kampung. Mereka meronda dan berkeliling kebun setiap saat untuk memastikan buah jagung kami tidak dicuri babi. Dangau dikebun terbuat dari kayu, semua dindingnya dari papan, cuma atapnya saja yang memakai seng-seng sisa yang dikumpulkan ayah kalau ada tetangga atau orang kampung yang membuat rumah baru.
Walaupun hanya rumah kayu yang berukuran hanya empat kali tiga meter, dangau ini kuat dan bertingkat, dibawah dipakai untuk menyimpan barang-barang dan diatas dipakai untuk tidur. Sedangkan Budi, temanku itu dangaunya diseberang sungai kecil, yang merupakan jantung kehidupan persawahan dan perladangan dikampung kami. Namun ia sering tidur didangauku. Begitu juga aku yang sering tidur didangaunya. Kalau air sungai yang berada di dekat dangaunya tidak besar, kami selalu bermain bersama.
Pernah waktu itu, Budiman ingin tidur didangauku saja, dia takut pulang karena belum juga berhasil membaca iqra’ yang diajarkan ustad. Walau ayah ibu kami sibuk, selalu ada waktu untuk mereka untuk bertanya dan mengevaluasi apa yang kami kerjakan, juga mereka punya banyak waktu untuk memarahi kami kalau kami nakal, dan atau karena mendapatkan nilai matematika angka enam kebawah. Ayahkupun begitu, kalau aku mendapatkan nilai matematika yang buruk, aku akan dimarahi sampai-sampai ibuku juga kena marah olehnya. Tapi kalau aku dapat nilai buruk pada pelajaran Bahasa Indonesia, atau Pancasila, beliau tak hirau sama sekali.
Kalau benar-benar takut dimarahi, Budiman sudah datang dan muncul dipintu dangauku. Dia pura-pura mengajakku manjahili anak anjing, atau memunguti sarang burung yang jatuh dibawah pohon besar, kalau-kalau ada telurnya. Aku tahu maksudnya kalau bertingkah seperti itu, pasti dia mau tidur didangauku. Walaupun air sungai besar dia selalu bisa menyeberang.
Pada hari libur kadang kami pulang kekampung bermain dari pagi hingga sore. Kami diberi uang jajan, dan selalu dinasehati, Kalian jangan berbuat nakal, dan jangan berkelahi, kata ayah. Tetapi waktu itu kakakku pulang dari sekolahnya, ia membawa buah apel. Aku langsung saja sombong memamerkan buah apel kepada teman-temanku, sehingga aku tidak mau berteman dengan Budi, karena sewaktu dijalan tadi ia melemparku dengan kulit jengkol. Kami bermain dihalaman, dan aku tidak memerdulikannya. Aku terima kalau dia juga tidak sekelompok denganku dalam pertandingan kelereng, tentu saja dia juga marah, sampai-sampai ia mencuri kelereng yang kutimbun dengan tanah disamping lapangan. Aku marah dan melemparnya dengan kerikil. Dia melemparku balik, dan kami pun berkelahi bertinju dan menendang, anak-anak lain hanya memandangi saja sampai ada orang yang lebih tua melerai.
Tapi perkelahian belum selesai, ia ternyata menyembunyikan sebelah sandalku sampai aku panik mencarinya. Ia pulang lebih dulu, sedangkan aku harus mencari dulu sandalku yang sebelah lagi. Ternyata setelah lama mencari, sandalku dibuang kedalam kandang ayam, aku harus mencari galah untuk menjuluknya. Karena pintu ayam itu kecil, hanya kepalaku saja yang bisa kujulurkan masuk.
Sebenarnya aku takut balik keladang sendiri, ingin aku tinggal saja dikampung bersama kakak, tapi kakakku harus balik lagi ketempat asrama sekolahnya. Terpaksa aku berjalan sendiri pulang keladang. Ditengah jalan aku teringat kata-kata orang kalau penculik anak sedang berkeliaran, dan beruang turun kekampung. Wah, luar biasa takut rasanya, kupacu langkahku berlari tanpa henti hingga sampai kedaerah persawahan yang lebih terang dan terbuka. Tidak lagi jalan yang kiri kanannya hutan.
Tak berapa lama kemudian setelah bertemu, kami berbaikan lagi. Kalau ayah tidak tahu, semuanya biasa saja. Kalau ayah tahu kami berkelahi, terpaksa dulu mengendap-endap. Dan kemudian dapat marah.
Menjelang magrib kami sudah selesai mandi dan akan segera pulang kekampung, kerumah ustad untuk belajar mengaji pada malam harinya, sekitar jam sembilan malam kami dijemput ayah memakai senter untuk balik ke ladang. Berjalan dimalam-malam pekat, tentu waktu itu belum ada listrik, teman. Televisi saja hanya Bu Nur yang punya, itupun memakai Aki yang dicas setiap tiga hari. Kami berdua bergandengan bahu seperti anak kembar siam sementara ayah mengiring dibelakang menyenter kami.
Kadang esoknya kesekolah ibu menyuruh kami membawa jagung rebus dengan ember untuk dijual disekolah. Tetapi ditengah jalan kami sudah memulai memakannya. Budi punya ide, supaya tidak terasa berat kita kurangi saja beban yang harus kita bawa. Jadi, kita makan saja satu jagung perorang. Kami bergantian membawanya. Aku membawa sampai pohon jati berikutnya atau dari rumah ini kerumah berikutnya, dan setelah itu Budi sampai pohon jati berikutnya lagi. Begitu seterusnya sampai tiba disekolah.
Kami adalah anak-anak yang aktif. Ada sebuah cerita tentang kami. Hari Minggu ini kami tidak pergi kekampung bermain, kami pergi kesebuah bukit didekat ladang, mencari hal-hal baru, menemukan pohon-pohon yang daunnya bagus, atau menemukan rotan yang kulitnya berduri-duri. Bertualang tanpa perasaan takut jika berdua, Budi mencoba memanjat pohon yang tinggi, dan meloncat keseberang tebing, sampai-sampai sandalnya jatuh kejurang dan hanyut. Ia pulang tidak lagi memakai sandal, akupun meminjamkan sandalku sebelah padanya, apalah artinya coba. Tapi itulah keindahan masa itu. Hingga menjelang jam empat sore kami lelah dan balik keladang. Kami berpisah karena untuk pulang keladang masing-masing punya jalan terdekat yang berbeda.
Aku lelah dan lapar, segera kusantap gulai daun singkok dan ikan selai buatan ibuku. Baru selepas itu aku berburu belalang didalam kebun sendirian. Sorenya ibu Budi datang kedangauku, dia heran kenapa aku tak bersama Budi, dan bertanya padaku, “Budi kemana, kenapa belum pulang dari kampung? kujawab dia sudah pulang keseberang dari tadi, sementara ibunya sudah yakin kalau disana tidak ada anaknya, karena sandalnya tidak terlihat dijenjang pintu dangau.
Akupun heran, kemana dia perginya. Terpaksa ayah Budi dan ayahku pergi menyusul kekampung untuk mencarinya. Aku tahu Budi tidak akan ada disana, karena hari ini memang kami tidak bermain dikampung. Tapi aku diam saja, takut aku ditanya kemana kalian hari ini, takut menjawabnya karena kami dilarang untuk pergi kehutan bukit sana. Bukit itu terkenal keramat menurut orang kampung kami.
Kembalinya dari kampung ayah kami sudah menanyakan pada teman-teman lain dikampung, kalau hari ini kami tidak terlihat disana. Ibu Budi semakin panik, petang sudah membayang dan hari semakin gelap, akhirnya akulah yang jadi sasaran, ditanya sampai dibentak-bentak, aku cemas juga dengan nasib temanku itu, akankah dia hilang dicuri hantu-hantu seperti yang kami tonton di televisi dirumah Bu Nur. Akankah ia takkan pernah lagi bermain denganku dan semua pertanyaan tentang sahabat kecilku itu.
Akhirnya aku jujur bahwa kami hari ini pergi ke hutan bukit sana. Semua terkejut, ayah Budi segera mencari dukun dan dengan pertolongan orang kampung lainnya membawa obor dan senter mencari disekitar hutan. Tapi tidak juga ditemukan. Aku dimarahi, kaki dan betisku merah-merah karena dicambuk dengan ranting. Aku menangis sejadi-jadinya.
Ibu Budi disuruh tunggu didangaunya saja, supaya alat-alat pertanian seperti cangkul dan sabit tidak dicuri maling.Ia pulang sambil meneteskan air mata, aku benar-benar cemas. Didangauku hanya aku dan ibu, karena ayahku ikut mencari Budi, ibu mengajakku pergi ke dangau Budi untuk menghiburnya, membawa obor yang dibuat dari botol limun.
Sesampainya disana kami melihat ibu Budi duduk dipintu dangau dengan sebuah lampu minyak tanah. Aku kasihan juga melihatnya, ibuku mengajaknya masuk, dan menutup pintu.Dalam remang lampu minyak tanah, seorang umat manusia dekil turun dari tangga dangau.Siapa lagi kalau bukan Budi.Kami terheran-heran, seperti melihat bidadari turun dari langit.Si Budi masih sempat saja menyapaku dan bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa, “Sudah masakkah cempedak yang kita peram dibelakang rumahmu beberapa hari yang lalu? langsung saja ibunya berlari kearahnya dan memeluk.
Semua menjadi tergelak dimalam itu, orang-orang kampung pulang dengan membawa berita itu.
Budi ternyata tidak hilang, hanya saja dia cuma tidur siang.Tidur siang adalah hal yang sangat tidak pernah kami lakukan. Sampai-sampai terpikirpun tidak pernah untuk memeriksa rumah tingkat dua.Begitulah bukti bahwa anak-anak kampung seperti kami sangat aktif. Ibuku sampai tertawa-tertawa haru.
Seminggu kemudian tragedi itu menjadi cerita lucu diseluruh penjuru kampung kami, kami mendadak jadi selebritis kampung. Tetapi Budi rasanya lebih selebritis. Karena aku hanya menjadi peran pendukung sebelum kejadian terjadi. Hanya itulah peranku.
Oh ya, cerita itu hanya sedikit dari penggalan pengalaman kami, tentunya hanya ada dikampung. Mungkin dikota, teman-teman bermain ke mall, café, dan kepasar.
Walaupun kami anak kampung, tentulah kami manusia yang bisa tumbuh besar dan berpikir, juga kami bukan orang yang tidak punya mimpi. Kami bukan anak yang manja dan tukang jajan. Walaupun sama-sama sekolah, pengorbanan sekolah kami lebih besar daripada mereka yang kaya. Kami sekolah dengan pengorbanan diri, orangtua, kerabat sampai orang kampung. Kami juga anak yang aktif dan punya perencanaan masa depan yang luar biasa.
***
0 Responses