Daratan Indochina, Siem Reap, Cambodia - Perjalanan Bergaya Apa Adanya


Jangan henti berbagi, pernah saya dengar “jika kau tak butuh alasan untuk meminta, maka kau juga tak butuh alasan untuk memberi” mungkin perjalanan yang kau lakukan sama saja dengan yang lain, melihat tempat baru, dan terkagum-kagum ditengah tebalnya perbedaan. Visualisasi akan memberikan pengalaman berbeda bagi masing-masing manusia, intuisi dan tujuan perjalanan membuatnya memberi sentuhan yang berbeda pula, hingga sayapun berniat menulis mengenai perjalanan saya untuk informasi bagi pembaca lain. Ditengah jutaan versi lain yang sudah ada.

Karena agan Nanda Bismar sukses memancing saya, kalau tidak ditulis, saya dianggap orang paling rugi sedunia. Okelah, dengan segala ketenangan malam ini di Balkon guesthouse, dengan The Spirit Carries On milik nya Dream Theather, saya mulai saja seberapa paragraph pun dapatnya nanti.

 Angkat Ransel
Terbang dengan Fireflyz dari batam dengan tipe pesawat ATR 72-500, berkode penerbangan FY milik Malaysia yang kita juluki negeri jiran itu. Masih kecil tapi  sudah bisa terbang. Pesawat mungil ini membawa saya berlepas dari Bandara Internasional Hang Nadim (kode bandara : BTH) menuju Subang, Kuala Lumpur – Malaysia (kode bandara : SZB). Pengalaman pertama terbang dengan pesawat kecil dengan seat 2-2. Take off seperti biasa, namun karena lebih kecil diudara ia labil, mungkin hanya angin kecil sebesar kentut saja kapal bisa berguncang. Hati jadi was-was mengingat penerbangan MH370, pun MH17. Dengan masa penerbangan satu setengah jam, saatnya landing, tak kalah ekstrim, landing pun pesawat sepertinya menukik terlalu tajam. Tapi syukurlah, saya sampai di Kuala Lumpur lewat bandara seperti bandara militer ini, tentu saja dengan cap imigrasi Subang di paspor halaman 17 untuk melengkapi koleksi.

Persiapan on board with Fireflyz

Saya memilih transit dua hari di Kuala Lumpur, karena saya sangat rindu hiruk pikuk turis lalu lalang di Chinatown, mereka tampil apa adanya tanpa mempermasalahkan merek baju, sandal, sepatu, maupun warna kulit. Sungguh melekat dihati. Kalau melihatnya membuat saya bisa bernafas lebih lancar, senyum simpul, sambil memejamkan mata. Tak ada yang akan meneriakkan kamu Indon? Kamu tuduh kami curi budaya.? Hmm, tak ada itu. Daripada mereka memikirkan Indonesia, lebih bagus mereka melayani pengunjung dari berbagai penjuru dunia. Ataukah memang saya sudah sangat melebur sehingga tidak lagi memikirkan nasionalisme? Saya rasa tidak juga, karena kau tahu? Betapa bangganya saya ketika menjawab “I’m from Indonesia” saat ditanyai para tetamu lain setiap saat.

 Jajanan Pinggir jalan favorit saya malam hari di kota Kuala Lumpur

 Menikmati sepiring satay sosis dan telur dadar

Semalam bertemu teman dari Couchsurfing dari Zambia dan Nigeria di reggae bar, bar remang-remang di desain sedemikian rupa dengan wajah-wajah Bob Marley, warna topi Bob Marley, dan saya nikmati lagunya, kebanyakan pria yang datang adalah pria berkulit hitam, sedangkan wanitanya banyak berkulit putih. Kalau pindah lagu, dan lagunya enak, siapapun dengan santai akan berjoged, apakah di dance floor, di meja sendiri, maupun berteriak seperti orang gila didepan bartender. Ah, sungguh sesuatu yang baru. Saya tidak minum, saya masih memegang nilai-nilai yang dibangun pada masa anak-anak saya. Seperti yang diceritakan Uche. Kegiatan para pria afrika disini memang mencari kesenangan. Jika satu sudah mendapatkan wanita maka akan dengan santai saja kissing, dikursi sampai tersungkur pun semua pengunjung akan santai saja.

Dapat dua teman kulit hitam, lumayan. Saya masukkan mereka di daftar teman di facebook. Karena sudah terlibat pembicaraan selama 3 jam membahas apa saja. Sukur sudah saya bisa masuk kesana tanpa harus memesan minuman karena semeja dengan Uche dan Chisenga.

Hari tanggal 21 pun datang, tiba saatnya terbang lagi menuju Siem Reap, Cambodia, saya bangun pagi-pagi, hanya tidur sekitar 3 jam gara-gara jadi anak Bar. Menaiki bus bandara ekonomi –ekonomi bagi mereka, tapi jika saya bandingkan dengan di negeri saya, itu sepertinya coach superduper eksekutif. Seharga RM10, saya naik dengan meletakkan bag carrier 50L merah yang melekat nyaman dipunggung. Lalu duduk tenang dengan L R ditelinga memutar lagunya Dear God – Avenged Sevenfold.

persiapan on board with Airasia AK
Ketahuilah, music juga obat kuat yang menggairahkan perjalanan, sama halnya seperti Viagra yang menggairahkan sesuatu lainnya.

Ada yang berbeda dengan KUL sekarang, LCCT telah berubah menjadi bandara seperti bandara raksasa berlogo KLIA2, lebih megah dan luasnya tak tanggung-tanggung. Dari shuttle bus hingga ke bay pemberangkatan mungkin saya berjalan nyaris satu kilometer dengan carrier 7kilo.

Tepat waktu, kami berdepart menuju Siem Reap yang akan mengambil waktu sekitar dua setengah jam. Perjalanan nyaman-nyaman saja, namun ada yang menarik saat landing, kapten memberikan kehebohan, baru saja ia siap memberi tahu kita sudah landing, saat perjalanan dari landasan pacu menuju bay tempat parkir. Iapun bernyayi, kesannya adalah seolah-olah ia lupa mematikan microfon, lalu bernyanyi seperti tak ada yang mendengar. Sontak saja semua pengunjung tertawa, heran, lihat kiri kanan muka belakang, diakhir nyanyinya ia berkata Thank you. Seluruh penumpang bule-bule termasuk saya ikut bertepuk tangan meriah didalam pesawat, riuh dan lama sekali seperti habis menang adu ayam. Dasar bule pikirku, apa saja ditepuk tangani, sangat respect sekali.

Siem Reap, Cambodia (Kampuchea) kota kecil pemilik Angkor Wat kenamaan itu, sampai-sampai ada julukan Negeri Seribu Candi untuknya. Tapi saya tidak tertarik menulis mengenai sejarah Angkor, karena saya memang tidak punya dasar menulis disisi sejarah. Lebih kurang Angkor Internasional Airport ini seperti BIM, sederhana, namun teratur dan bersih sesuai funginya. Saya dijemput seorang local yang saya temui di Couchsurfing, dan sudah berteman di facebook sekedar saya curi-curi informasi real sebelum berangkat. Ia membawa tulisan di kertas di arrival hall dengan nama facebook saya.

Lalu dengan mini skuternya saya duduk dibelakang, seperti anak-anak main sepedaan berboncengan. Kami melaju, untuk diketahui, setir mobil disini ada disebelah kiri dan jalur kemudi disebelah kanan. Seperti Amerika. saya menggali informasi darinya, bahw ia dari sebuah kampung disini, lalu meminta untuk ikut dengannya. Katanya saya turis, muda dan tampan, jadi jangan pergi kedesa karena tidak cocok. Saya tampik semuanya, hingga saya ikut dengannya, tapi maaf, nama desanya entah apa, nanti saya tanya.

Couchsurfer dari Siem Reap dengan Tuk-Tuknya

Hari itu petualangan dimulai, persis seperti suasana desa, anak-anak pakai baju yang sudah melekat getah seribu kayu, mengingat tingginya aktivitas anak-anak desa dibanding kota. Saya disuguhkan banyak hal, mulai dari menangkap kodok untuk digulai, jujur saya geli sekali dengan kodok, kulitnya kasar tidak jelas, tapi setelah dikuliti jadi seperti puyuh. Saya tak akan memberi penilaian baik atau buruk, yang pasti inilah indahnya perjalanan. Melihat banyak hal baru, mendatangkan bibit inspirasi.

Malamnya, kami menginap dirumahnya yang mungkin tidak layak, tapi saya ingin menikmati setiap halnya utuh dan nyata seperti apa yang sebelumnya mereka jalani, tanpa harus saya minta selimut tebal, terserah, masuk angin, masik badai, tiada mengapa kawan. Sayapun tak mau berlagak jadi orang kota pergi kedesa. Sejak dulu saya sudah muak dengan sandiwara. Tak ada untung, tak ada kenaikan martabat, tak ada perbaruan skill atau apapun lah itu. Bahkan kalau ada kesempatan bertemu teman lokal disekitar danau Tonlesap, saya mau mencari cara agar bisa tidur semalam diatas rakit.

Cukup, saya puas dengan apa yang saya lihat saya rasakan, yang nyata memang lebih nikmat. Mungkin itulah dasarnya kejujuran itu menjadi hal yang sangat berarti karena ia sederhana, dan apa adanya. Tanpa sandiwara. Karen kejujuran itu adalah sesuatu yang nyata.

Kembali dari suburbia. Dibulan Juli adalah musim penghujan, sekaligus low session untuk musim pengunjung, kalau sedang peak session kota ini bisa sesak karena turis tumpah ruah sampai tidak menemukan penginapan dan terpaksa menggelar bed cover untuk tidur didepan pertokoan. Inilah low session, penduduk setempat memang lebih bisa menghormati para travelers yang bepergian dengan gaya apapun, gaya ransel, gaya ekstrim, gaya koper, dan lain sebagainya.

Bahkan hari ini hujan berhenti pada pukul Sembilan pagi, tanpa henti semenjak pukul enam sore hari sebelumnya. Sungguh menawan betapa berkah dari langit ini sanggup meredam malam penghuni kota ini hingga tidur menjadi lelap.

Saya salah satu travelers, yang saya sebut begitu, punya gaya traveling yang sedikit ekstrim, dan tak terlalu berhasrat ikutan melihat tempat-tempat yang memang jalur wisata. Penduduk sudah terbiasa dengan tradisi bertualang turis-turis pelit begini.

Yang unik lagi adalah pemberlakuan dua mata uang disini, ianya Dolar Amerika dan Real Cambodia, nilai tukarnya kira-kira $1 equals to 4000R. jika belanja seharga $1.50 dan memberikan uang $2, maka kembalian 50 cents dalam bentuk real yaitu 2000R.

Pagi hari saya segera merental sebuah sepeda seharga $1, ya satu dolar free air minum botol 600ml dan free map. Ya tuhan, jika saya bayangkan ini hanya 11.000 rupiah, tetapi sudah gratis lagi 1 air minum yang mungkin paling murah seharga 2500. Mengayuh sepeda menuju arah selatan mendekati danau Tonlesap, pemukiman pondok berkaki karena berdiri diatas rawa, saya temui berbagai bentuk keindahan, ada kebun teratai yang luasnya membutakan mata, memekakkan telinga.

Worth it dengan rental sepeda bisa jalan-jalan sepuasnya mengitari Siem Reap

Karena berkendara disini sama dengan Amerika, berkendara disebelah kanan. Membuat saya bingung saat melintas jalan, tak tanggung-tanggung, hampir ditabrak mobil karena tak terbiasa berjalan mengendarai sepeda di sebelah kanan jalan.

Krong Siem Reap, sewa penginapan disini mulai dari $1, untuk sebuah bed dalam dorm. Bayangkan saja, bed disini hanya diletakkan dilantai disebuah ruangan besar tanpa dipan. Mirip seperti suasana pulang kampung saat lebaran pada tradisi orang Indonesia. Sukur-sukur kalau ketemu bule yang pendiam, tidur bisa nyenyak sedikit lah. Kalau yang suka berbual tak henti-henti, saya terpaksa meladeni, olah kemampuan bahasa. Itu untuk yang $1, iseng-iseng saya bertanya kepada petugas guesthouse, ramai atau tidaknya orang Indonesia yang menginap di dorm-nya. Ternyata sangat jarang, dia mungkin sudah lupa atau tidak pernah mengingat lagi karena kecil kemungkinan orang Indonesia menginap di dorm. Karena satu kamar yang lumayan bagus dihargai $3 saja dan bisa ditempati 2 orang, artinya hanya $1.50 per orangnya. Itu kalau pergi bersama teman-teman. Berbeda hal dengan yang solo seperti saya.

Sekitaran Night Market di sore hari

Hari ini saya terpaksa harus mengunjungi juga Angkor wat walaupun dihargai $20, dengan sepeda, saya mendayung sekitar 7 kilometer perjalanan dari kota, dan didalamnya sungguh seperti sebuah negeri lagi, luas tak terkira. dari ribuan temple hanya 11 yang dapat saya kunjungi, karena lelah. Yang menarik adalah salah satu temple –Ta Prom, yang digunakan oleh produser sehingga tante Enjel a.k.a Angelina Jolie bisa filming film Tomb Raidernya disini. Termasuk film Transformers 3. Adalagi sebuah tempat seperti kuil yang jika kita menepuk dada didalamnya akan menggema, tapi ini magic menurut saya, menggema lebih keras, berapalah suaranya saat kau menepuk dada, tapi akan keluar bunyi seperti sedang menabuh bass drum. Puncak penasaran saya disini, saya kelilingi tak ada apa-apa, tanahpun tak ada tanda-tanda ditanam sound system, saya masuk lagi, keluar lagi, masuk lagi, hingga bule-bule sampai tak kebagian karena saya deadly curious.

Angkot pass yang mahal sekali untuk kantong saya

Tapi dari sekian banyak turis yang menghabiskan uangnya disini, bahkan satu hari visit saja $20, paling murah, dan antrinya panjang hingga sore. Saya terbayang berapa dolar yang akan ia kumpulkan. Dan itu takkan sedikit income nya. Tak sebanding rasanya dengan apa yang saya lihat kemarin didaerah desa kehidupan masyarakatnya yang begitu menghibakan.

Sekian dulu ya, kepanjangan nanti bosan. Salam damai.
0 Responses