Resolusi

Kemudian kejemuan menusuk birahi-birahi yang lepak ditengah embun yang mulai tumpah ruah. Janji mereka kalap dan takkan pernah ada yang bias dipercaya. Kalau saja… ah tidak perlu mengawali dengan kata kalau. Enyahlah, aku tak sempat menyicipi kebahagiaan itu, kawan. Aku ingin menjadi seperti apa yang menjadi keinginan mereka. Tapi sedikit akan kupoles. Rusuh merusuh, aku butuh seseorang yang sadis memaksaku untuk melakukannya. Ayo, kubagi diriku menjadi dua. Yang satu kugambarkan dengan pribadi yang ganas dan suka memaksa, dan yang satu akan kuperankan dengan yang lemah dan malas. Ya begitu. Paksalah si lemah sampai ia mati kalau ia tak mampu ikut kata hatimu. Aku lusuh punya tubuh, tak punya otak untuk mengatakan aku mau bangkit. Niscaya aku akan terpaku dengan segelintir pikiran bodoh yang menopang rongga tenggorokan sehingga kata-kata itu tak jadi kuteriakkan. Aku butuh paksaan.
Jalanan tentang debu dan asap, kugantikan dengan api dan peluru, sungguh ku akan mengisahkan hidupku jauh lebih berharga dari apa yang mereka lakukan sebegitu indahnya. Aku butuh paksaan. Sekarang lenyaplah, aku siap malu, aku siap terhina, aku siap untuk memenggal si penakut dari tubuhku sendiri. Aku butuh itu. Dengan kelusuhan yang sama, selalu kuharap pengganti jiwa yang akan menyumpal mulut-mulut penghara seperti mereka. Persetan dengan semua. Kau pikir kau pintar, aku juga berpikir aku pintar. Kalau kau piker aku bodoh maka kau juga lebih bodoh. Benang-benang sutera yang menipu, akan kubuang, lebih tepatnya kubakar menjadi abu-abu sehingga akan kuinjak-injak, aku butuh tali tambang, cambuk penuh nista sekalipun, cambuk senista-nistanya lempar untukku, sehingga aku belajar mengelak. Kalau aku harus mati, itu bukan karena aku ingin menyerah. Justru karena aku tak pernah kenal kata menyerah. Kini kuyakini, yang kajalani saat ini bukanlah bagian dari apa yang kuinginkan, tapi kutunggu hikmah, kujalani semampuku, jadi jika kau kecewa, ibu, bapak, silakan kecewa. Tapi aku ingin kau tetap doakan yang terbaik.
Sebentar lagi, sebantar lagi, sebentar lagi, masa tahananku akan kuakhiri dipenjara ini. Barulah kumulai, sesuatu yang sangat butuh ku tapaki, dunia luas, dunia buas, dunia kesadisan yang mencambuk setiap jengkal pori dikulit. Laga siluman buas dengan dunia cerita akan kugambar dengan belati disela lengan. Tapi bukan itu yang utama. Siang bukan hanya tempat mencari harta, malam juga bukan tempat marajah nafsu, siang malam adalah lintasan untuk berjalan berkelana bersama iman didada. Takkan layu ditengah gurun yang sungguh panas tiada dua. Aku bukan manusia tampan, aku manusia aneh, aku akan mengakui semua hal yang buruk tentang yang kau katakan, jadi tak perlu lagi kau ulangi membaca sampai berkali-kali, aku akan mengakar sendiri, aku akan mencari air sendiri, aku akan tumbuh dengan daun yang kuinginkan, aku akan menegapkan batang dan dahanku untuk hidup dan menatap dunia. Aku butuh menjadi jahat, kejam, karena pikiran penakut butuh paksaan dan kekejamann untuk membinasakan atau merubahnya menjadi berguna, bukan menjadi janda kembang yang tak terusik. Walaupun telah bekas usikan.

Ksatria Kecil


Budiman, ksatria kecil itu bernama. Ialah teman kecilku, waktu itu kami berumur delapan tahun tiga bulan. Ia pintar bermain kelereng. Aku sering meminta sekelompok dengannya kalau bermain kelereng agar aku bisa menang. Tapi kalau urusan sekolah, tak jarang telinganya dicubit Bu Nur. Ia juga yang mengajarkan aku memanjat pohon kelapa dan mengupas buah mangga langsung dengan mulut. Masa kecil kami sungguh penuh dengan warna-warna yang tidak biasa.
Sendal kamipun seringnya sama, karena ketika ibuku kepasar, waktu itu kami sama-sama ingin dibelikan sendal, jadilah sandal kami sama, ukuran dan warnanyapun sama, sandal jepit yang membawa sejuta cerita. Untuk membedakannya, kami membuat ukiran nama kami dibahagian tumitnya. Sewaktu awal-awal dipakai, jikalau kotor kami selalu mencucinya dengan sabun krim ibu, sampai hampir habis setengah bungkus. Ujung-ujungnya kami dimarahi.
Disekolah, Budi adalah anak yang jahil, suka mengejek Siti, anak perempuan yang tak seorangpun anak laki-laki yang mau dikatakan pacaran dengannya, suatu hari ia mengejek Siti habis-habisan sampai menangis, Siti pulang dan mengadukan pada ibunya, Kemudian, ibunya datang kesekolah, dan memarahi Budi dengan berangnya.
Semasa kecilnya ia juga sangat nakal, ketika itu dia diajak ibunya pergi ke kedai, sesampainya dikedai, budi kecil mendorong dan menjatuhkan keranjang telur ayam, hingga ibunya menagis karena tidak punya cukup uang untuk mengganti kerugian kepada pemilik kedai, terpaksa berhutang dulu.
Rumah kami dikampung. Tapi semasa menjelang panen jagung, ayah ibu kami bermalam dan tinggal sementara dikebun yang cukup jauh dari kampung. Mereka meronda dan berkeliling kebun setiap saat untuk memastikan buah jagung kami tidak dicuri babi. Dangau dikebun terbuat dari kayu, semua dindingnya dari papan, cuma atapnya saja yang memakai seng-seng sisa yang dikumpulkan ayah kalau ada tetangga atau orang kampung yang membuat rumah baru.
Walaupun hanya rumah kayu yang berukuran hanya empat kali tiga meter, dangau ini kuat dan bertingkat, dibawah dipakai untuk menyimpan barang-barang dan diatas dipakai untuk tidur. Sedangkan Budi, temanku itu dangaunya diseberang sungai kecil, yang merupakan jantung kehidupan persawahan dan perladangan dikampung kami. Namun ia sering tidur didangauku. Begitu juga aku yang sering tidur didangaunya. Kalau air sungai yang berada di dekat dangaunya tidak besar, kami selalu bermain bersama.
Pernah waktu itu, Budiman ingin tidur didangauku saja, dia takut pulang karena belum juga berhasil membaca iqra’ yang diajarkan ustad. Walau ayah ibu kami sibuk, selalu ada waktu untuk mereka untuk bertanya dan mengevaluasi apa yang kami kerjakan, juga mereka punya banyak waktu untuk memarahi kami kalau kami nakal, dan atau karena mendapatkan nilai matematika angka enam kebawah. Ayahkupun begitu, kalau aku mendapatkan nilai matematika yang buruk, aku akan dimarahi sampai-sampai ibuku juga kena marah olehnya. Tapi kalau aku dapat nilai buruk pada pelajaran Bahasa Indonesia, atau Pancasila, beliau tak hirau sama sekali.
Kalau benar-benar takut dimarahi, Budiman sudah datang dan muncul dipintu dangauku. Dia pura-pura mengajakku manjahili anak anjing, atau memunguti sarang burung yang jatuh dibawah pohon besar, kalau-kalau ada telurnya. Aku tahu maksudnya kalau bertingkah seperti itu, pasti dia mau tidur didangauku. Walaupun air sungai besar dia selalu bisa menyeberang.
Pada hari libur kadang kami pulang kekampung bermain dari pagi hingga sore. Kami diberi uang jajan, dan selalu dinasehati, Kalian jangan berbuat nakal, dan jangan berkelahi, kata ayah. Tetapi waktu itu kakakku pulang dari sekolahnya, ia membawa buah apel. Aku langsung saja sombong memamerkan buah apel kepada teman-temanku, sehingga aku tidak mau berteman dengan Budi, karena sewaktu dijalan tadi ia melemparku dengan kulit jengkol. Kami bermain dihalaman, dan aku tidak memerdulikannya. Aku terima kalau dia juga tidak sekelompok denganku dalam pertandingan kelereng, tentu saja dia juga marah, sampai-sampai ia mencuri kelereng yang kutimbun dengan tanah disamping lapangan. Aku marah dan melemparnya dengan kerikil. Dia melemparku balik, dan kami pun berkelahi bertinju dan menendang, anak-anak lain hanya memandangi saja sampai ada orang yang lebih tua melerai.
Tapi perkelahian belum selesai, ia ternyata menyembunyikan sebelah sandalku sampai aku panik mencarinya. Ia pulang lebih dulu, sedangkan aku harus mencari dulu sandalku yang sebelah lagi. Ternyata setelah lama mencari, sandalku dibuang kedalam kandang ayam, aku harus mencari galah untuk menjuluknya. Karena pintu ayam itu kecil, hanya kepalaku saja yang bisa kujulurkan masuk.
Sebenarnya aku takut balik keladang sendiri, ingin aku tinggal saja dikampung bersama kakak, tapi kakakku harus balik lagi ketempat asrama sekolahnya. Terpaksa aku berjalan sendiri pulang keladang. Ditengah jalan aku teringat kata-kata orang kalau penculik anak sedang berkeliaran, dan beruang turun kekampung. Wah, luar biasa takut rasanya, kupacu langkahku berlari tanpa henti hingga sampai kedaerah persawahan yang lebih terang dan terbuka. Tidak lagi jalan yang kiri kanannya hutan.
Tak berapa lama kemudian setelah bertemu, kami berbaikan lagi. Kalau ayah tidak tahu, semuanya biasa saja. Kalau ayah tahu kami berkelahi, terpaksa dulu mengendap-endap. Dan kemudian dapat marah.
Menjelang magrib kami sudah selesai mandi dan akan segera pulang kekampung, kerumah ustad untuk belajar mengaji pada malam harinya, sekitar jam sembilan malam kami dijemput ayah memakai senter untuk balik ke ladang. Berjalan dimalam-malam pekat, tentu waktu itu belum ada listrik, teman. Televisi saja hanya Bu Nur yang punya, itupun memakai Aki yang dicas setiap tiga hari. Kami berdua bergandengan bahu seperti anak kembar siam sementara ayah mengiring dibelakang menyenter kami.
Kadang esoknya kesekolah ibu menyuruh kami membawa jagung rebus dengan ember untuk dijual disekolah. Tetapi ditengah jalan kami sudah memulai memakannya. Budi punya ide, supaya tidak terasa berat kita kurangi saja beban yang harus kita bawa. Jadi, kita makan saja satu jagung perorang. Kami bergantian membawanya. Aku membawa sampai pohon jati berikutnya atau dari rumah ini kerumah berikutnya, dan setelah itu Budi sampai pohon jati berikutnya lagi. Begitu seterusnya sampai tiba disekolah.
Kami adalah anak-anak yang aktif. Ada sebuah cerita tentang kami. Hari Minggu ini kami tidak pergi kekampung bermain, kami pergi kesebuah bukit didekat ladang, mencari hal-hal baru, menemukan pohon-pohon yang daunnya bagus, atau menemukan rotan yang kulitnya berduri-duri. Bertualang tanpa perasaan takut jika berdua, Budi mencoba memanjat pohon yang tinggi, dan meloncat keseberang tebing, sampai-sampai sandalnya jatuh kejurang dan hanyut. Ia pulang tidak lagi memakai sandal, akupun meminjamkan sandalku sebelah padanya, apalah artinya coba. Tapi itulah keindahan masa itu. Hingga menjelang jam empat sore kami lelah dan balik keladang. Kami berpisah karena untuk pulang keladang masing-masing punya jalan terdekat yang berbeda.
Aku lelah dan lapar, segera kusantap gulai daun singkok dan ikan selai buatan ibuku. Baru selepas itu aku berburu belalang didalam kebun sendirian. Sorenya ibu Budi datang kedangauku, dia heran kenapa aku tak bersama Budi, dan bertanya padaku, “Budi kemana, kenapa belum pulang dari kampung? kujawab dia sudah pulang keseberang dari tadi, sementara ibunya sudah yakin kalau disana tidak ada anaknya, karena sandalnya tidak terlihat dijenjang pintu dangau.
Akupun heran, kemana dia perginya. Terpaksa ayah Budi dan ayahku pergi menyusul kekampung untuk mencarinya. Aku tahu Budi tidak akan ada disana, karena hari ini memang kami tidak bermain dikampung. Tapi aku diam saja, takut aku ditanya kemana kalian hari ini, takut menjawabnya karena kami dilarang untuk pergi kehutan bukit sana. Bukit itu terkenal keramat menurut orang kampung kami.
Kembalinya dari kampung ayah kami sudah menanyakan pada teman-teman lain dikampung, kalau hari ini kami tidak terlihat disana. Ibu Budi semakin panik, petang sudah membayang dan hari semakin gelap, akhirnya akulah yang jadi sasaran, ditanya sampai dibentak-bentak, aku cemas juga dengan nasib temanku itu, akankah dia hilang dicuri hantu-hantu seperti yang kami tonton di televisi dirumah Bu Nur. Akankah ia takkan pernah lagi bermain denganku dan semua pertanyaan tentang sahabat kecilku itu.
Akhirnya aku jujur bahwa kami hari ini pergi ke hutan bukit sana. Semua terkejut, ayah Budi segera mencari dukun dan dengan pertolongan orang kampung lainnya membawa obor dan senter mencari disekitar hutan. Tapi tidak juga ditemukan. Aku dimarahi, kaki dan betisku merah-merah karena dicambuk dengan ranting. Aku menangis sejadi-jadinya.
Ibu Budi disuruh tunggu didangaunya saja, supaya alat-alat pertanian seperti cangkul dan sabit tidak dicuri maling.Ia pulang sambil meneteskan air mata, aku benar-benar cemas. Didangauku hanya aku dan ibu, karena ayahku ikut mencari Budi, ibu mengajakku pergi ke dangau Budi untuk menghiburnya, membawa obor yang dibuat dari botol limun.
Sesampainya disana kami melihat ibu Budi duduk dipintu dangau dengan sebuah lampu minyak tanah. Aku kasihan juga melihatnya, ibuku mengajaknya masuk, dan menutup pintu.Dalam remang lampu minyak tanah, seorang umat manusia dekil turun dari tangga dangau.Siapa lagi kalau bukan Budi.Kami terheran-heran, seperti melihat bidadari turun dari langit.Si Budi masih sempat saja menyapaku dan bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa, “Sudah masakkah cempedak yang kita peram dibelakang rumahmu beberapa hari yang lalu? langsung saja ibunya berlari kearahnya dan memeluk.
Semua menjadi tergelak dimalam itu, orang-orang kampung pulang dengan membawa berita itu.
Budi ternyata tidak hilang, hanya saja dia cuma tidur siang.Tidur siang adalah hal yang sangat tidak pernah kami lakukan. Sampai-sampai terpikirpun tidak pernah untuk memeriksa rumah tingkat dua.Begitulah bukti bahwa anak-anak kampung seperti kami sangat aktif. Ibuku sampai tertawa-tertawa haru.
Seminggu kemudian tragedi itu menjadi cerita lucu diseluruh penjuru kampung kami, kami mendadak jadi selebritis kampung. Tetapi Budi rasanya lebih selebritis. Karena aku hanya menjadi peran pendukung sebelum kejadian terjadi. Hanya itulah peranku.
Oh ya, cerita itu hanya sedikit dari penggalan pengalaman kami, tentunya hanya ada dikampung. Mungkin dikota, teman-teman bermain ke mall, café, dan kepasar.
Walaupun kami anak kampung, tentulah kami manusia yang bisa tumbuh besar dan berpikir, juga kami bukan orang yang tidak punya mimpi. Kami bukan anak yang manja dan tukang jajan. Walaupun sama-sama sekolah, pengorbanan sekolah kami lebih besar daripada mereka yang kaya. Kami sekolah dengan pengorbanan diri, orangtua, kerabat sampai orang kampung. Kami juga anak yang aktif dan punya perencanaan masa depan yang luar biasa.
***

Peluh Ayah



Tinggi, dengan lima jenjang. Barulah kau akan tiba diteras rumahku. Anggrek putih menggantung dipinggang tiang, kalau angin sedang bertiup kearah hidungmu, mungkin kau akan mencium semerbak aromanya. Lantai semen yang kesat akan kau rasakan kalau kau berniat melepas alas kakimu. Tapi memang seharusnya kau melepaskannya, karena tidak selalu ibuku atau adik perempuanku bisa menyapunya, kadang-kadang dia malas dan lebih memilih bermain karet gelang di halaman belakang. Sebelum sampai ke pintu masuk, kau bisa berkaca dulu pada kaca jendelaku disebelahnya. Aku tahu biasanya kalau kau sudah merasa cantik atau tampan, barulah kau ketuk pintunya.
Biasanya sebelum pintu dibukakan, jikalau kau masih tetap mengetukkan patahan jemarimu, ayahku akan berkata “sebentar!”, ayah akan bangkit dari kursi kebesarannya, mengambil tongkat disebelahnya dan bergegas membuka pintu untukmu. Senyum ayah manis, maaf saja kalau kau tergoda. Ia akan menyapamu dan membuka pintu lebar-lebar, walaupun kau kurus.
Kalau kau menanyakanku pada ayah, ayah akan melihat arlojinya. Kalau kau perempuan, ayah akan memintamu untuk menunggu di kursi rotan. Tapi kalau kau temanku, pastilah ayah hafal nama dan wajahnya. Karena ayah tak kalah gaul dengan anak muda. Wajahnya tampan, senyumnya hangat. Sebelum kau masuk kekamarku, ayah akan berpesan untukku agar aku segera mengecilkan musik rock yang kulantangkan keras. Jikalau ayah kesal, dia akan menjulurkan kepalanya kekamarku dan membuat kode ditangannya agar aku melunakkan musikku. Pasti ditelevisi sudah mulai tayang Dunia Dalam Berita.
Dahulu kau menghidupi kami dengan mewah, apapun yang kuminta kau selalu kabulkan, bahkan ayah pernah membelikan mainan untukku padahal aku tak meminta. Ayah saja yang menyarankanku untuk memainkan mainan itu. Ketika ayah pulang bekerja, saat aku masih kecil, aku mengintip dibalik pintu, hampir setiap hari aku mengejutkannya. Aku senang melihat ayah terkejut, sampai aku tergelak-gelak. Padahal ayah sebenarnya tidak terkejut sama sekali.
Aku sebagai pangeran dirumah, ayah sebagai rajanya. Adikku perempuan semua, kakakku juga. Kadang aku hanya jahil mengganggu mereka yang sedang berdandan. Selalu saja kulihat mereka senyum-senyum tak menentu didepan cermin dikamarnya. Dasar wanita pikirku.
Aku beranjak remaja, ayah sebagai motivator terbesarku. Ayah mengajarku melukis, ayah mengajarku berimajinasi, ayah mengajarku bersantai dengan cara meletakkan kedua tangan di kuduk, dan memanjangkan kaki keatas meja, sambil memejamkan mata. Senang sekali. Tiap sore aku dijulang dipundaknya berangkat ke mesjid untuk sembahyang magrib. Aku juga sering dibawa bersepeda berkeliling lahan karet dipagi minggu. Aku dan ayah berteman.
Aku sudah tumbuh menjadi diriku, aku tahu apa itu privasi, aku tahu apa itu kehendak, aku tahu apa itu permintaan. Tapi aku tak tahu bahwa aku dalam masa yang tak menentu. Aku tak mampu mengelola semua itu. Untunglah kau tahu peran dan tanggungjawabmu terhadap diriku. Sedikit-sedikit caramu dapat kuterima, ajakanmu sudah sering kuabaikan, seperti aku punya dunia lain dan itu lebih penting. Larangan ayah seperti hambatan besar untuk dunia itu.
Tak lama setelah itu, ayah kecelakaan ditempat kerjanya, kakinya terjepit pipa minyak dari besi saat memantau anggotanya kelapangan. Terpaksa ayah harus menjadi cacat saat ini. Ayah kehilangan senyumnya, tak kudapati sedikitpun sudut bibirnya merenggang memberi senyum. Kecuali tatkala ada teman-temannya yang membesuk kerumah, ayah seperti biasanya, bahkan lebih ceria daripada biasanya. Seperti tidak terjadi apapun. Ayah paling tak bisa dianggap tidak mampu. Ketika kudengar ibu berkata pada adikku, agar membuatkan secangkir teh untuk ayah, adik berkilah sedang belajar, ternyata ayah mendengarnya. Kami mendapati rak piring beruntun jatuh. Ayah tertelungkup disana, karena beliau belum mahir memakai tongkat. Tangannya berdarah karena ia berusaha membuat teh sendiri.
Aku benar-benar dituntut untuk mengerti pikiran ayah. Ketika semua sudah tertidur tengah malam, kudengar ayah mengaji. Rasa mengantukku hilang, aku rasa aku sudah lama tidak bercerita dengan temanku itu, iya dialah ayah. Aku keluar dan duduk disampingnya, seperti orang setengah tidur, padahal aku sudah benar-benar terjaga.
Ayah menutup ayatnya, dia memandangku kesamping, dan bertanya. Apakah kita masih berteman?. Aku tersentak hebat. Seolah tak ingin seperti orang terkejut, aku mengangguk. Ayah bertanya, kau merokok disekolahmu? Aku kesal, dan takut ketahuan. Aku menjauh dari ayah, aku sudah berniat untuk jujur. Kukatakan iya. Ayah tersenyum padaku, aku semakin cemas, ayah memintaku untuk duduk disampingnya.
Aku tahu ayah tidak merokok, ayah berhenti merokok sejak lama, ketika aku masih kecil, ayah sepertinya tersiksa tanpa rokok awal-awal berusaha berhenti merokok. Ayah selalu meminta bagian dari apa yang kubeli, gula-gula, kerupuk cap rumah adat, sampai kerupuk berhadiah. Ayah sering memintaku untuk membelinya, aku hanya mengambil hadiahnya dan kerupuknya jadi bagian ayah. Lama sekali prosesnya. Sampai-sampai ayah melahap ubi rebus yang belum masak didalam periuk untuk mengalihkan keinginannya.
Ayah kembali mengingatkanku pada masa itu, ayah duduk dilantai dan memegang kursi yang kududuki. Beliau menatapku, aku hanya pura-pura mengantuk. Dengan lembut ayah berkata, Dalam diri manusia sejatinya sudah ada timbangan nak, walaupun tanpa skala. Kita bisa mengukur, memperkirakan, dan menimbang sesuatu. Jika kau pikir yang kau lakukan itu perlu untuk kau lakukan, lakukanlah, jika tidak perlu rasanya buang-buang keringat untuk kau lakukan. Tapi jangan lupa kau ceritakan pada ayah. Kalau kau masih anggap ayah sebagai temanmu.
Nasehat tengah malam, dalam sunyi aku tertusuk dan tersentuh. Rasanya ada yang sesak didadaku. Ayah bangkit dan meraih tongkatnya, tapi ia tak mampu. Tongkat kayu itu jatuh, sepertinya ayah sengaja. Aku bergegas menolong ayah. Beliau meminta tolong duduk kekursi rotan, tapi sepertinya ayah kesusahan duduk disana. Apalagi kalau tak ada orang dirumah, ibu pergi kepasar, adik-adik sudah berangkat sekolah, kakak juga sudah berangkat kerja.
Tinggallah ayah sendiri dirumah, tak terpikirkan olehku apa yang ayah rasakan berdiam diri dirumah. Karena jiwanya sudah pasti pekerja keras. Minggu ke minggu, bulan kebulan, ayah sudah tabah dan menerima keadaannya hari ini. Aku semakin sering bercerita dengannya. Akhir bulan lalu, aku menarik uang tabunganku di Bank, untuk membelikan kursi untuk ayah. Bukan kursi roda, karena aku tahu ayah takkan terima, karena ayah harus menggerakkan badannya. Ayah sepertinya senang, beliau tersenyum padaku dan mengusap kepalaku. Aku senang dapat membantu. Ternyata membantu siapapun yang butuh bantuan itu menyenangkan.
Kini ayah menemukan tugas barunya, bertanam anggrek dan menggunting kain. Ibuku bagian menajahit. Aku sudah mulai menjadi manusia dibawah kendali ayah. Aku tak memikirkan apa kata orang tentang diriku. Aku tak lagi mau diajak merokok dibelakang sekolah, mereka bisa bangga dengan merokok, sayangnya aku lebih bangga tidak merokok.
Kini aku telah masuk kedalam arus kehidupan yang sebenarnya. Ayah sudah melepasku masuk, beliau sudah menyerahkan hidupku pada diriku yang selama ini dibawah pangkuannya. Semua hal sudah ia percayakan. Begitu banyak pesan ayah. Nah, walau kadang ingat dan kadang lupa.
Tapi ingatlah, takkan kau dapati lagi dijulang dipundak ayah, tapi kau dapat memejamkan mata membayangkan masa itu.

Peluh Ibu


Ibu, bara tempurungnya masih ada, baju ibu mau ku setrika tidak?
“Tidak usah nak, ibu hanya kepasar jualan sayur, tak perlu terlalu rapi. Setrika saja baju sekolahmu supaya licin, anak gadis harus rapi lho.”
Itu jawaban singkat ibuku, sudah jam sepuluh malam, biasanya kutemani beliau mengikat sayuran untuk dibawa ke pasar esok pagi-pagi buta. Tapi besok aku akan ujian EBTANAS, jadinya aku tidur lebih awal dan biasanya juga aku memang selalu tertidur lebih awal dari ibu. Aku tidak tahu jam berapa ibu tidur, pun tidak tahu jam berapa ibu terjaga. Atau mungkin ibu tidak pernah tidur?

Ibu jarang membangunkan kami dipagi hari, sebelum pagi ibu sudah tidak ada di rumah. Ayam saja belum berkokok, ibuku sudah keluar dari rumah. Ibu selalu membawa peralatan untuk shalat. Ia pun berjalan dari rumah kepasar hanya pakai sandal jepit saja, sepasang sandal yang dulunya untuk ibu dan ayah. Jika ibu membawa sandal, ayah kemana-mana tidak pakai sandal.

Aku sering ikut dengan ibu, dulu semasa ayah masih ada. Aku dibuatkan tas karung kecil, ibu sendiri yang menjahitnya, karena aku berhasil membujuk ibu untuk mengajakku ikut serta bersamanya walaupun susah sekali aku dibangunkan. Ketika kami sudah terjaga pada pagi harinya, sayur mayur yang akan dibawa sudah diletakkan di halaman dekat rerumputan supaya segar tersiram embun. Tas karung kecil yang akan kubawa sama persis seperti ibu, tapi karungku hanya bisa diisi lima ikat sayur, sedangkan ibuku sampai lima puluh ikat.
Kami berjalan berdua anak beranak. Lolongan anjing masih terdengar di sana-sini. Kupegang erat-erat baju ibu, hingga aku benar-benar merasa aman bersamanya. Ketika sampai, pasar masih belum ramai. Azan subuh telah berkumandang dan ibu bergegas sembahyang di surau dekat pasar. Aku terduduk saja kelelahan sehabis berjalan kaki.
-
Kulihat ibu memanggil-manggil menjajakan sayurannya, aku bermain-main di depan toko, di seberangnya ada gerobak berjualan es berwarna warni, aku teramat ingin mencobanya, tapi aku takut ibu tidak mau membelikanku. Karena aku pernah meminta, ibu hanya menjawab, Uang kita baru sedikit, kita tunggu banyak dulu ya nak!
Ibu berjualan di depan Toko Emas Maju Jaya, kadang-kadang ibu disuruh bergeser karena mengganggu pelanggan toko emas itu, bahkan ibu pernah diusir. Pemilik toko emas sampai mengamuk hingga melempar sayur dagangan ibu hingga berserakan sambil memaki-maki. Ibu menangis, menutup mukanya dengan kain sarung. Orang-orang memandangi ibu, aku ikut menangis di samping ibu. Kami dipandangi seperti orang gila. Di sebelahnya ada ibu Marni, teman ibuku yang berjualan buah-buahan, tetapi ibu Marni punya tempat dengan memberikan uang pelicin pada pemililk toko di belakangnya.
Ibu Marni menolong mengumpulkan dagangan ibuku yang berserakan, tetapi sudah berkabut dan tidak lagi terlihat segar. Kami berdua langsung pulang waktu itu meninggalkan sayuran yang sudah menjadi sampah. Ibu segera meraih tas kecil yang ia duduki tempat menyimpan uang, tanganku digandeng sampai aku terseret-seret. Kami pulang dengan sedih, kami hanya terdiam.

Besoknya, ibu berhenti berdagang sayur, kami iba melihat ibu yang hancur hatinya, di dapurpun air matanya masih berderai. Hari berikutnya ibu Marni datang dengan suaminya sore-sore memakai sepeda motor dan diletakkan di halaman rumah. Adikku girang sekali naik-naik motor ibu Marni.

Jangan terlalu dipikirkan, Sum. Pemilik toko emas mau minta maaf, dan mau mengganti kerugian daganganmu, jadi besok jualan saja, toh, kehidupan juga masih milik kita kan. Dan milik mereka juga. Tak usah dipikirkan lagi sikap dan perkataannya, kita jualan sayur kan untuk hidup kita, untuk senyum anak-anak kita! Si penjual sayur pun kita tetaplah itu pengorbanan yang besar untuk survive,” ujar ibu Marni menguatkan ibuku.
Kening ibu berkerut seperti berpikir lama. “Maaf bu Marni, survive itu apa?,”
Itu bahasa Inggris bu Sum. Bertahan hidup,” Jelas bu Marni. Jangankan bahasa Inggris, mambaca dan menulis saja ibu tidak tahu, tapi ibu pintar menghitung uang dan membedakannya.

Kadang aku mengajarkan ibu membaca, sampai berjam-jam lamanya, besoknya ibu lupa lagi. Terkadang disela-sela belajar membaca ibu berkata, “Rajin-rajin belajar ya nak, supaya tidak bodoh seperti ibu ini”.

Kini aku harus tidur, besok aku akan ujian EBTANAS, dan sebentar lagi aku akan lulus SMP. Dua orang adikku sudah tertidur, yang satu berumur sebelas tahun, dan yang kecil umurnya tujuh tahun, kami bertiga perempuan, kakakku yang laki-laki sudah kelas dua SMA. Ia sekolah di kota, jauh dari kampung kami. Pulangnya sekali sebulan. Ia orangnya pintar sekali, sambil sekolah dia bekerja untuk tambahan jajan.

Paginya tinggal kami bertiga beradik kakak, tak ada ayah tak ada ibu, tak ada kakak, aku bimbing adik-adik untuk mandi kugoreng telur itik yang sudah direbus dua butir, satu butir dibelah dua, empat belahan telur rebus, kami sisakan sebelah untuk ibu kalau dia pulang nanti. Nasi dan telur rebus juga sayur yang dimasak ibu tadi malam.

Saat awal-awal ditinggal ayah dulu adik sering bertanya tentang ibu, Kakak, ibu mana?”. Namun, lama kelamaan ia mengerti. Kadang ia berkata padaku. Kakak, kalau ibu pergi malam-malam nanti apa tidak digigit hantu? Aku bingung menjawabnya, tapi aku tahu satu hal, anak kecilpun mencemaskan ibunya. Tapi sekarang dia sudah besar, sudah sekolah, juara kelas pula keduanya.

Kami bersiap-siap berangkat sekolah, sekolahku jauh, dan harus berjalan kaki, sekolah adikku tidak terlalu jauh dari rumah, jadinya mereka berdua selalu menunggu didepan kelasnya jauh sebelum pintu dibuka dan jauh sebelum teman-temannya datang. Mau bagaimana lagi, kalau ditinggal dirumah, mereka belum bisa mengunci pintu. Pintu rumah kami sudah rusak, namun ada cara unik untuk mengunci atau membukanya. Aku tak akan beri tahu, karena rumah kami menyimpan banyak harta berharga. Salah satunya nasihat ibu dan ayah.

Ujian berakhir hari ini, tadi pagi ibu sepertinya terlambat ke pasar sampai dia harus membangunkanku untuk menunggu tungku di dapur karena nasi belum masak, takut nanti rumah kami terbakar. Selesai ujian akhir aku langsung berjalan pulang, begitu teriknya panas bertepatan pula aku lupa membawa air minum, terpaksa ditahan sampai dirumah. Jajan yang diberi ibu sudah habis untuk membelikan jepitan rambut dan gula-gula untuk adikku.
Kami berjalan beramai-ramai, tapi satu persatu temanku habis, rumahku paling jauh karena berbeda desa. Jalanan berdebu, dibelakang sana kulihat sebuah sepeda motor, aku pura-pura tidak tahu, padahal aku sangat berharap dia mau menumpangkanku. Dan terus berharap, ketika sampai di dekatku tidak ada tanda-tanda dia mengerem motornya. Ah, pelit sekali dia pikirku. Tapi beberapa meter di depan dia berhenti, menawarkanku untuk naik. Aku berlari-lari dan langsung naik. Namun di tengah jalan aku bertemu ibu, aku meminta turun dan meminta terima kasih banyak kepada bapak yang menumpangkanku. Lalu aku berjalan lagi bersama ibu. Kulingkari tanganku dipinggangnya.

Ibu bertanya bagaimana ujianku hingga tentang teman-temanku, guruku, bahkan harga lontong sayur di sekolahku. Seperti biasa pembawaan ibu sangat tenang, langkahnya masih tegap. Sesampainya di rumah, aku harus jemput dulu adik-adik di rumah tetangga. Ketika ibu memanggil, mereka langsung lari mengejar dan memeluk ibu. Aku hanya kebagian membawakan tas dan sepatu mereka. Ibu membuka pintu dan segera membuka jendela. Rumah kami hanya rumah kayu, tetapi masih kuat dan terawat. 

Tiba-tiba ibu mengeluarkan sebiji buah mangga dari dalam tasnya, sudah busuk bagian tangkainya. Ya, ibu sering membawa sisa buah-buahan yang busuk separohnya dari ibu Marni. Kadang aku protes, mengapa dia hanya memberi buah-buahan busuknya saja. Ibu menjawab, Nak, dia kan jualan pakai modal, kalau dibagi yang bagus dia akan rugi, jawab ibu lemah. Jawaban ibu membuatku tak mampu melawan lagi, air mukanya melemahkan emosiku. Sungguh aku sayang ibu, sayang sekali. Buah mangga kami makan bertiga, iya hanya bertiga, ibu cuma mengupaskan saja untuk kami. Dari yang begitu saja terlihat cintanya.
Itu ceritaku tujuh setengah tahun yang lalu. Besok aku akan diwisuda karena sudah menamatkan kuliah sebagai seorang dokter. Ibu dan adik-adik sudah datang kekontrakan kami. Mereka kelelahan di dalam bus dari kampung. Aku memasak bersama teman-teman untuk menyambut ibu. Aku keluar sebentar menemani temanku menjemput orang tuanya ke terminal. Sampai dirumah, ternyata ibu sudah bangun, kamarku rapi, buku-buku kuliahku tersusun rapi.

Tak ada kesenangan lain selain melihat ibuku senang di hari itu. Ternyata kakakku juga datang, aku sangat terkejut. Waktu itu aku sempat sedih karena dia tidak bisa datang, dia sering mengirimku uang belanja walau aku sudah mendapat beasiswa penuh. Akhirnya kami berfoto bersama. Aku dan ibu bersama tiga saudaraku.

Kucetak foto itu besar-besar dan kuletakkan di rumah, di belakangnya kutulis, “Wanita yang ada di sampingku dalam foto ini adalah ibuku, dahulu dia adalah wanita yang cantik, namun sekarang dia terlihat tua, tapi keadaan apapun takkan mengubah cintaku padanya. Aku sayang ibu. Sangat.! ncecep