Batam, ID
08.15
Saat
menjadi karyawan sebuah perusahaan Media cetak terbesar di Batam saat ini, saya
memang jarang bahkan tak punya waktu untuk menulis. Apakah itu cerpen atau
apapun namanya. Komunikasi bersama teman-teman lama pun jarang hingga sempat
kehilangan kontak untuk sementara. Alhasil, inilah yang membuat saya was-was,
cemas akan kehilangan semangat terhadap mimpi-mimpi yang begitu ‘hidup’ saat
saya masih mahasiswa. Menjadi pemikir yang berorientasi ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Sejenak
biarkan saya bercerita sedikit seputar apa yang saya lakukan beberapa bulan
terakhir, untuk menuliskannya sebagai sebuah memori untuk suatu hari nanti.
Seperti
hidup di zaman Marx, Saya merasakan sendiri hidup dalam dunia kerja, tidak jauh
berbeda dari penjelasan yang sudah sekian lama dirumuskan Marx. Hari ini
dizaman modern ternyata apa-apa yang beliau kerangkanya kurang lebih masih sama.
Sebuah dinamika dunia kerja, dimana posisi majikan punya otoritas yang lebih
untuk menekan bawahan sekalipun pekerja kerah putih.
Saya
banyak dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Marx yang seperti ini sekalipun saya
membaca bukunya hanya beberapa bagian saja, namun ada sesuatu yang membuat saya
berkata dalam hati, “saya suka kakek ini”.
Ketertarikan
saya berawal dari tuntutan bahan skripsi yang mengharuskan untuk memahami lebih
banyak dari sekedar membaca dan mengutip demi melengkapi karya ilmiah tersebut.
Penjabaran permasalahan penelitian menjadi lebih menarik disaat ada hal-hal korelasi
dengan landasan teori. Tugas yang semula sebagai beban SKS menjadi tantangan
baru tersendiri untuk saya. Sayangnya dukungan literatur menjadi semacam
penghambat untuk tampil perfeksionis. Dalam ilmu sosial yang abstrak dan
kompleks sekalipun masih ada pola-pola yang masih lestari semenjak zamannya
Marx hingga zamannya saya. Walaupun tidak menutup kemungkinan akan berubah
suatu saat.
Mungkin
para professional menyebut ini sebuah doktrin Marxis, atau kawan-kawan menyebut
saya hanya ikut-ikutan, sebenarnya hanya terombang ambing tak tentu arah untuk
punya suatu pegangan dalam ilmu sosial, bukan dengan pemahaman yang dipilah
sesuai dengan apa yang diyakini. Namun dalam hal ini saya tidak membawa nama
Marx sejak awal untuk dikomentari ataupun untuk mencari celah untuk menemukan
hal yang baru, tetapi hanya menuntun saya untuk memahami dunia kerja dari sisi
orang-orang sosial pemula, walaupun jika ada nantinya keluar dari jalur ini.
Hingga
akhir menjelang sidang ujian akhir, memang semangat saya fluktuatif, turun naik
berdasarkan kondisi-kondisi lingkungan dan kondisi keuangan. Dengan begitu saya
bisa berkaca dengan diri saya, memang sudah sejauh ini, saya rasa memang
kapasitas saya sebagai seorang sosiolog masih prematur.
Terbebas
dari jeratan SKS di kampus saya masuk kedalam dunia yang punya arus yang luas,
pasang surut pastilah terjadi tentang kemana dan bagaimana atau apa bidang yang
akan saya geluti dengan serius. Ini menjadi sangat penting untuk dikaji pertama
kali sehingga saya punya arah. Namun pada praktiknya saya tetap masuk menjadi
bagian dari para pencari kerja sekedar punya tempat untuk duduk di siang hari, sampai
saya temukan atau mereka yang menemukan saya, sebuah anak perusahaan Media yang
mempekerjakan. Ingatan-ingatan dan konsep-konsep sosiologi yang saya punya
sebagai modal yang sedikit tersebut sempat pudar.
Kembali
ke permasalahan, menurut hemat saya dunia karyawan itu hal yang gila, mungkin
terlalu dini saya mendoktin terlebih saya baru mencoba di satu tempat, terlalu
dini untuk menilai, benar-benar merenggut kebebasan berpikir sebagai pribadi
saya yang cenderung liberal dalam berpikiran. Namun demikian saya mencoba
mencari cara supaya hal ini saya tukar menjadi bahan untuk memahami realitas
sosial. Keterlibatan langsung sepertinya akan menjadikan semakin banyak detail
yang akan terjelaskan.
Mungkin
belum dikatakan sumbangsih untuk disiplin ilmu sosial, tetapi jikalah ada
kebebasan untuk berpikir mungkin inilah yang ada dalam benak saya sebagai
pertanyaan ataupun keluh kesah emosional dari kacamata pemula.
Setidaknya
dunia karyawan telah saya kecap lebih kurang tiga bulan saja. Tapi cukup
memberikan pengalaman dan pembelajaran yang menarik untuk menambah referensi
dalam melihat dunia kerja, hubungan industrial, sifat hubungan personal yang
terjadi karena hubungan industrial. Keseluruhannya saya lihat dan hubungkan
dengan konsep-konsep yang saya punya atau kuasai. Kalau belum saya kuasai saya
akan pelajari dulu. Seharusnya penulisan ini sudah harus saya mulai semenjak
menduduki bangku kuliah, karena akan ada banyak kesempatan untuk berdiskusi
bersama dosen, tetapi semua sudah terlambat, sekarang saya hanya bersyukur saya
telah menyadari dan mulai belajar lagi.
Hubungan
industrial merupakan hubungan yang terjadi akibat bekerjanya seseorang disuatu
tempat, secara garis besar, hubungan antara semua pihak yang tersangkut atau
berkepentingan atas proses produksi atau pelayanan jasa disuatu perusahaan.
Manajemen
perusahaan seperti biasa, secara konseptual hubungan majikan dan pekerja adalah
hubungan yang saling menguntungkan. Namun permasalahan kerap kali terjadi apalagi
sekelas pekerja yang fresh-graduate
yang setidaknya masih terbawa idealisnya seorang mahasiswa. Dunia kampus memang
sebuah tempat seperti kita sedang latihan tinju dengan dilengkapi matras untuk
jatuh, sehingga kita bebas kapanpun kita akan jatuh ada matrass yang menahan.
Tapi dalam dunia nyata tidak ada lagi matrass, kadang kita merasa masih ada matras
sehingga kita masih bisa tampil idealis. Sekalinya jatuh, kita tahu sejauh mana
idealisme itu bekerja.
Tapi
dalam lingkup industrial tak banyak yang mampu saya lakukan untuk berbuat
perubahan. Tunduk kepada manajemen perusahaan adalah hal yang sangat susah
dilakukan, secara personal mungkin majikan dan pekerja punya hubungan yang
harmonis, tetapi belum tentu dalam hubungan industrial juga demikian. Ingatlah
lagi konsep-konsep besar yang dijabarkan Marx dan Ralph Dahrendof. Dua orang
ini adalah mereka yang hidup dalam dua zaman yang sudah berbeda, namun masih
merumuskan satu kesepakatan dalam melihat kelompok sosial khususnya dalam
organisasi pekerja. Marx banyak melihat dinamika buruh di negaranya. Sedangkan
Dahrendorf menurut saya sudah banyak mendapatkan referensi dan bahan bacaan
dalam melihat sesuatu sehingga adakalanya ia menerapkan penjelasan Marx
disebalik zamannya ditambah lagi penjelasan yang lebih kekinian.
Meneliti
tentang buruh, sebagai salah satu syarat menamatkan studi sarjana, saya rasa saya
belum maksimal semasa itu, banyak hal yang saya lakukan hanya sebatas laporan
terbaru untuk pembimbing, dan tidak terpikir sedikitpun saya akan menemukan
sesuatu yang akan saya teliti secara berkesinambungan untuk melatih dan
memperkaya pengalaman-pengalaman saya untuk lanjutan.
Sedikit
menyesal, dengan adanya penyesalan berarti ada kesadaran yang saya punya.
Membuat semangat baru untuk tetap belajar. Saya adalah orang pembelajar, tetapi
otodidak adalah salah satu cara yang sangat manjur bagi saya. Selain murah,
juga menyenangkan (bagi saya).
Saya
punya segudang mimpi yang harus saya wujudkan, diantaranya adalah dalam dua
tahun kedepan saya harus granted untuk punya dosen pembimbing dari negeri
Marxis. Sejujurnya saya ingin menjadi sosiolog yang berpengaruh, untuk harga
sebuah pembangunan, SDM adalah modal utama, SDM yang hidup dari masyarakat yang
terdidik. Yang tujuan ujungnya adalah untuk memberikan pengajaran nantinya,
agar lahir pemikir-pemikir sosiologis yang baru dengan gayanya masing-masing.
Karena jujur, keterlibatan para sosiolog dalam kasus-kasus pembangunan di Indonesia
masih sangat rendah dibandingkan Negara maju saat mereka berada pada masa
pembangunannya dulu.
Terlahir
sebagai seorang yang pendiam bukan membuat saya menyadari bahwa yang harus saya
lakukan adalah sesuatu yang mengarah kepada operasional atau teknis, karena
tidak banyak keterlibatan komunikasi yang efektif dalam menjalankannya. Paling
banyak hanya alur koordiasi. Tetapi saya lebih menyenangi perkara-perkara
sebagai dalang, disebalik layar tetapi menjadi otak dalam sebuah pertunjukan.
Tanpa perlu tampil dipermukaan.
-There is no life by get a job as
an employee.-