Melintas Daratan Indochina, Dengan Sentuhan Spiritual


Perjalanan spesial kali ini adalah yang sedikit lebih ekstrim, kalau kita tak berpikir aneh, tak mungkin kita melakukan hal aneh, atau, kalau kita tak berpikir akan sesuatu yang baru, takkan kita melakukan sesuatu yang baru. Perjalanan di Cambodia belumlah berakhir, setelah mengarungi alam Cambodia tepatnya di Siem Reap, dan sedikit ke pesawangan O-Meanchey, sekarang ide yang timbul dalam otak saya adalah untuk melakukan perjalanan overland hingga ke rumah. Mulai dari Cambodia tanpa menggunakan pesawat terbang. Kira-kira akan menempuh lebih dari 2000 km mungkin dalam sebuah garis dari utara hingga ke Khatulistiwa.




Dari daratan Indochina, Siem Reap, Cambodia sebagai starting point akan menuju ke Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia sebagai titik target. Itulah target rute yang akan saya tempuh kali ini. Jika diperhatikan peta akan melipir ke pesisir daratan Indochina hingga membelah semenanjung Malaysia dari Thailand.

Oke, dimulai dari pemetaan dan pengkajian kawasan dan pemilihan lokasi yang akan saya singgahi, bak tim investigasi saya menentukan titik-titik kunjung dan transportasi yang akan saya gunakan dengan satu peta buta ASEAN. Cukup rapi, karena sudah terbiasa merancang perjalanan kecil-kecilan seperti ini.

Maka tanggal 27 Juli bertepatan hari Minggu, mulailah eksekusi perdana, saya mulakan perjalanan dari Siem Reap menuju Poi Pet, yang akhirnya nanti akan singgah di Bangkok, Thailand sebagai tahap pertama, yang semuanya digabung menjadi satu tiket seharga $9, USD. Sekedar informasi Siem Reap ke Poi Pet membutuhkan waktu menggunakan bus sekitar dua jam tiga puluh menit. Poi pet adalah kawasan yang masuk kedalam administratif Negara Cambodia yang terletak didekat border, sedangkan kawasan di Negara Thailand yang terdekat dari border adalah Aranyaprathet. Lebih kurang dua setengah jam perjalanan dengan bus yang akan mengantar saya menjangkau tempat ini.

Satu bus dipenuhi dengan Mat Saleh dan beberapa orang Chinese serta dua orang cowok muda dari korea, berbadan atletis tetapi kesannya agak seperti didalam video klip BoyBand yang digandrungi para wanita. Ah, pemandangan ini membuat kayakinanku bertambah 3% kalau pria korea memang lembut.

Tapi tak mengapa, toh, kita semua punya ciri khas sebagai suatu bangsa. Bukankah begitu. Seat bus semuanya terpenuhi, pas sekitar empat puluh kursi. Bus melaju nyaman, didataran yang datar datar saja jalannya lurus dan tak banyak kelok-kelok, sopir bus hanya sekedar membelok-belokkan sedikit saja kendali kemudi kalau misalnya ada yang lewat melintas. Kalau dalam game balap ini mungkin masuk dalam level pra-permainan, trial race sebagai perkenalan. Tanpa ada gangguan yang berarti.

Aku duduk dengan seorang wanita Holland yang kutaksir umurnya sekitar 35 tahun, ia mengenakan tank top hitam dengan rambut pirang tergerai agak curly, duduk sambil memainkan iPhonenya. Mengenakan celana batik tipis panjang yang longgar bukan barang branded sepertinya, kumal, dan sudah berdaki bagian pergelangan kakinya. Kuperhatikan tak ada yang special walaupun ia seorang wanita berkebangsaan Belanda yang tersohor. Santai dan tak banyak aksen mencolok pada penampilan. Apakah memang dia orang yang tak punya uang dinegaranya. Rasanya tidak juga, terbang ke Asia dari benua Eropa tidaklah murah kalau dipikir. Akhirnya kusimpulkan bahwa mereka memang tampil apa adanya mereka. Tak ada yang akan mereka lebih-lebihkan apalagi cenderung mereka paksakan.

Beberapa saat kemudian saya tertidur dan tak tahu apa yang terjadi, saya menemui bus masuk kesebuah pertokoan untuk berhenti mengisyaratkan penumpangnya bagi yang mau berbelanja, minum, atau ke toilet. Saya tetap didalam bus saja, karena itu hari terakhir puasa. Cobaan yang berat memang, yang sampai akhir ramadhan empat hari puasa saya gugur.

Lanjut perjalanan dan sampailah menuju daerah border yang bernama Poi Pet, untuk bagian wilayah Cambodia. Sebelum turun penumpang yang membeli tiket langsung menuju Bangkok saat di Siem reap akan diberi stiker kecil berbentuk persegi sebesar empat kali permukaan dadu biasa. Ditempelkan di baju bahagian dada yang mudah terlihat. Berwarna merah dan dibubuhi nomor antrian, lalu turun sembari mengangkut semua barang-barang karena kondektur mengingatkan kami akan berpindah dan berganti bus dan berganti tiket.

Semua tiket dikumpulkan. Kami berbondong-bondong mengejar antrian di imigrasi Cambodia, suasana disana agaknya seperti pasar trandisional, sangat berdebu, jalanan tak jelas diaspal atau tidak. Saat satu kendaraan lewat, pejalan kaki akan hilang beberapa detik dilamun debu dan akan terlihat lagi beberapa detik kemudian setelah debu gugur ke tanah. Ibu-ibu berduyun-duyun mengejar membawa seperti gerobak menawarkan angkutan bagasi kepada penumpang yang turun. Mereka memakai topi anyam dengan cadar yang dibelitkan ke leher hingga menutupi leher untuk melindungi pernafasan dari debu-debu kering yang labil apalagi kian beterbangan oleh teriknya matahari.

Ada yang berjualan ayam goreng gerobak ditengah suasana seperti itu, goreng-gorengan lain yang tak mengundang selera sedikitpun. Tapi banyak gerobak yang berjejer di bahu jalan sedikit agak mengambil paruh jalan.

Kami berjalan seperti instruksi sopir bus untuk menuju imigrasi Cambodia, Poi Pet. Wah sungguh bentuknya seperti kedai kopi saja, disana petugas imigrasi menyambut dan meminta kami antri, untunglah aku sendirian orang Indonesia tak mau ketinggalan daripada orang-orang bule yang jenjang-jenjang kakinya, aku paling dulu antri, sehingga secepat kilat passpotku halaman 18 di cap keluar dari Negara Cambodia dengan hentakan bunyi stempel yang khas.

Lalu tanpa ada instruksi aku faham bahwa kalau sudah keluar Cambodia, maka aku harus cepat-cepat menemukan imigrasi Thailand. Itu pasti, tak perlu kebingungan, karena aku se-amatir amatirnya adalah travelers juga. Ternyata jarak jalan dari imigrasi Cambodia dengan Thailand cukup jauh, sehingga harus berjalan mengikuti jalan kecil yang dilalui truk truk besar. Seperti jalan bypass yang macet, begitulah kira-kira ditambah debu sensasi jalanan yang amat menyiksa.

Tanpa ada petunjuk yang jelas, aku sukses sampai di imigrasi Thailand, juga berkejar-kejaran dengan beberapa orang bule, saat mereka mengikuti saya berharap dapat sama-sama sampai, beberapa saat kemudian merekalah yang saya ikuti dan kejar lagi karena ketiadaan informasi yang jelas, begitu sampai di imigrasi Thailand kami diberi kartu kedatangan, tak perlu isi langsung pikirku hingga aku mengejar antrian ke lantai dua untuk pemegang passport non-Thailand. Sedangkan orang-orang Thailand ramai bergelimpangan dengan barang-barang angkutan yang menggunung. Ternyata mereka curang atau lebih cerdas atau bahkan cukup uang, dan memilih membayar beberapa tuk tuk untuk sampai ke imigrasi sekejap mereka sudah berada didepanku untuk antri.

Sampai dilantai dua sudah banyak yang antri, panjang bukan main, sekitar satu jam melewati perputaran waktu disini amatlah membosankan, haus menggigit dikerongkongan. Antriannya seperti antrian ular, melilit-lilit sampai ke ekornya. Bule-bule kebanyakan traveling berpasangan, tapi ramai juga yang solo, dua orang bule Argentina yang terbaca disampul paspornya, didepan saya sedikit-sedikit bicara, udah ciuman, sedikit-sedikit berciuman lagi. Untunglah semua yang ada disini tidak ada anak dibawah umur. Mungkin karena mereka tahu akan itu.

Sampai giliranku tiba, beringsut-ingsut selama se-jam, namun semuanya sabar-sabar saja. Tak ada bule yang menyerobot antrian, semua fair. Amat fair. Aku dicap stempel masuk Thailand sambil sebelumnya saat antrian aku mengisi arrival card-nya imigrasi Thailand. Sudah beberapa kali namaku masuk menjadi pengunjung yang masuk dari daerah perbatasan darat. Hanya sekali masuk via bandara Don Mueang.

Tak lantas aman sampai disana, kami kembali berjalan keluar tanpa boleh berhenti. Sampai berada disebuah pinggir jalan yang lumayan besar, namun telah berada diwilayah Thailand tentu tetap berdebu. Karena kami akan berganti kendaraan yang lebih kecil yaitu van yang berisi lebih kurang duabelas orang beserta sopir. Bus yang dari Cambodia tidak masuk wilayah Thailand karena mereka memakai jalur kanan seperti America dan Thailand sama seperti di Indonesia yang menggunakan jalur kiri. Maka bus mereka hanya sebatas sampai wilayah perbatasan.

Aku berharap akan segera naik van yang mereka janjikan karena nomor antrianku nomor 3. Artinya kalau satu van ada 11 orang maka aku akan tetap van pertama yang akan melanjutkan perjalanan menuju Bangkok. Artinya lagi aku akan duduk dalam bus dan menggugurkan kepenatan, namun sayang. Tak langsung menaiki van, kami diangkut lagi dengan sebuah mobil pick up tanpa tutup dibelakang, seperti angkutan ibu-ibu yang mau kepasar sayur dikampung saya, yang biasa dipanggil kendaraan cigak baruak. Kami naik dengan barang bawaan, karena dipaksakan, aku terpaksa berdiri bergelantungan dibelakang bersama bule-bule cowok lainnya empat orang. Sang bule berteriak-teriak “its interesting”. Ya memang, pengalaman yang sangat berharga.

Hingga kesuatu tempat loket penumpang kami diturunkan dan diminta untuk makan dan minum dulu sebelum melanjutkan perjalanan menuju Bangkok, kami diturunkan dan mobil pick up kembali lagi ke perbatasan untuk menjemput sisanya, sekitar empat kloter semuanya telah terkumpul ditempat loket ini. Disebuah kedai kopi. Aku duduk sendiri, karena disini takkan ada yang akan memperhatikanku, minoritas, tak diperhitungkan. Begitulah rasanya, namun sungguh ajaib, bule korea ini duduk dikursi dihadapanku dan menyapa, ditanya darimana, aku jawab dari Indonesia dengan sungguh-sungguh dari hati yang terdalam ingin melafaskan dengan jelas Indonesia. Aku balik bertanya ia darimana, tapi sebelumnya aku sudah mendengar dia berkenalan dengan pria Cekoslovakia makanya aku tahu ia dari Korea.

Ia senang sekali senyum, tiap sebentar merapikan poni dan melap keringat diwajahnya dengan tissue, sedangkan aku tak tahu bagaimana bentukku saat itu, tak peduli muka sudah berminyak dan menempel kotoran seribu kubangan. Kuusap sekalinya mukaku cukup licin, kucium aromanya bagai bau besi karatan yang lembab. Begitulah. Namun bule korea ini ramah padaku. Selagi mereka ramah aku tetap senang. Namun orang korea yang fashionable seperti dia berbadan atletis karena mungkin rajin fitness, bisa saja dengan mudah sebenarnya mengabaikan saya yang dari Indonesia, sudah beberapa minggu makan hanya untuk supaya tidak mati. Tak ada kandungan vitamin, mineral empat sehat lima sempurna yang diperhatikan.

Kami saling bercerita, ternyata itu kali pertama dia merasakan hal seperti ini, tapi memang aku juga pertama kali, aku cukup tahu siapa itu Negara korea. Cukup tahu. Korea selatan, busan dan seoul. Ia memesan nasi goreng, karena aku tak memesan ia bertanya, aku sungguh tak mau mejelaskan lebih lanjut masalah puasa-puasaan, cukup urusanku dengan tuhan, namun kukatakan juga aku puasa, dan aku muslim. Dia mengerti dan makan cukup menjauh dariku.

Karena antriannya jauh, aku tak satu van dengan si korea, karena saat turun tadi ia lambat sekali celingukan entah apa yang dicari, sedangkan aku serba lincah saja. Jangan pikir aku pria asian yang tak setara cara berpikirnya dengan yang lain, jangan sesekali. Aku naik van dan saat itu sedikit lega, AC cukup sejuk, sehingga dahaga yang teramat parah itu sedikit mereda. Ya sedikit mereda. Seketika aku terlelap disaat ada tiga orang disampingku satu orang pria Cekoslovakia bertemu rekan senegaranya sepasang manusia, lalu masuklah cerita mereka dengan bahasa mereka. Aku kalap.

Van bergerak langsung menuju Aranyaprathet. Sebenarnya ada cara yang lebih murah daripada harus membayar 9 USD. Yaitu dengan membeli tiket ke border saja (Poi Pet) dari Siem Reap, kemudian naik seperti ojek menuju stasiun kereta api Aranyaprathet. Paling telak akan habis cuma 7 USD. Namun, aku karena hari ini puasa aku harus tetap menyeimbangkan langkah stamina yang tersedia.

Kota aranyaprathet di Thailand ini sedikit lebih berkembang, jalannya rapi dan licin di aspal, sebagian besar yang terlihat. Rambu-rambu jalan lengkap dan rapi. Tak tahu nanti apa yang akan terjadi sampai di Bangkok yang jelas perjalanan yang akan mengambil waktu lima setengah jam ini harus kunikmati sepenuhnya.

Kiri kanan kulihat, seperti anak-anak yang naik kepuncak gunung yang kiri kanannya pohon cemara. Sungguh dataran yang luas, sepanjang mata memandang hanya dataran yang bertemu digaris langit yang lurus. Tak seperti di Indonesia perjalanan dari medan ke padang diapit bukit bukit dan jalannya terpaksa berkelok-kelok, belum rasanya belok kekiri sudah dihempas lagi balasan belok kekanan. Entah jam berapa dan berapa jam aku tertidur yang pasti baterai handphone sudah tidak ada lagi, kulalui waktu dengan kerabunan akan jarum jam. Saat mengisi NGV gasoline, semua penumpang diminta turun. Aku turun, sekitar 10 menit, lanjut lagi.

Tak ada lagi yang menarik hingga aku tertidur dan tiba di Bangkok setelah dua kali mengisi bensin. Kami turun semuanya di Stasiun kereta tersohor Hua Lamphong. Tujuanku adalah menemukan Khaosan Road. Aku langsung saja menuju konter tiket untuk memesan perjalanan darat lanjutan dari Bangkok menuju Hat Yai. Untuk tanggal 29 Juli. Karena 28 Juli besoknya bertepatan hari raya. Ya betul hari raya, tak hanya perjalanan ekstrim dan melelahkan, namun juga perjalanan spiritual yang kiranya menjadi pelajaran dan pengalaman penting dalam hidup saya.

Aku langsung menaiki bus nomor 53, ditengah perjalanan, hari sudah petang dan sudah menujukkan terbenamnya matahari, aku berbuka puasa, nukmatnya sungguh nikmat yang hakiki. Dari stasiun Hua Lamphong menuju Khaosan Road, dengan membayar 8 baht, aku tiba di sebuah monument yang dekat dengan Khaosan Road. Aku turun dan berjalan beberapa ratus meter. Mengamati sepanjang jalanan yang sibuk dengan pengunjung, biarpun ini bulan ramadhan tak ada tanda-tanda disana adalah suasana bulan ramadhan, sedikitpun, pria-pria putih menenggak bir dari selang dan yang lain bersorak-sorak. Aku mencari guesthouse yang murah dan terjangkau disepanjang jalan ini.

Kudapat sebuah guesthouse namun hari ini aku mau booking sebuah single room saja, mengingat besok akan pergi ke masjid dengan meninggalkan tas disini sebelum check out. Duduk dan mulai mencari lokasi masjid terdekat. Langsung selepas mandi saya mencari masjid tersebut sampai bertemu supaya besok tidak kesasar lagi. Dan memastikan bahwa masjid itu ada, bukan tipuan peta.

Ketemu dan senang, saya tidur dan memasang alarm, sedih sungguh saat teman-teman menjangkau kampung halaman saat hari raya, saya malah semakin menjauh mencari sesuatu yang beda didunia ini. Merasakan kalau kenikmatan hari raya itu benar-benar masalah dengan siapa kita merayakannya.

Esok harinya alarm berbunyi, saya mandi dan bersiap-siap menuju masjid. Dengan sebuah peci hadiah dari teman kantor saya dulu Mr. Gita. Kukenakan dengan nyaman dan bangga bisa memilih Islam ditengah semakin semaputnya budaya sekitar. Sampai di masjid tiada siapa-siapa yang kutahu begitupun sebaliknya, hingga ada seorang pria memintaku mengambil potonya dengan pakaian muslim saat suasana hari raya, didepan masjid. Akupun minta tolong pula. Sayangnya ia tak bicara English, jadi kami hanya sebatas teman dengan bahasa yang menyedihkan. Bahkan bahasa tubuhpun tak mampu. Hanya bertukar nama dan mengucap salam dengan “eid Mubarak”. Itu saja dan hilang.

Suasana masjid sedikit ramai, ada tenda-tenda yang sudah dipenuhi ibu-ibu berjilbab menggelar makanan seperti makanan saat pasar ramadhan di Padang. Sholat Eid dimulakan pukul 09.30 disana, menakjubkan jauh dibalutan metropolitan kota dengan beberapa gang tikus saja menuju masjid, tak ada sedikitpun berbeda dengan Islam, subhanallah, mashaAllah. Yang berbeda hanya bahasa saat ceramah, itu wajar, karena ceramah lebih mermanfaat bagi mereka. Ramai dan jika ia berceramah dalam bahasa Indoensia, maka hanya aku sendiri yang diberi ceramah.



Sholat Eid dimulai, itulah muslim, satu bahasa satu tatanan, satu dalam semuanya. Satu arah kiblat, satu bahasa ibadah, Islam adalah kesatuan. Kingdom yang terarah dan padu. Itulah yang kudapat. Setelah selesai sholat hari raya, ceramah dimulai, aku hanya tahu ketika nama Allah SWT disebut dan nabi Muhammad, selebihnya hanya kicauan belaka. Paling hanya kap ku nikap. Kap. Kap. Hanya itu.


Acara yang dinanti datang juga, ternyata hidangan ini untuk semuanya yang hadir disini. Aku riang tak kepalang, karena aku yakin kehalalannya. Gratis pula. Aku makan, walau tidak enak, tak merasa ingin memuntahkan ataupun was-was. Empat orang dalam satu Loyang besar. Mereka selalu mempersilakanku makan dengan menyodorkan lauk-lauknya dekat-dekat. Aku seperti anak emas, saat kukatakan aku dari Indonesia. Senangnya namun risih juga. Kuenya yang kulahap habis, enak dan worth it. Setelah tersebar berita aku tamu asing dari Indonesia yang tersesat disana, aku dipandangi oleh imamnya sekalipun mengucap salam dan menyalamiku sambil memelukku. Ibu-ibu takjub tak kepalang sambil membekap dada. Kami berpoto semua, mendadak aku jadi selebritis melayani mereka yang ingin berpoto, lega rasa hati teramat sangat. Sayang hape sudah habis batere, baru saja beberapa jam.

Hari itu memang sangat menggembirakan, setidaknya walau tak hadir dalam keluarga besar, aku menemui sesuatu lain yang membawa pengalaman dengan nilai baru. Longgarnya nafas didada bagai deburan ombak yang lega. Inilah muslim di Bangkok, Thailand. Inilah hari raya di negeri yang kita sebut Negeri gajah Putih.
1 Response
  1. intan Says:

    Lanjutkan Cep!! Terharu baco e...