Kostpedia



di edit dari cerita setahun yang lalu...
Musibah silih berganti pada roda hidup yang berputar lebih cepat, cukup menghilangkan segenap harta benda mulai dari kolor yang kotor, hingga kamera pemberian ayahanda tercinta, semuanya meleleh. Saya segera memberitahu ayah, awalnya mungkin pura-pura menanyakan keadaanku, apakah aku terbakar atau tidak. Kujawab “tidak ayah, anakmu baik-baik saja, hanya saja, ya hmmm... ohhhh.. haaaa.. hmm... ehm huuuh hmmm haaa (itu hanya aku dan ayah yang tahu bahasanya) dan segera ayah berkata, ya sudah, besok ayah kirim kepeng itu.”. Sudahlah, tuhan menyuruhmu gantilah semua dengan yang baru..! begitu katanya. Karena tempatkan sesuatu pada tempatnya, kau tak butuh ilmu matematika yang mengatakan, the straight line is the fastest way to the ends. Ya, ayahku jago bahasa inggris, kalau dirumah, kami berbahasa minang english. Seperti, abis everything is tagageh sih. Begitu Minang English. Ya enggak lah, ayah gak bisa bahasa inggris.

Kalau orang menyemangati kita yang sedang jatuh, pasti ada efek baiknya, tapi kalau orang menyemangati kita yang sudah semangat berapi-api, rasanya lucu dan asing.

Itu hanya sedikit saja, sebelumnya pada saat gempa juga telah cukup menjadikan shocking days. Ternyata tuhan hanya sedikit memberi pesan kalau dibalik musibah, “gantilah ceritamu dengan yang lain,” sepertinya begitu. Oke saya ganti, saya ganti rumah, saya ganti teman, saya ganti hape, dan pastinya kolor saya juga ganti, sebelumnya hanya polos-polos saja, sekarang rasanya kepingin ganti dengan yang cerah, berwarna, atau bermotif saluak laka, atau itiak pulang petang. Mana tahu warna kolor merupakan determinan dari masa depan, semakin cerah kolor seseorang maka akan semakin cerah masa depannya, hmm mana tahu..!! ya tidak begitulah.

Sesama korban bencana tentulah kami diperhatikan oleh teman-teman yang lain, ada yang memberikan bantal (ehm, terima kasih yang memberi bantal), ada juga yang lengkap, tak dipungkiri, teman-teman genta andalas, you’re amazing lah pokoknya, mulai dari kolor hingga kasur mereka belikan untukku, entah dari mana uangnya, terakhir untuk buat acara saja, kita keliling kota padang cari sponsor hanya dapat rupiah segenggam. Apakah karena cerpen “peluh ibu” yang fenomenal (padahal cerpen saya publish hanya satu selama menjabat anggota) tetapi fenomenal. Semua pada membicarakan peluh ibu. Request banyak datang supaya saya membuat cerpen berjudul peluh ayah dan peluh mak uwo, peluh mak etek dan peluh pak tani. Berbagai macam lah. Tentu kalau saya menilai, banyak sisi, apakah ini sebagai cemoohan cerpen saya yang buruk atau apresiasi karena ya asik dibaca. Saya tak tahu, I will not judge kritik yang datang. Ya, walaupun kolor nya tidak muat, kekecilan, tapi kau pasti berpikir, hmm NOT KIND OF THAT ONE, BITCH..!! tapi harus bagaimana? Kunamai tiga kembar itu menjadi, yang hijau terung namanya billy, yang kelabu namanya andrews, dan yang cokelat namanya abdul. Entahlah.

Setelah kebakaran yang saya lihat apinya berkobar-kobar besarrr sekali itu, cukup, tak ada yang harus disesali. Hidup tak akan berhenti hanya karena kolor terbakar. “Benar saja, bencana hari ini, akan menjadi bahan candaan di esok hari”.

Sudahlah tak perlu menangis, mau meraraw sampai kelangit ketujuh pun kolor yang lama tak akan kembali lagi, walaupun banyak rahasia diantara kami. Aku dan kolorku. Atau kalau boleh menjadi headline “kos kebakaran, puluhan kolor mahasiswa terbakar, kini kerangkanya telah menyatu dengan alam”. Judul yang menjual bukan? Nah, kita muda, kita terbatas dalam uang, segalanya, tapi kita tak perlu terbatas untuk berfikir. Walaupun belum ada bentuk yang nyata, kalaupun ada itu hanya dalam skala kecil, nah, tapi kan yang kecil itu adalah unsur pembentuk dari yang besar. Anda minum air putih saat haus, itu kan materialnya air, Gelombang Tsunami itu juga air. Ya kan?

Tapi dari kebakaran inilah grafik paling menukik tajam kebawah dari pemetaan hidup saya, disaat cerita cinta yang saya punya sedang dalam konflik, ibarat sinetron, sedang dicerai berai oleh pihak ketiga yang ingin merebut perusahaan saya. Maka saya berkhayal, mereka memisahkan kami, dan mereka membakar rumah saya hingga saya benar-benar terpuruk, tapi mereka tak sempat memutus rem mobil saya, karena saya ceritanya belum punya mobil.

Mulai saat itu juga saya bangkit, takkan ada yang mau menggendong saya supaya tidak terpuruk terlalu dalam, tak ada, kecuali diri sendiri, saya beli buku tulis baru, disana ditulis secara sistematis lengkap dengan berapa waktu yang dibutuhkan untuk survive dan beradaptasi. Karena tak mungkin menumpang terus, cukup beberapa hari, saya menemukan kos baru, bersama dengan korban lainnya. Kami kontrak selama setahun, sebuah rumah (ya tepat sekali, bukan sebuah kotak) sebuah rumah yang aman dan damai. Hanya ada 3 kamar, ada lapangan didepannya. Cukup untuk membuat kenyamanan dalam menyusun rencana menyerang kerajaan empu gandring.

Mencoba itu harus dibarengi daya manjemen kita. Kalau kita mencoba untuk merokok, hanya mencoba sekali-sekali tak apalah, begitu kan. Nah ternyata kalau kita tak mampu mengelola dan tak punya dasar yang kuat, yang sekali-sekali ini menstimulasi untuk jadi berkali-kali. Maka jangan coba untuk memulai hal yang berhubungan dengan PASSION, kalau kau bernafsu untuk makan, maka kau maunya makaan saja. Kalau kau bernafsu untuk menonton film beradegan bertarung didalam kelambu. Kaupun pasti inginnya itu saja...!! maka saya ambil kesimpulan bahwa kalau kita bekerja karena passion pasti kita tak akan mundur. Terakhir saya baru mengetahui bahwa ada sebuah penelitian “ada 85% manusia bekerja karena gajinya besar dan hanya 15% yang bekerja karena passion, ternyata, 10 atau 20 tahun kemudian yang kaya justru yang 15% nya. Apakah artinya? Sama kan dengan apa yang saya jelaskan diatas?

Ini bukan sebuah tulisan ilmiah, karena berliku-liku entah kemana, antara kepala dan pantat tidak searah, ya mana mungkin searah? Kalau pantat kiri dan pantat kanan tentulah searah, kecuali kalau terpeleset di wese, maka pantat akan menjadi tidak seimbang.
Kalau ceritanya berliku-liku sebagai pembelaan saya, sedangkan hidup saja berliku, apalagi cerita saya. Hmm, begitulah. Dan takdir membuat saya harus pindah dari kontrakan, dikarenakan satu. Saya tidak tega terus mengganggu teman sekamar saya yang (maaf) kristen, setiap mau sembahyang harus usir dia dulu. Karena itulah, saya sadar diri dan tidak mau terus mengganggunya. Tidak enak mengganggu orang. Suwer.

Jadilah hari itu, saya berkelana mencari kos, bersama teman saya yang bernama Ade, yah, namanya disebutkan saja, tidak perlu dengan “sebut saja bunga” karena dia bukan korban pemerkosaan, juga bukan korban tabrakan mobil avanza. Juga bukan korban Aceng. Dapatlah sebuah rumah yang didalamnya mewah sekali, ada kasur, lemari, kamar mandi, kamar wese, dan kamar kamar lain selain kamar jenazah. Tapi harganya, maakkkkkk 800 ribu sebulan, karena saya bukan orang kaya uang. Maka saya bisa saja ambil dengan memangkas uang jajan sebanyak 400 ribu karena target saya hanya mencari kos yang harnyanya 400 ribu saja sebulan.

Coret.

Kami lanjut mencari jodoh dalam kurung kost. Lalu entah kenapa barang saya ada yang tertinggal saat mengungsi kerumah saudaranya si punya kost yang terbakar. Lalu saya ditawari dengan emas berlian, eh. Ditawari dengan kostnya yang kosong melompong, katanya. Setelah saya lihat, wah benar, kamar kosong, (bukan judul film horor a.k.a bangku kosong. Hmm, pucuk dicinta, bahagia pun tiba. Hati saya senang riang gembira. Besoknya langsung pindah.

Sayapun nginap untuk malam pertama, mandi pertama dikamar mandi, besok paginya adalah peristiwa bersejarah yaitu boker pertama di kost baru. Wah ternyata disini ada juga penghuni lain. Disinilah komunitas baru saya, yang komunitas sebelumnya sudah berpencar, walau sudah merencanakan mengurus visa untuk berangkat menuju negara lain, sudah membayangkan menginjakkan kaki di Chatrapati Shivaji International Airport dengan memakai kacamata gelap membawa kerel layaknya touris dari negara barat sana. Backpacker, namun ingat, bule kalau jalan-jalan keluar negeri gak perlu bawa oleh-oleh. Teman-temannya gak pernah minta oleh-oleh, “ya oloh cin, elo di Macau ya, jangan lupa oleh-oleh ya”. Hanya cerita yang menginspirasi yang mereka bagikan, yang mereka anggap sangat berharga. Tapi kita dari indonesia yang perlu oleh-oleh, cerita tak perlu, hanya terkesan kita membanggakan diri saja. Dan dijauhi.

Komunitas baru ini lebih kompleks, tapi itulah indahnya, saya tidak pernah pilih-pilih mau sekosan sama orang papua, jawa, batak, aceh. Mau kristen, hidu, budha, terserah. Semakin beragam, semakin kayalah kita.

Sekarang saya tanya, apa didunia ini yang gratis, kencing aja bayar, gitu kan. Tapi ternyata ada satu yang tak perlu kau bayar untuk mendapatkannya, itulah teman, gratis adanya, kau dapatkan ia tanpa biaya, tapi bukan karena ia murah, karena nilai belinya itu tak hingga, maka menjaga sahabat itu lebih diutamakan daripada kau menjaga hubungan pacaran, karena laki-laki menjalin persahabatan lebih erat daripada perempuan, cobalah lihat, ketika seorang perempuan ditanya kemana dia semalam, temannya mungkin berkata, tidak tahu, tapi cobalah pria, ketika kau tanyakan kemana ia, pasti, oh, dia dirumah sianu, dirumah sianu, oo, semalam dirrumah sianu. Itu dia, kita tahu apa yang terjadi dengan teman-teman. Kita tak butuh dia saudara kandung sedarah saja dengan nama saudara, yang namanya saudara itu bagi saya terikat oleh ‘rasa’ saja.

Dari kecil saya memang tak perlu bergengsi-gengsi, tak perlu merasa penting, tak perlu bermanja-manja, siapalah saya, pria yang tidak seberapa ini, tapi jadi manusia harus serba bisa, kalau kita dihadapkan dengan situasi dimana kita harus memasak, maka saya bisa memasak. Ketika dihadapkan dengan motor pompa air rusak, saya bisa rewinding, menggulung ulang motor induksi, ketika kita dihadapkan dengan situasi dimana kita ada uang, maka habiskan dengan cara kita.. hmm yang terakhir bukan sebuah ke-bisa-an. Setiap orang bisa menghabiskan uang.

Saya juga tak perlu bersombong-sombong, tak ada satupun yang bisa saya sombongkan, kalaupun pernah terlihat sombong, itu karena ke-autisan saya karena sibuk memikirkan masalah sendiri. Saya datangi satu persatu penghuni kos ini dengan cinta, seperti album sulis ‘cinta rasul’ (beda). Namun ada yang begitu mengganjal di hati, ketika saya bertemu seorang teman (sebut saja ‘bunga’). Hmm jangan, namanya wahyu, sesaat saya perkenalkan diri, dengan lembuuuuutttttt sekali, lemah gemulai meliuk liuk bagai tanpa tulang. Tetapi no respon, ini bahaya. Kenapa bahaya? Karena buaya akan tetap makan walaupun hanya ada seekor kelinci disampingnya, walaupun kita tahu kelinci itu makhluk yang luthuw, imoet, dan wahh.. sangat menggelikan. Yah apapun lah artinya. Tapi tetap saja, jika anda mendapati sebuah masalah, rumuskan sebanyak mungkin hipotesa dan jangan terpaku pada nilai subjektif supaya suatu saat anda tidak mengutuk diri anda menjadi batu, apalagi hanya batu karang, kalau batu berlian dan batu nisan bolehlah.

Tapi rasanya ada yang kurang dari komunitas kecil ini, atau mungkin semuanya masih baru-baru, tidak pernah melihat mereka main, ‘pak pak tani pak tani beli roti’ rotinya kotor kotor pak tani beli motor’ atau main ‘satu sepatu, dua kecewa, tiga mentega’. Ya, kalau saya punya prinsip, kalau kos itu hanya untuk tinggal, sangat rugi saya bayar perbulan mahal-mahal. Tidak apa nambah rugi sedikit lagi, tapi dapat lebih banyak bonus. Kompak dan selalu hangat. Harus.

Dan berselang beberapa bulan, semuanya telah cair, ya semuanya, gunung mencair, lautan mencair, hingga ingus mencair. Tinja mencair, kalau mencret. Kini genap dua bulan saya berada disini. Bukan menghitung-hitung. Kalau saya hitung tujuh bulan lagi saya beranak.
0 Responses