Melintas Daratan Indochina, Dengan Sentuhan Spiritual


Perjalanan spesial kali ini adalah yang sedikit lebih ekstrim, kalau kita tak berpikir aneh, tak mungkin kita melakukan hal aneh, atau, kalau kita tak berpikir akan sesuatu yang baru, takkan kita melakukan sesuatu yang baru. Perjalanan di Cambodia belumlah berakhir, setelah mengarungi alam Cambodia tepatnya di Siem Reap, dan sedikit ke pesawangan O-Meanchey, sekarang ide yang timbul dalam otak saya adalah untuk melakukan perjalanan overland hingga ke rumah. Mulai dari Cambodia tanpa menggunakan pesawat terbang. Kira-kira akan menempuh lebih dari 2000 km mungkin dalam sebuah garis dari utara hingga ke Khatulistiwa.




Dari daratan Indochina, Siem Reap, Cambodia sebagai starting point akan menuju ke Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia sebagai titik target. Itulah target rute yang akan saya tempuh kali ini. Jika diperhatikan peta akan melipir ke pesisir daratan Indochina hingga membelah semenanjung Malaysia dari Thailand.

Oke, dimulai dari pemetaan dan pengkajian kawasan dan pemilihan lokasi yang akan saya singgahi, bak tim investigasi saya menentukan titik-titik kunjung dan transportasi yang akan saya gunakan dengan satu peta buta ASEAN. Cukup rapi, karena sudah terbiasa merancang perjalanan kecil-kecilan seperti ini.

Maka tanggal 27 Juli bertepatan hari Minggu, mulailah eksekusi perdana, saya mulakan perjalanan dari Siem Reap menuju Poi Pet, yang akhirnya nanti akan singgah di Bangkok, Thailand sebagai tahap pertama, yang semuanya digabung menjadi satu tiket seharga $9, USD. Sekedar informasi Siem Reap ke Poi Pet membutuhkan waktu menggunakan bus sekitar dua jam tiga puluh menit. Poi pet adalah kawasan yang masuk kedalam administratif Negara Cambodia yang terletak didekat border, sedangkan kawasan di Negara Thailand yang terdekat dari border adalah Aranyaprathet. Lebih kurang dua setengah jam perjalanan dengan bus yang akan mengantar saya menjangkau tempat ini.

Satu bus dipenuhi dengan Mat Saleh dan beberapa orang Chinese serta dua orang cowok muda dari korea, berbadan atletis tetapi kesannya agak seperti didalam video klip BoyBand yang digandrungi para wanita. Ah, pemandangan ini membuat kayakinanku bertambah 3% kalau pria korea memang lembut.

Tapi tak mengapa, toh, kita semua punya ciri khas sebagai suatu bangsa. Bukankah begitu. Seat bus semuanya terpenuhi, pas sekitar empat puluh kursi. Bus melaju nyaman, didataran yang datar datar saja jalannya lurus dan tak banyak kelok-kelok, sopir bus hanya sekedar membelok-belokkan sedikit saja kendali kemudi kalau misalnya ada yang lewat melintas. Kalau dalam game balap ini mungkin masuk dalam level pra-permainan, trial race sebagai perkenalan. Tanpa ada gangguan yang berarti.

Aku duduk dengan seorang wanita Holland yang kutaksir umurnya sekitar 35 tahun, ia mengenakan tank top hitam dengan rambut pirang tergerai agak curly, duduk sambil memainkan iPhonenya. Mengenakan celana batik tipis panjang yang longgar bukan barang branded sepertinya, kumal, dan sudah berdaki bagian pergelangan kakinya. Kuperhatikan tak ada yang special walaupun ia seorang wanita berkebangsaan Belanda yang tersohor. Santai dan tak banyak aksen mencolok pada penampilan. Apakah memang dia orang yang tak punya uang dinegaranya. Rasanya tidak juga, terbang ke Asia dari benua Eropa tidaklah murah kalau dipikir. Akhirnya kusimpulkan bahwa mereka memang tampil apa adanya mereka. Tak ada yang akan mereka lebih-lebihkan apalagi cenderung mereka paksakan.

Beberapa saat kemudian saya tertidur dan tak tahu apa yang terjadi, saya menemui bus masuk kesebuah pertokoan untuk berhenti mengisyaratkan penumpangnya bagi yang mau berbelanja, minum, atau ke toilet. Saya tetap didalam bus saja, karena itu hari terakhir puasa. Cobaan yang berat memang, yang sampai akhir ramadhan empat hari puasa saya gugur.

Lanjut perjalanan dan sampailah menuju daerah border yang bernama Poi Pet, untuk bagian wilayah Cambodia. Sebelum turun penumpang yang membeli tiket langsung menuju Bangkok saat di Siem reap akan diberi stiker kecil berbentuk persegi sebesar empat kali permukaan dadu biasa. Ditempelkan di baju bahagian dada yang mudah terlihat. Berwarna merah dan dibubuhi nomor antrian, lalu turun sembari mengangkut semua barang-barang karena kondektur mengingatkan kami akan berpindah dan berganti bus dan berganti tiket.

Semua tiket dikumpulkan. Kami berbondong-bondong mengejar antrian di imigrasi Cambodia, suasana disana agaknya seperti pasar trandisional, sangat berdebu, jalanan tak jelas diaspal atau tidak. Saat satu kendaraan lewat, pejalan kaki akan hilang beberapa detik dilamun debu dan akan terlihat lagi beberapa detik kemudian setelah debu gugur ke tanah. Ibu-ibu berduyun-duyun mengejar membawa seperti gerobak menawarkan angkutan bagasi kepada penumpang yang turun. Mereka memakai topi anyam dengan cadar yang dibelitkan ke leher hingga menutupi leher untuk melindungi pernafasan dari debu-debu kering yang labil apalagi kian beterbangan oleh teriknya matahari.

Ada yang berjualan ayam goreng gerobak ditengah suasana seperti itu, goreng-gorengan lain yang tak mengundang selera sedikitpun. Tapi banyak gerobak yang berjejer di bahu jalan sedikit agak mengambil paruh jalan.

Kami berjalan seperti instruksi sopir bus untuk menuju imigrasi Cambodia, Poi Pet. Wah sungguh bentuknya seperti kedai kopi saja, disana petugas imigrasi menyambut dan meminta kami antri, untunglah aku sendirian orang Indonesia tak mau ketinggalan daripada orang-orang bule yang jenjang-jenjang kakinya, aku paling dulu antri, sehingga secepat kilat passpotku halaman 18 di cap keluar dari Negara Cambodia dengan hentakan bunyi stempel yang khas.

Lalu tanpa ada instruksi aku faham bahwa kalau sudah keluar Cambodia, maka aku harus cepat-cepat menemukan imigrasi Thailand. Itu pasti, tak perlu kebingungan, karena aku se-amatir amatirnya adalah travelers juga. Ternyata jarak jalan dari imigrasi Cambodia dengan Thailand cukup jauh, sehingga harus berjalan mengikuti jalan kecil yang dilalui truk truk besar. Seperti jalan bypass yang macet, begitulah kira-kira ditambah debu sensasi jalanan yang amat menyiksa.

Tanpa ada petunjuk yang jelas, aku sukses sampai di imigrasi Thailand, juga berkejar-kejaran dengan beberapa orang bule, saat mereka mengikuti saya berharap dapat sama-sama sampai, beberapa saat kemudian merekalah yang saya ikuti dan kejar lagi karena ketiadaan informasi yang jelas, begitu sampai di imigrasi Thailand kami diberi kartu kedatangan, tak perlu isi langsung pikirku hingga aku mengejar antrian ke lantai dua untuk pemegang passport non-Thailand. Sedangkan orang-orang Thailand ramai bergelimpangan dengan barang-barang angkutan yang menggunung. Ternyata mereka curang atau lebih cerdas atau bahkan cukup uang, dan memilih membayar beberapa tuk tuk untuk sampai ke imigrasi sekejap mereka sudah berada didepanku untuk antri.

Sampai dilantai dua sudah banyak yang antri, panjang bukan main, sekitar satu jam melewati perputaran waktu disini amatlah membosankan, haus menggigit dikerongkongan. Antriannya seperti antrian ular, melilit-lilit sampai ke ekornya. Bule-bule kebanyakan traveling berpasangan, tapi ramai juga yang solo, dua orang bule Argentina yang terbaca disampul paspornya, didepan saya sedikit-sedikit bicara, udah ciuman, sedikit-sedikit berciuman lagi. Untunglah semua yang ada disini tidak ada anak dibawah umur. Mungkin karena mereka tahu akan itu.

Sampai giliranku tiba, beringsut-ingsut selama se-jam, namun semuanya sabar-sabar saja. Tak ada bule yang menyerobot antrian, semua fair. Amat fair. Aku dicap stempel masuk Thailand sambil sebelumnya saat antrian aku mengisi arrival card-nya imigrasi Thailand. Sudah beberapa kali namaku masuk menjadi pengunjung yang masuk dari daerah perbatasan darat. Hanya sekali masuk via bandara Don Mueang.

Tak lantas aman sampai disana, kami kembali berjalan keluar tanpa boleh berhenti. Sampai berada disebuah pinggir jalan yang lumayan besar, namun telah berada diwilayah Thailand tentu tetap berdebu. Karena kami akan berganti kendaraan yang lebih kecil yaitu van yang berisi lebih kurang duabelas orang beserta sopir. Bus yang dari Cambodia tidak masuk wilayah Thailand karena mereka memakai jalur kanan seperti America dan Thailand sama seperti di Indonesia yang menggunakan jalur kiri. Maka bus mereka hanya sebatas sampai wilayah perbatasan.

Aku berharap akan segera naik van yang mereka janjikan karena nomor antrianku nomor 3. Artinya kalau satu van ada 11 orang maka aku akan tetap van pertama yang akan melanjutkan perjalanan menuju Bangkok. Artinya lagi aku akan duduk dalam bus dan menggugurkan kepenatan, namun sayang. Tak langsung menaiki van, kami diangkut lagi dengan sebuah mobil pick up tanpa tutup dibelakang, seperti angkutan ibu-ibu yang mau kepasar sayur dikampung saya, yang biasa dipanggil kendaraan cigak baruak. Kami naik dengan barang bawaan, karena dipaksakan, aku terpaksa berdiri bergelantungan dibelakang bersama bule-bule cowok lainnya empat orang. Sang bule berteriak-teriak “its interesting”. Ya memang, pengalaman yang sangat berharga.

Hingga kesuatu tempat loket penumpang kami diturunkan dan diminta untuk makan dan minum dulu sebelum melanjutkan perjalanan menuju Bangkok, kami diturunkan dan mobil pick up kembali lagi ke perbatasan untuk menjemput sisanya, sekitar empat kloter semuanya telah terkumpul ditempat loket ini. Disebuah kedai kopi. Aku duduk sendiri, karena disini takkan ada yang akan memperhatikanku, minoritas, tak diperhitungkan. Begitulah rasanya, namun sungguh ajaib, bule korea ini duduk dikursi dihadapanku dan menyapa, ditanya darimana, aku jawab dari Indonesia dengan sungguh-sungguh dari hati yang terdalam ingin melafaskan dengan jelas Indonesia. Aku balik bertanya ia darimana, tapi sebelumnya aku sudah mendengar dia berkenalan dengan pria Cekoslovakia makanya aku tahu ia dari Korea.

Ia senang sekali senyum, tiap sebentar merapikan poni dan melap keringat diwajahnya dengan tissue, sedangkan aku tak tahu bagaimana bentukku saat itu, tak peduli muka sudah berminyak dan menempel kotoran seribu kubangan. Kuusap sekalinya mukaku cukup licin, kucium aromanya bagai bau besi karatan yang lembab. Begitulah. Namun bule korea ini ramah padaku. Selagi mereka ramah aku tetap senang. Namun orang korea yang fashionable seperti dia berbadan atletis karena mungkin rajin fitness, bisa saja dengan mudah sebenarnya mengabaikan saya yang dari Indonesia, sudah beberapa minggu makan hanya untuk supaya tidak mati. Tak ada kandungan vitamin, mineral empat sehat lima sempurna yang diperhatikan.

Kami saling bercerita, ternyata itu kali pertama dia merasakan hal seperti ini, tapi memang aku juga pertama kali, aku cukup tahu siapa itu Negara korea. Cukup tahu. Korea selatan, busan dan seoul. Ia memesan nasi goreng, karena aku tak memesan ia bertanya, aku sungguh tak mau mejelaskan lebih lanjut masalah puasa-puasaan, cukup urusanku dengan tuhan, namun kukatakan juga aku puasa, dan aku muslim. Dia mengerti dan makan cukup menjauh dariku.

Karena antriannya jauh, aku tak satu van dengan si korea, karena saat turun tadi ia lambat sekali celingukan entah apa yang dicari, sedangkan aku serba lincah saja. Jangan pikir aku pria asian yang tak setara cara berpikirnya dengan yang lain, jangan sesekali. Aku naik van dan saat itu sedikit lega, AC cukup sejuk, sehingga dahaga yang teramat parah itu sedikit mereda. Ya sedikit mereda. Seketika aku terlelap disaat ada tiga orang disampingku satu orang pria Cekoslovakia bertemu rekan senegaranya sepasang manusia, lalu masuklah cerita mereka dengan bahasa mereka. Aku kalap.

Van bergerak langsung menuju Aranyaprathet. Sebenarnya ada cara yang lebih murah daripada harus membayar 9 USD. Yaitu dengan membeli tiket ke border saja (Poi Pet) dari Siem Reap, kemudian naik seperti ojek menuju stasiun kereta api Aranyaprathet. Paling telak akan habis cuma 7 USD. Namun, aku karena hari ini puasa aku harus tetap menyeimbangkan langkah stamina yang tersedia.

Kota aranyaprathet di Thailand ini sedikit lebih berkembang, jalannya rapi dan licin di aspal, sebagian besar yang terlihat. Rambu-rambu jalan lengkap dan rapi. Tak tahu nanti apa yang akan terjadi sampai di Bangkok yang jelas perjalanan yang akan mengambil waktu lima setengah jam ini harus kunikmati sepenuhnya.

Kiri kanan kulihat, seperti anak-anak yang naik kepuncak gunung yang kiri kanannya pohon cemara. Sungguh dataran yang luas, sepanjang mata memandang hanya dataran yang bertemu digaris langit yang lurus. Tak seperti di Indonesia perjalanan dari medan ke padang diapit bukit bukit dan jalannya terpaksa berkelok-kelok, belum rasanya belok kekiri sudah dihempas lagi balasan belok kekanan. Entah jam berapa dan berapa jam aku tertidur yang pasti baterai handphone sudah tidak ada lagi, kulalui waktu dengan kerabunan akan jarum jam. Saat mengisi NGV gasoline, semua penumpang diminta turun. Aku turun, sekitar 10 menit, lanjut lagi.

Tak ada lagi yang menarik hingga aku tertidur dan tiba di Bangkok setelah dua kali mengisi bensin. Kami turun semuanya di Stasiun kereta tersohor Hua Lamphong. Tujuanku adalah menemukan Khaosan Road. Aku langsung saja menuju konter tiket untuk memesan perjalanan darat lanjutan dari Bangkok menuju Hat Yai. Untuk tanggal 29 Juli. Karena 28 Juli besoknya bertepatan hari raya. Ya betul hari raya, tak hanya perjalanan ekstrim dan melelahkan, namun juga perjalanan spiritual yang kiranya menjadi pelajaran dan pengalaman penting dalam hidup saya.

Aku langsung menaiki bus nomor 53, ditengah perjalanan, hari sudah petang dan sudah menujukkan terbenamnya matahari, aku berbuka puasa, nukmatnya sungguh nikmat yang hakiki. Dari stasiun Hua Lamphong menuju Khaosan Road, dengan membayar 8 baht, aku tiba di sebuah monument yang dekat dengan Khaosan Road. Aku turun dan berjalan beberapa ratus meter. Mengamati sepanjang jalanan yang sibuk dengan pengunjung, biarpun ini bulan ramadhan tak ada tanda-tanda disana adalah suasana bulan ramadhan, sedikitpun, pria-pria putih menenggak bir dari selang dan yang lain bersorak-sorak. Aku mencari guesthouse yang murah dan terjangkau disepanjang jalan ini.

Kudapat sebuah guesthouse namun hari ini aku mau booking sebuah single room saja, mengingat besok akan pergi ke masjid dengan meninggalkan tas disini sebelum check out. Duduk dan mulai mencari lokasi masjid terdekat. Langsung selepas mandi saya mencari masjid tersebut sampai bertemu supaya besok tidak kesasar lagi. Dan memastikan bahwa masjid itu ada, bukan tipuan peta.

Ketemu dan senang, saya tidur dan memasang alarm, sedih sungguh saat teman-teman menjangkau kampung halaman saat hari raya, saya malah semakin menjauh mencari sesuatu yang beda didunia ini. Merasakan kalau kenikmatan hari raya itu benar-benar masalah dengan siapa kita merayakannya.

Esok harinya alarm berbunyi, saya mandi dan bersiap-siap menuju masjid. Dengan sebuah peci hadiah dari teman kantor saya dulu Mr. Gita. Kukenakan dengan nyaman dan bangga bisa memilih Islam ditengah semakin semaputnya budaya sekitar. Sampai di masjid tiada siapa-siapa yang kutahu begitupun sebaliknya, hingga ada seorang pria memintaku mengambil potonya dengan pakaian muslim saat suasana hari raya, didepan masjid. Akupun minta tolong pula. Sayangnya ia tak bicara English, jadi kami hanya sebatas teman dengan bahasa yang menyedihkan. Bahkan bahasa tubuhpun tak mampu. Hanya bertukar nama dan mengucap salam dengan “eid Mubarak”. Itu saja dan hilang.

Suasana masjid sedikit ramai, ada tenda-tenda yang sudah dipenuhi ibu-ibu berjilbab menggelar makanan seperti makanan saat pasar ramadhan di Padang. Sholat Eid dimulakan pukul 09.30 disana, menakjubkan jauh dibalutan metropolitan kota dengan beberapa gang tikus saja menuju masjid, tak ada sedikitpun berbeda dengan Islam, subhanallah, mashaAllah. Yang berbeda hanya bahasa saat ceramah, itu wajar, karena ceramah lebih mermanfaat bagi mereka. Ramai dan jika ia berceramah dalam bahasa Indoensia, maka hanya aku sendiri yang diberi ceramah.



Sholat Eid dimulai, itulah muslim, satu bahasa satu tatanan, satu dalam semuanya. Satu arah kiblat, satu bahasa ibadah, Islam adalah kesatuan. Kingdom yang terarah dan padu. Itulah yang kudapat. Setelah selesai sholat hari raya, ceramah dimulai, aku hanya tahu ketika nama Allah SWT disebut dan nabi Muhammad, selebihnya hanya kicauan belaka. Paling hanya kap ku nikap. Kap. Kap. Hanya itu.


Acara yang dinanti datang juga, ternyata hidangan ini untuk semuanya yang hadir disini. Aku riang tak kepalang, karena aku yakin kehalalannya. Gratis pula. Aku makan, walau tidak enak, tak merasa ingin memuntahkan ataupun was-was. Empat orang dalam satu Loyang besar. Mereka selalu mempersilakanku makan dengan menyodorkan lauk-lauknya dekat-dekat. Aku seperti anak emas, saat kukatakan aku dari Indonesia. Senangnya namun risih juga. Kuenya yang kulahap habis, enak dan worth it. Setelah tersebar berita aku tamu asing dari Indonesia yang tersesat disana, aku dipandangi oleh imamnya sekalipun mengucap salam dan menyalamiku sambil memelukku. Ibu-ibu takjub tak kepalang sambil membekap dada. Kami berpoto semua, mendadak aku jadi selebritis melayani mereka yang ingin berpoto, lega rasa hati teramat sangat. Sayang hape sudah habis batere, baru saja beberapa jam.

Hari itu memang sangat menggembirakan, setidaknya walau tak hadir dalam keluarga besar, aku menemui sesuatu lain yang membawa pengalaman dengan nilai baru. Longgarnya nafas didada bagai deburan ombak yang lega. Inilah muslim di Bangkok, Thailand. Inilah hari raya di negeri yang kita sebut Negeri gajah Putih.

Daratan Indochina, Siem Reap, Cambodia - Perjalanan Bergaya Apa Adanya


Jangan henti berbagi, pernah saya dengar “jika kau tak butuh alasan untuk meminta, maka kau juga tak butuh alasan untuk memberi” mungkin perjalanan yang kau lakukan sama saja dengan yang lain, melihat tempat baru, dan terkagum-kagum ditengah tebalnya perbedaan. Visualisasi akan memberikan pengalaman berbeda bagi masing-masing manusia, intuisi dan tujuan perjalanan membuatnya memberi sentuhan yang berbeda pula, hingga sayapun berniat menulis mengenai perjalanan saya untuk informasi bagi pembaca lain. Ditengah jutaan versi lain yang sudah ada.

Karena agan Nanda Bismar sukses memancing saya, kalau tidak ditulis, saya dianggap orang paling rugi sedunia. Okelah, dengan segala ketenangan malam ini di Balkon guesthouse, dengan The Spirit Carries On milik nya Dream Theather, saya mulai saja seberapa paragraph pun dapatnya nanti.

 Angkat Ransel
Terbang dengan Fireflyz dari batam dengan tipe pesawat ATR 72-500, berkode penerbangan FY milik Malaysia yang kita juluki negeri jiran itu. Masih kecil tapi  sudah bisa terbang. Pesawat mungil ini membawa saya berlepas dari Bandara Internasional Hang Nadim (kode bandara : BTH) menuju Subang, Kuala Lumpur – Malaysia (kode bandara : SZB). Pengalaman pertama terbang dengan pesawat kecil dengan seat 2-2. Take off seperti biasa, namun karena lebih kecil diudara ia labil, mungkin hanya angin kecil sebesar kentut saja kapal bisa berguncang. Hati jadi was-was mengingat penerbangan MH370, pun MH17. Dengan masa penerbangan satu setengah jam, saatnya landing, tak kalah ekstrim, landing pun pesawat sepertinya menukik terlalu tajam. Tapi syukurlah, saya sampai di Kuala Lumpur lewat bandara seperti bandara militer ini, tentu saja dengan cap imigrasi Subang di paspor halaman 17 untuk melengkapi koleksi.

Persiapan on board with Fireflyz

Saya memilih transit dua hari di Kuala Lumpur, karena saya sangat rindu hiruk pikuk turis lalu lalang di Chinatown, mereka tampil apa adanya tanpa mempermasalahkan merek baju, sandal, sepatu, maupun warna kulit. Sungguh melekat dihati. Kalau melihatnya membuat saya bisa bernafas lebih lancar, senyum simpul, sambil memejamkan mata. Tak ada yang akan meneriakkan kamu Indon? Kamu tuduh kami curi budaya.? Hmm, tak ada itu. Daripada mereka memikirkan Indonesia, lebih bagus mereka melayani pengunjung dari berbagai penjuru dunia. Ataukah memang saya sudah sangat melebur sehingga tidak lagi memikirkan nasionalisme? Saya rasa tidak juga, karena kau tahu? Betapa bangganya saya ketika menjawab “I’m from Indonesia” saat ditanyai para tetamu lain setiap saat.

 Jajanan Pinggir jalan favorit saya malam hari di kota Kuala Lumpur

 Menikmati sepiring satay sosis dan telur dadar

Semalam bertemu teman dari Couchsurfing dari Zambia dan Nigeria di reggae bar, bar remang-remang di desain sedemikian rupa dengan wajah-wajah Bob Marley, warna topi Bob Marley, dan saya nikmati lagunya, kebanyakan pria yang datang adalah pria berkulit hitam, sedangkan wanitanya banyak berkulit putih. Kalau pindah lagu, dan lagunya enak, siapapun dengan santai akan berjoged, apakah di dance floor, di meja sendiri, maupun berteriak seperti orang gila didepan bartender. Ah, sungguh sesuatu yang baru. Saya tidak minum, saya masih memegang nilai-nilai yang dibangun pada masa anak-anak saya. Seperti yang diceritakan Uche. Kegiatan para pria afrika disini memang mencari kesenangan. Jika satu sudah mendapatkan wanita maka akan dengan santai saja kissing, dikursi sampai tersungkur pun semua pengunjung akan santai saja.

Dapat dua teman kulit hitam, lumayan. Saya masukkan mereka di daftar teman di facebook. Karena sudah terlibat pembicaraan selama 3 jam membahas apa saja. Sukur sudah saya bisa masuk kesana tanpa harus memesan minuman karena semeja dengan Uche dan Chisenga.

Hari tanggal 21 pun datang, tiba saatnya terbang lagi menuju Siem Reap, Cambodia, saya bangun pagi-pagi, hanya tidur sekitar 3 jam gara-gara jadi anak Bar. Menaiki bus bandara ekonomi –ekonomi bagi mereka, tapi jika saya bandingkan dengan di negeri saya, itu sepertinya coach superduper eksekutif. Seharga RM10, saya naik dengan meletakkan bag carrier 50L merah yang melekat nyaman dipunggung. Lalu duduk tenang dengan L R ditelinga memutar lagunya Dear God – Avenged Sevenfold.

persiapan on board with Airasia AK
Ketahuilah, music juga obat kuat yang menggairahkan perjalanan, sama halnya seperti Viagra yang menggairahkan sesuatu lainnya.

Ada yang berbeda dengan KUL sekarang, LCCT telah berubah menjadi bandara seperti bandara raksasa berlogo KLIA2, lebih megah dan luasnya tak tanggung-tanggung. Dari shuttle bus hingga ke bay pemberangkatan mungkin saya berjalan nyaris satu kilometer dengan carrier 7kilo.

Tepat waktu, kami berdepart menuju Siem Reap yang akan mengambil waktu sekitar dua setengah jam. Perjalanan nyaman-nyaman saja, namun ada yang menarik saat landing, kapten memberikan kehebohan, baru saja ia siap memberi tahu kita sudah landing, saat perjalanan dari landasan pacu menuju bay tempat parkir. Iapun bernyayi, kesannya adalah seolah-olah ia lupa mematikan microfon, lalu bernyanyi seperti tak ada yang mendengar. Sontak saja semua pengunjung tertawa, heran, lihat kiri kanan muka belakang, diakhir nyanyinya ia berkata Thank you. Seluruh penumpang bule-bule termasuk saya ikut bertepuk tangan meriah didalam pesawat, riuh dan lama sekali seperti habis menang adu ayam. Dasar bule pikirku, apa saja ditepuk tangani, sangat respect sekali.

Siem Reap, Cambodia (Kampuchea) kota kecil pemilik Angkor Wat kenamaan itu, sampai-sampai ada julukan Negeri Seribu Candi untuknya. Tapi saya tidak tertarik menulis mengenai sejarah Angkor, karena saya memang tidak punya dasar menulis disisi sejarah. Lebih kurang Angkor Internasional Airport ini seperti BIM, sederhana, namun teratur dan bersih sesuai funginya. Saya dijemput seorang local yang saya temui di Couchsurfing, dan sudah berteman di facebook sekedar saya curi-curi informasi real sebelum berangkat. Ia membawa tulisan di kertas di arrival hall dengan nama facebook saya.

Lalu dengan mini skuternya saya duduk dibelakang, seperti anak-anak main sepedaan berboncengan. Kami melaju, untuk diketahui, setir mobil disini ada disebelah kiri dan jalur kemudi disebelah kanan. Seperti Amerika. saya menggali informasi darinya, bahw ia dari sebuah kampung disini, lalu meminta untuk ikut dengannya. Katanya saya turis, muda dan tampan, jadi jangan pergi kedesa karena tidak cocok. Saya tampik semuanya, hingga saya ikut dengannya, tapi maaf, nama desanya entah apa, nanti saya tanya.

Couchsurfer dari Siem Reap dengan Tuk-Tuknya

Hari itu petualangan dimulai, persis seperti suasana desa, anak-anak pakai baju yang sudah melekat getah seribu kayu, mengingat tingginya aktivitas anak-anak desa dibanding kota. Saya disuguhkan banyak hal, mulai dari menangkap kodok untuk digulai, jujur saya geli sekali dengan kodok, kulitnya kasar tidak jelas, tapi setelah dikuliti jadi seperti puyuh. Saya tak akan memberi penilaian baik atau buruk, yang pasti inilah indahnya perjalanan. Melihat banyak hal baru, mendatangkan bibit inspirasi.

Malamnya, kami menginap dirumahnya yang mungkin tidak layak, tapi saya ingin menikmati setiap halnya utuh dan nyata seperti apa yang sebelumnya mereka jalani, tanpa harus saya minta selimut tebal, terserah, masuk angin, masik badai, tiada mengapa kawan. Sayapun tak mau berlagak jadi orang kota pergi kedesa. Sejak dulu saya sudah muak dengan sandiwara. Tak ada untung, tak ada kenaikan martabat, tak ada perbaruan skill atau apapun lah itu. Bahkan kalau ada kesempatan bertemu teman lokal disekitar danau Tonlesap, saya mau mencari cara agar bisa tidur semalam diatas rakit.

Cukup, saya puas dengan apa yang saya lihat saya rasakan, yang nyata memang lebih nikmat. Mungkin itulah dasarnya kejujuran itu menjadi hal yang sangat berarti karena ia sederhana, dan apa adanya. Tanpa sandiwara. Karen kejujuran itu adalah sesuatu yang nyata.

Kembali dari suburbia. Dibulan Juli adalah musim penghujan, sekaligus low session untuk musim pengunjung, kalau sedang peak session kota ini bisa sesak karena turis tumpah ruah sampai tidak menemukan penginapan dan terpaksa menggelar bed cover untuk tidur didepan pertokoan. Inilah low session, penduduk setempat memang lebih bisa menghormati para travelers yang bepergian dengan gaya apapun, gaya ransel, gaya ekstrim, gaya koper, dan lain sebagainya.

Bahkan hari ini hujan berhenti pada pukul Sembilan pagi, tanpa henti semenjak pukul enam sore hari sebelumnya. Sungguh menawan betapa berkah dari langit ini sanggup meredam malam penghuni kota ini hingga tidur menjadi lelap.

Saya salah satu travelers, yang saya sebut begitu, punya gaya traveling yang sedikit ekstrim, dan tak terlalu berhasrat ikutan melihat tempat-tempat yang memang jalur wisata. Penduduk sudah terbiasa dengan tradisi bertualang turis-turis pelit begini.

Yang unik lagi adalah pemberlakuan dua mata uang disini, ianya Dolar Amerika dan Real Cambodia, nilai tukarnya kira-kira $1 equals to 4000R. jika belanja seharga $1.50 dan memberikan uang $2, maka kembalian 50 cents dalam bentuk real yaitu 2000R.

Pagi hari saya segera merental sebuah sepeda seharga $1, ya satu dolar free air minum botol 600ml dan free map. Ya tuhan, jika saya bayangkan ini hanya 11.000 rupiah, tetapi sudah gratis lagi 1 air minum yang mungkin paling murah seharga 2500. Mengayuh sepeda menuju arah selatan mendekati danau Tonlesap, pemukiman pondok berkaki karena berdiri diatas rawa, saya temui berbagai bentuk keindahan, ada kebun teratai yang luasnya membutakan mata, memekakkan telinga.

Worth it dengan rental sepeda bisa jalan-jalan sepuasnya mengitari Siem Reap

Karena berkendara disini sama dengan Amerika, berkendara disebelah kanan. Membuat saya bingung saat melintas jalan, tak tanggung-tanggung, hampir ditabrak mobil karena tak terbiasa berjalan mengendarai sepeda di sebelah kanan jalan.

Krong Siem Reap, sewa penginapan disini mulai dari $1, untuk sebuah bed dalam dorm. Bayangkan saja, bed disini hanya diletakkan dilantai disebuah ruangan besar tanpa dipan. Mirip seperti suasana pulang kampung saat lebaran pada tradisi orang Indonesia. Sukur-sukur kalau ketemu bule yang pendiam, tidur bisa nyenyak sedikit lah. Kalau yang suka berbual tak henti-henti, saya terpaksa meladeni, olah kemampuan bahasa. Itu untuk yang $1, iseng-iseng saya bertanya kepada petugas guesthouse, ramai atau tidaknya orang Indonesia yang menginap di dorm-nya. Ternyata sangat jarang, dia mungkin sudah lupa atau tidak pernah mengingat lagi karena kecil kemungkinan orang Indonesia menginap di dorm. Karena satu kamar yang lumayan bagus dihargai $3 saja dan bisa ditempati 2 orang, artinya hanya $1.50 per orangnya. Itu kalau pergi bersama teman-teman. Berbeda hal dengan yang solo seperti saya.

Sekitaran Night Market di sore hari

Hari ini saya terpaksa harus mengunjungi juga Angkor wat walaupun dihargai $20, dengan sepeda, saya mendayung sekitar 7 kilometer perjalanan dari kota, dan didalamnya sungguh seperti sebuah negeri lagi, luas tak terkira. dari ribuan temple hanya 11 yang dapat saya kunjungi, karena lelah. Yang menarik adalah salah satu temple –Ta Prom, yang digunakan oleh produser sehingga tante Enjel a.k.a Angelina Jolie bisa filming film Tomb Raidernya disini. Termasuk film Transformers 3. Adalagi sebuah tempat seperti kuil yang jika kita menepuk dada didalamnya akan menggema, tapi ini magic menurut saya, menggema lebih keras, berapalah suaranya saat kau menepuk dada, tapi akan keluar bunyi seperti sedang menabuh bass drum. Puncak penasaran saya disini, saya kelilingi tak ada apa-apa, tanahpun tak ada tanda-tanda ditanam sound system, saya masuk lagi, keluar lagi, masuk lagi, hingga bule-bule sampai tak kebagian karena saya deadly curious.

Angkot pass yang mahal sekali untuk kantong saya

Tapi dari sekian banyak turis yang menghabiskan uangnya disini, bahkan satu hari visit saja $20, paling murah, dan antrinya panjang hingga sore. Saya terbayang berapa dolar yang akan ia kumpulkan. Dan itu takkan sedikit income nya. Tak sebanding rasanya dengan apa yang saya lihat kemarin didaerah desa kehidupan masyarakatnya yang begitu menghibakan.

Sekian dulu ya, kepanjangan nanti bosan. Salam damai.

Batam, ID



Saat menjadi karyawan sebuah perusahaan Media cetak terbesar di Batam saat ini, saya memang jarang bahkan tak punya waktu untuk menulis. Apakah itu cerpen atau apapun namanya. Komunikasi bersama teman-teman lama pun jarang hingga sempat kehilangan kontak untuk sementara. Alhasil, inilah yang membuat saya was-was, cemas akan kehilangan semangat terhadap mimpi-mimpi yang begitu ‘hidup’ saat saya masih mahasiswa. Menjadi pemikir yang berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sejenak biarkan saya bercerita sedikit seputar apa yang saya lakukan beberapa bulan terakhir, untuk menuliskannya sebagai sebuah memori untuk suatu hari nanti.

Seperti hidup di zaman Marx, Saya merasakan sendiri hidup dalam dunia kerja, tidak jauh berbeda dari penjelasan yang sudah sekian lama dirumuskan Marx. Hari ini dizaman modern ternyata apa-apa yang beliau kerangkanya kurang lebih masih sama. Sebuah dinamika dunia kerja, dimana posisi majikan punya otoritas yang lebih untuk menekan bawahan sekalipun pekerja kerah putih.

Saya banyak dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Marx yang seperti ini sekalipun saya membaca bukunya hanya beberapa bagian saja, namun ada sesuatu yang membuat saya berkata dalam hati, “saya suka kakek ini”.

Ketertarikan saya berawal dari tuntutan bahan skripsi yang mengharuskan untuk memahami lebih banyak dari sekedar membaca dan mengutip demi melengkapi karya ilmiah tersebut. Penjabaran permasalahan penelitian menjadi lebih menarik disaat ada hal-hal korelasi dengan landasan teori. Tugas yang semula sebagai beban SKS menjadi tantangan baru tersendiri untuk saya. Sayangnya dukungan literatur menjadi semacam penghambat untuk tampil perfeksionis. Dalam ilmu sosial yang abstrak dan kompleks sekalipun masih ada pola-pola yang masih lestari semenjak zamannya Marx hingga zamannya saya. Walaupun tidak menutup kemungkinan akan berubah suatu saat.

Mungkin para professional menyebut ini sebuah doktrin Marxis, atau kawan-kawan menyebut saya hanya ikut-ikutan, sebenarnya hanya terombang ambing tak tentu arah untuk punya suatu pegangan dalam ilmu sosial, bukan dengan pemahaman yang dipilah sesuai dengan apa yang diyakini. Namun dalam hal ini saya tidak membawa nama Marx sejak awal untuk dikomentari ataupun untuk mencari celah untuk menemukan hal yang baru, tetapi hanya menuntun saya untuk memahami dunia kerja dari sisi orang-orang sosial pemula, walaupun jika ada nantinya keluar dari jalur ini.

Hingga akhir menjelang sidang ujian akhir, memang semangat saya fluktuatif, turun naik berdasarkan kondisi-kondisi lingkungan dan kondisi keuangan. Dengan begitu saya bisa berkaca dengan diri saya, memang sudah sejauh ini, saya rasa memang kapasitas saya sebagai seorang sosiolog masih prematur.

Terbebas dari jeratan SKS di kampus saya masuk kedalam dunia yang punya arus yang luas, pasang surut pastilah terjadi tentang kemana dan bagaimana atau apa bidang yang akan saya geluti dengan serius. Ini menjadi sangat penting untuk dikaji pertama kali sehingga saya punya arah. Namun pada praktiknya saya tetap masuk menjadi bagian dari para pencari kerja sekedar punya tempat untuk duduk di siang hari, sampai saya temukan atau mereka yang menemukan saya, sebuah anak perusahaan Media yang mempekerjakan. Ingatan-ingatan dan konsep-konsep sosiologi yang saya punya sebagai modal yang sedikit tersebut sempat pudar.

Kembali ke permasalahan, menurut hemat saya dunia karyawan itu hal yang gila, mungkin terlalu dini saya mendoktin terlebih saya baru mencoba di satu tempat, terlalu dini untuk menilai, benar-benar merenggut kebebasan berpikir sebagai pribadi saya yang cenderung liberal dalam berpikiran. Namun demikian saya mencoba mencari cara supaya hal ini saya tukar menjadi bahan untuk memahami realitas sosial. Keterlibatan langsung sepertinya akan menjadikan semakin banyak detail yang akan terjelaskan.

Mungkin belum dikatakan sumbangsih untuk disiplin ilmu sosial, tetapi jikalah ada kebebasan untuk berpikir mungkin inilah yang ada dalam benak saya sebagai pertanyaan ataupun keluh kesah emosional dari kacamata pemula.

Setidaknya dunia karyawan telah saya kecap lebih kurang tiga bulan saja. Tapi cukup memberikan pengalaman dan pembelajaran yang menarik untuk menambah referensi dalam melihat dunia kerja, hubungan industrial, sifat hubungan personal yang terjadi karena hubungan industrial. Keseluruhannya saya lihat dan hubungkan dengan konsep-konsep yang saya punya atau kuasai. Kalau belum saya kuasai saya akan pelajari dulu. Seharusnya penulisan ini sudah harus saya mulai semenjak menduduki bangku kuliah, karena akan ada banyak kesempatan untuk berdiskusi bersama dosen, tetapi semua sudah terlambat, sekarang saya hanya bersyukur saya telah menyadari dan mulai belajar lagi.

Hubungan industrial merupakan hubungan yang terjadi akibat bekerjanya seseorang disuatu tempat, secara garis besar, hubungan antara semua pihak yang tersangkut atau berkepentingan atas proses produksi atau pelayanan jasa disuatu perusahaan.

Manajemen perusahaan seperti biasa, secara konseptual hubungan majikan dan pekerja adalah hubungan yang saling menguntungkan. Namun permasalahan kerap kali terjadi apalagi sekelas pekerja yang fresh-graduate yang setidaknya masih terbawa idealisnya seorang mahasiswa. Dunia kampus memang sebuah tempat seperti kita sedang latihan tinju dengan dilengkapi matras untuk jatuh, sehingga kita bebas kapanpun kita akan jatuh ada matrass yang menahan. Tapi dalam dunia nyata tidak ada lagi matrass, kadang kita merasa masih ada matras sehingga kita masih bisa tampil idealis. Sekalinya jatuh, kita tahu sejauh mana idealisme itu bekerja.

Tapi dalam lingkup industrial tak banyak yang mampu saya lakukan untuk berbuat perubahan. Tunduk kepada manajemen perusahaan adalah hal yang sangat susah dilakukan, secara personal mungkin majikan dan pekerja punya hubungan yang harmonis, tetapi belum tentu dalam hubungan industrial juga demikian. Ingatlah lagi konsep-konsep besar yang dijabarkan Marx dan Ralph Dahrendof. Dua orang ini adalah mereka yang hidup dalam dua zaman yang sudah berbeda, namun masih merumuskan satu kesepakatan dalam melihat kelompok sosial khususnya dalam organisasi pekerja. Marx banyak melihat dinamika buruh di negaranya. Sedangkan Dahrendorf menurut saya sudah banyak mendapatkan referensi dan bahan bacaan dalam melihat sesuatu sehingga adakalanya ia menerapkan penjelasan Marx disebalik zamannya ditambah lagi penjelasan yang lebih kekinian.

Meneliti tentang buruh, sebagai salah satu syarat menamatkan studi sarjana, saya rasa saya belum maksimal semasa itu, banyak hal yang saya lakukan hanya sebatas laporan terbaru untuk pembimbing, dan tidak terpikir sedikitpun saya akan menemukan sesuatu yang akan saya teliti secara berkesinambungan untuk melatih dan memperkaya pengalaman-pengalaman saya untuk lanjutan.

Sedikit menyesal, dengan adanya penyesalan berarti ada kesadaran yang saya punya. Membuat semangat baru untuk tetap belajar. Saya adalah orang pembelajar, tetapi otodidak adalah salah satu cara yang sangat manjur bagi saya. Selain murah, juga menyenangkan (bagi saya).

Saya punya segudang mimpi yang harus saya wujudkan, diantaranya adalah dalam dua tahun kedepan saya harus granted untuk punya dosen pembimbing dari negeri Marxis. Sejujurnya saya ingin menjadi sosiolog yang berpengaruh, untuk harga sebuah pembangunan, SDM adalah modal utama, SDM yang hidup dari masyarakat yang terdidik. Yang tujuan ujungnya adalah untuk memberikan pengajaran nantinya, agar lahir pemikir-pemikir sosiologis yang baru dengan gayanya masing-masing. Karena jujur, keterlibatan para sosiolog dalam kasus-kasus pembangunan di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan Negara maju saat mereka berada pada masa pembangunannya dulu.

Terlahir sebagai seorang yang pendiam bukan membuat saya menyadari bahwa yang harus saya lakukan adalah sesuatu yang mengarah kepada operasional atau teknis, karena tidak banyak keterlibatan komunikasi yang efektif dalam menjalankannya. Paling banyak hanya alur koordiasi. Tetapi saya lebih menyenangi perkara-perkara sebagai dalang, disebalik layar tetapi menjadi otak dalam sebuah pertunjukan. Tanpa perlu tampil dipermukaan.

-There is no life by get a job as an employee.-