Cerita di Lepas Border



Untuk latihan agar jari ini tidak kaku untuk menulis, oke akan saya coba bercerita dalam tulisan. Tema nya ya masih sekitar perjalanan, membosankan memang bagi pembaca, dan lagipula tidak banyak pembaca kok. Perjalanan sebagai tema besarnya, tapi kali ini saya akan menceritakan mengenai pengalaman berbagi kisah saat melintas border (Cambodia-Thailand). Seperti biasa, akan panjang sekali antrian masuk Thailand setelah keluar dari Cambodia.

Kebanyakan yang antri adalah bule-bule, sedangkan kami hanyalah minoritas yang terjebak dalam kerumunan. Tiba-tiba, dari depan ada yang menyapa.

“Hai, dari Indonesia?” kata seorang kakak-kakak sambil mengangkat buku hijau bergambar burung garuda.
“iya kak, kami dari Indonesia.! Orang mana ya kak?” tanyaku lagi.
“Medan, kalian dari mana?”
“kami dari Padang kak” kami lalu bersalaman.

Lalu seorang bule bertanya kepada si kakak orang Medan, kok bisa tahu kami juga Indonesia, ya tentulah bisa terlihat yang sejak tadi passport hijau kami pegang erat-erat bagai balon tinggal empat.
Lalu aku dikenalkan dengan si bule.

“kenalkan, ini suami kakak.!” Katanya sambil senyum

Kami bersalaman sejenak, tapi sumpah aku tak ingat lagi namanya, seorang pria dari Florida, United States. Aku semakin penasaran, bagaimana ceritanya wanita Medan ini bersuamikan pria dari negeri Paman Syam. Dari tipenya bang bule ini senang sekali bercerita, terlihat dari gayanya, dan tutur bahasanya yang jelas.

Karena begitu excited, si bule berganti posisi yang semula berada didepan kakak orang Medan, sekarang bergerak kebelakang, lalu bercerita panjang lebar. Bagaimana awalnya ia bertemu, lalu menikah. Ternyata mereka tergabung dalam organisasi misionaris. Lalu saat kembali kenegara masing-masing mereka tetap kontak-kotakan, ada masa mereka saling bertemu lagi untuk kegiatan di Indonesia, lalu tahun 2013 mereka menikah di Medan, bukan di Kota Medan katanya, jauh lagi dari Medan.

Kami bercerita banyak seperti dua sahabat karib yang sekian lama tidak bertemu, apa hal yang ia sukai di Indonesia, dan juga ia banyak bertanya kegiatan saya saat ini, saat saya bercerita ia juga sangat exited mendengarkan.

Sampai giliran saya selesai, saya bertanya tentang organisasinya dan kegiatannya saat ini, mengapa ia masuk Thailand dari border Cambodia, tenyata mereka mau renew izin tinggal mereka. Si kakak Medan ini sebut saja kak Bunga, kak bunga tinggal di Sihanoukville, sebuah kota dekat Phnom Penh, ia mengajar bahasa inggris disana sembari bisa tinggal berdua dengan suaminya karena saat ini bang bule sedang ada projek di Cambodia untuk dua bulan kedepan.

Habis itu mereka akan kembali ke US untuk menetap disana. Di Thailand nanti mereka akan pergi ke, hmm, saya lupa pemirsa nama tempat yang mereka tuju, tapi ke sebuah gereja terkenal di Thailand. Dan akan kembali ke Kamboja dalam tiga atau empat hari kedepan katanya begitu.

Ia bercerita juga panjang lebar mengenai organisasi missionary nya. Menarik, saat ini mereka sudah punya lebih dari 400 anak murid di Florida sana. Dan juga sudah pernah menjalankan misi mereka di Indonesia bagian timur, gorontalo, papua dan daerah sekitar.

Target mereka memang berorientasi pada anak-anak untuk memberi sentuhan spiritual, pertama kali mereka bertemu adalah di Afrika Selatan saat itu sama-sama terlibat dalam satu kegiatan disana, katanya mereka menyampaikan ‘wahyu’ dari Jesus dan ingin menyempurnakan pertumbuhan anak-anak dengan iman.

Ia mempertegas dengan “I am kids lover” yang menandakan memang ia sangat menyukai anak-anak. Saya semakin tertarik mendengarkan kisahnya, mulai dari kegiatannya yang membuatnya keliling dunia, hingga sesekali saya kroscek juga kepada si kakak tentu dalam bahasa Indonesia, sehingga bang bule tidak mengerti, katanya dia tidak bisa berbahasa Indonesia, saat dikenalkan tadi, dia kata kata, jangan bilang apa-apa biar saya berpikir dulu katanya sembari meletakkan tangan dikening. Saya pikir mantra apa yang hendak dikatakan, ternyata cuma ucapan “selamat siang” itu saja dalam bahasa Indonesia.

Aku tertarik ceritanya namun lebih tertartik lagi track recordnya yang sudah menjelajahi benua hitam Afrika. Sungguh mengagumkan.

Cerita berlanjut bukan lagi permasalahan keliling dunia dan kegiatan organisasi missionary nya. Perlahan-lahan ia membuka topic masalah “faith”. Pertama ia bertanya apa dasar kita menilai kita layak masuk sorga. Sedangkan kita tetap melakukan kesalahan dimuka bumi saat kita hidup.

Hmm, saya bingung menjawab apa, saya memang dalam batas-batas tertentu tidak bermasalah untuk berkomunikasi berbahasa inggris, tapi, untuk pemahaman agama, dan bahasa-bahasa yang digunakan memang jarang sekali saya pakai. Dalam perjalanan baru kali ini topic bahasannya masalah faith. Biasanya the most interesting topic was where you’ve been traveled. Atau, what things to do in Siem Reap lalu bercerita damn fuckin cheap beer, atau I got to kiss a hot sexy lady, atau perihal Booty Asian. Itu yang sering American diskusikan saat mereka sudah bisa dengan santai berkenalan dengan saya.

Tapi ini berbeda sikit, saya jawab sekedarnya kalau kita berbuat salah disediakan pengampunan. Lalu dia mencari buntut jawaban saya dengan membuat pertanyaan baru, dan mengeluarkan statement, kita butuh Jesus untuk memohon kepada father agar dosa kita diampuni. Mungkin yang saya tangkap begitu.

Jujur ia orang yang sangat menguasai sekali, aku jadi tak bisa berbicara banyak sembari mengalih-alihkan pembicaraan dengan pura-puranya diskusi dengan Intan, Eni dan Feni. Lalu dengan sangat sederhana dan terkontrol ia mulai memberi contoh-contoh yang memang lintas agama ini akan sulit dimengerti satu sama lain, ia membacakan kutipan alkitab lengkap ia sebutkan nama surat dan ayatnya.

Menyenangkan sekali bisa mendengarkan hal yang baru, bertemu bang bule ini membuat saya merasa menemukan kisah yang tak pernah saya temui sebelumnya. It was nice to be traveler, each time you walk away, possible for me to meet plenty of good people yang akan memperkaya pandangan.

Dari cerita berbeda, di Bangkok, sebuah gerai 7-11 di kawasan surga backpacker, Khaosan Road, siapa yang tidak tahu Khaosan Road, bahkan dalam sebuah website menyatakan dengan tegas bahwa nama Khaosan Road merupakan standar seseorang itu dikatakan traveler.

Saat itu dalam gerai, saya memilih-milih yoghurt, lama sekali, karena saya memperhatikan label Halal Thailand. Seorang ibu-ibu bersama anaknya, buru-buru memanggil suaminya untuk datang pada saya, lalu berkata dalam bahasanya, ya mereka orang Iran, lalu si bapak bertanya pada saya.

“you’re Muslim?” tanyanya sambil menjulurkan tangan
Yap, I am a muslim,” saya balas jabatan tangan
“Where are you from?”
“I’m from Indonesia, sir” jawabku, lumayan heran juga.
“assalamualaikum brother” katanya, ramah sekali.

Ia bertanya bagaimana tips menemukan makanan halal di Thailand, saya hanya tahu untuk memeriksa label halal saja, lalu ia dengan istrinya berbicara sejenak tentu berbahasa Iran. Terus ia bertanya, bahwa setelah ini mereka akan pergi ke Indonesia, bagaimana nanti menemukan makanan halal. Saya hanya menjawab untuk tidak perlu risau masalah makanan halal di Indonesia, setiap jajanannya dipenuhi dengan makanan dan minuman halal.

Tidak habis keanehan sampai disitu, ia malah mau minta diperlihatkan bentuk uang rupiah, saya lihatkan yang pecahan lima ribu.

“how much does it, I mean in US Dollar” ia mengambil uang lima ribuan lalu meneliti dengan saksama.

Gerai 7-11 ini sempit jadi, kami harus menepi setiap kali ada pengunjung lain yang lewat. Kalau ia nanti mengambilnya saya juga rela kok cuma lima ribu.

“It’s just about 50 cents or something” jawabku kurang nyaman.
“You have big amount of this notes?” tanyanya lagi.

Saya semakin curiga, tapi it is about how to ruin a negative though. Ternyata ia benar-benar hanya ingin tahu, uang-uang saya dikembalikan lagi, lalu ia menyalami lagi.

“It’s nice to meet you, brother” ia berkata sangat antusias sekali.
“Nice to meet you, sir.! See you again” aku beranjak pergi.
“assalamulaiakum,” tak lupa juga ia mengucap salam
“waalaikum salam”

Ini bukan bertema rasis, ini keberagaman yang terhampar menyediakan hal-hal diluar yang mampu kita temui secara nyata, bukan melihat di televisi, atau mendengarnya di radio, inilah pentingnya kita untuk punya basis dalam setiap hal untuk tidak menggeser nilai-nilai yang positif yang telah kita pegang.

Kawan Kecil di Cambodia



Aku siap menunggangi sepeda pilihanku, siap pula dengan ancang-ancang untuk melaju, kuderingkan bel untuk memberi kode supaya Elly mempercepat memilih sepeda yang cocok untuknya, ia masih sibuk memeriksa ban, menggoyang-goyangkan stang, sadel, pedal, dan keranjangnya. Dengan raut muka tak yakin satu pilihan dapat juga. Sepeda ini nantinya akan kami gunakan untuk didayung menyusuri daerah pinggiran kota. Satu dollar lima puluh sen untuk satu sepeda, dengan jaminan passport kami tinggalkan kepada pemilik. Papan penunjuk jalan mengarahkan kami menuju tujuan yang cukup jauh sebagai ujungnya, danau Tonle Sap.

Tengah hari panas menggelegak, jalanan sempit diaspal kasar dan berlubang, lapisan tanahnya mudah sekali berdebu. Bocah-bocah bersepeda yang membuat ramai jalanan, berboncengan dengan sepeda kecil, semuanya berseragam sekolah, bahkan tas mereka ada yang hanya kantong kresek berisi buku dan pensil.

Mereka riuh menyapa kami yang masuk dalam rombongan. Dengan penampilan seperti ini tak salah jika aku dianggap Khmers, kulit hanya sedikit lebih terang, wajah asia tak banyak perbedaan, bangkai manusia asia tenggara pun berbaur rata. Pantas saja kami disapa dan disahuti dengan bahasa Khmers.

“Bong,.!!!” salah satu anak menyapa. Aku tahu sapaan ‘bong’.
“Hey, we’re not Khmers. I’m from Indonesia and my friend from Malaysia” aku menyahuti.

Elly berkulit hitam manis, berdarah India-Melayu. Semua citra dirinya menggambarkan gadis dari negeri anak benua yang cantik rupawan. Aku grogi memandang matanya yang tajam dan menakjubkan. Ah, sudahlah nanti terkesan aku memberi sinyal pertanda lain.

Sadar kalau hari ini mereka menemui orang asing serupa orang lokal mereka langsung terkekeh berusaha mengucap bahasa Inggris. Anak-anak disini memang lebih terbuka dan biasa menerima kedatangan tamu asing dari berbagai belahan dunia.

Seorang anak lelaki gempal, mungkin masih TK atau kelas satu SD, badannya bulat agak gendut menantangku adu pacu sepeda dengannya. Ia merapat kearahku sambil memajukan arah badan sambil mengontak pedal seperti menandakan pertarungan. Aku hanya tersenyum kearahnya, kupikir sepeda kecil layaknya upil yang mudah disentil, takkan ada apa-apanya ketimbang sepedaku, satu putaran rodaku seimbang dengan tiga kali putaran ia mengayuh.

Namun gertakannya menghidupkan birahi pertarungan di dada, aku menyanggupi mengernyitkan alis dan menyipitkan mata, lagaknya saat Eddy Guererro mendapatkan kesempatan akan membanting tubuh lawannya bak adonan kulit martabak mesir di atas ring.

Kehormatan Indonesia seperti dipertaruhkan disini. Kami disoraki, tak tahu siapa yang mereka dukung. Dengan sepeda kecilnya ia lihai menginjak pedal seperti bayangan lalu secepat kilat melesat jauh didepanku, sumpah, aku tak menyangka, entah pakai sihir sakti lagi mandraguna tak jelas yang pasti aku terpongah melihat sepeda sebesar lidi itu melesat seperti lalat, merasa mendapat lawan tak sebanding, ia menoleh kebelakang lalu melambat seperti merendahkan kemampuan bersepedaku. Wajahnya seperti mengundang teman-temannya supaya menyorakkan dukungan padanya. Hmm, aku geram.

Aku terbakar ego tak mau dikalahkan anak kecil, atau aku akan jadi pecundang, demi Indonesia sempak pun akan kupertaruhkan. Kukecoh dia yang sudah berhenti didepan, pura-puranya aku tak ingin ikut balapan, kukayuh sepeda dengan santai penuh senyuman, manusia-manusia di kiri dan kanan kuanggap pohon cemara, setelah dekat bak Valentino Rossi menggasingkan ban kuda empat enam nya digaris start aku melesat didepannya, perang kembali dimulai sontak mengejutkannya, imajinasiku merasa aku melesat selintas bagai cambuk Gengis Khan, debu mengepul sejenak. Sepeda berderak-derak terhenyak dalam lubang-lubang jalan, sampai air mineral botol dalam keranjang depan tak kuat menerima kanyataan terpelancar keluar pecah dan berserakan, namun tak kuperdulikan, bagiku kompetisi ini lebih penting dari sekedar gelar juara. Padahal akan lebih dramatis jika masih ada air mineral yang bisa kutenggak dengan slow motion sambil membasahi rambut dan mengibaskannya.

Agaknya sebentar ia ternganga melihatku melesat. Tak mau kalah ia segera mengayuh lagi. Kulihat kebelakang Elly dan teman-teman yang lain menyoraki sembari melambai-lambai tak jelas mendukung siapa. Warga disekitar sampai tercengang melihat pemandangan ini. Hampir saja aku melupakan kalau aku berkendara di Negara dengan jalur kanan.

Aku khawatir saat ia terlalu bersemangat mengalahkanku, sedangkan disebalik tikungan sebuah tuk-tuk lewat dari arah berlawanan, ya benar, tuk-tuk ini membuatnya terkejut dan mengarahkan sepeda kepinggir dengan kecepatan seperti melayang akhirnya bocah ini kehilangan keseimbangan, sepedanya rebah terhalang balok papan nama “sedia bibit ikan hias”. Sedangkan tubuhnya terpelanting kedalam selokan berlumpur, ia bangkit dengan sebelah bagian badan hingga rambutnya dilumuri lumpur, untung saja tas sekolah dan bukunya diikat di body sepeda sehingga tidak ikutan masuk kedalam selokan. Ia tetap tertawa menyembunyikan malu, entah sakit atau bagaimana.

Aku cemas kalau terjadi sesuatu padanya. Semua buru-buru mengejar dari belakang, mereka bersorak semakin heboh, warga sekitar ikut berhamburan mengerubungi, kutolong ia membersihkan seragam sekolahnya yang berlumpur. Kuperhatikan tak ada yang cedera, sukurlah. Kuangkat ia keluar seperti menggendong anak kambing. Seorang bapak di bengkel sampai meninggalkan roda mobil reparasinya untuk mengerumuni kami. Main catur di kedai kopi pun sempat bubar untuk mereka kelabakan melihat kami.

Elly mengabadikan momen ini dengan mengajak mereka berfoto bersama. Sepasang turis bule yang naik dengan tuktuk menjadi terengah-engah entah terharu atau senang. Orang-orang berdatangan, sopir tuk-tuk seperti informan terbesar yang bercerita dengan antusias sekali.

Selanjutnya kami bersepeda beriringan, yang lain sudah memencar dan banyak yang sudah menikung karena sampai dirumah mereka. Tepat disebuah gang crocodile farm, teman cilik ini berhenti dan bersorak ke arahku mencoba memberi tahu masih dalam bahasa Khmers, aku tahu maknanya bahwa ia sudah sampai dirumahnya, ia melambaikan tangannya, ah, haru sekali, aku menghentikan sepedaku dan berbalik kebelakang, kami bersalaman tanpa turun dari sepeda. Ia menunjuk ke arah sebuah rumah, rumah dengan tatanan bata sepinggangnya, dilanjutkan dengan susunan papan kayu hingga ke atap. Aku mengiyakan, mukanya mendongak polos ke arahku.

Keep in school, buddy, we’ll meet again someday.” Sambil kuusap kepalanya.

Ia tersenyum seperti tak rela, dan segera membelokkan sepedanya, kupanggil lagi dia dan kusodorkan selembar satu dolar.

For your victory.
 “akun, uncle”, sahutnya. Akun adalah ucapan Terima Kasih dalam bahasa Khmer.
Oh no, not uncle, say “thanks, bro.! please”. Tapi mungkin ia malu berbahasa Inggris.

Ia senang menerimanya sambil berlalu dengan sepeda kecil itu, tak kulepaskan pandanganku hingga ia menutup pintu rumahnya, ia langsung merebahkan sepedanya terhempas ke tiang jemuran. Lalu sigap berlari menuju pintu dan mendorongnya dengan cepat.

Setelah pintu tertutup tak lantas membuatnya tak  muncul lagi, ia menyibak tirai jendela dan menjulurkan kepala dengan tangannya masih melambaikan selembar satu dolar ke arahku. Itu bukan uang apa-apa, hanya hadiah, nafkah tentu dari bapaknya.

Aku terharu sekali, hanya anak kecil, baru bertemu pula dan hanya bercakap entah saling mengerti atau tidak, lalu berpisah.

Elly selalu diam-diam memperhatikan kami, ia tak ikut satupun percakapan, hanya menopang dagunya di setang sepeda seperti menonton film drama. Setelah aku terkesiap ia lalu menggoda.

“Jiwang sangat, a happy ending bromance.!” Ucapnya sambil bertepuk kecil menahan kagum persis seperti saat seorang jejaka ranum dipertemukan dengan Pamela Anderson.

I think I need to have a baby soon. Kubalas godaannya.
Kulihat Elly masih senyum-senyum, aku yakin yang ada dalam pikirannya masih tentang cerita haru bersama teman kecil sekilas tadi. Ia tertawa lepas saat aku menatap tajam bola matanya untuk segera menghentikan pikirkannya.

Keceriaan mereka sama sekali tak memperlihatkan kekeringan negeri Khmers yang semakin nampak bertambah melarat disepanjang jalan menuju Wat Knang Pnom Krom, sebuah pagoda diatas bukit. Sudah lumayan jauh kami mendayung sepeda, belum juga terlihat bukit tempat pagoda berada.

I Love Cambodia.

Genta Tourenaline, God Blesses Our Trips


Gara-gara mengeringkan baju lembab, jadinya dermaga kujangkau juga pukul sebelas tengah hari. Didepan mata dibingkai jendela ada ombak meriak-riak bak anak gadis menggit bibir sembari mengait-ngaitkan jari telunjuk dengan sedikit sipuan malu. Karena aku tahu bahasanya maka artinya adalah ia menantangku agar segera melautinya. Kemudian benda itu kusebut carrier, lambung dan lumbung pengembara ini dari fungsi nyatanya menjadi benda terkasih yang pengembara miliki ketimbang emas berlian. Ya, penumpang lalu lalang itu pemompa semangat, wajah-wajah penuh ketidaksabaran untuk memunggungi tebing dermaga. Itulah sedikit preambule untuk irisan perjalanan kali ini.

Atmosfir perjalanan sekalinya menjadi dingin dihembus Freon dari pendingin. Kapal cepat berlapis aluminium berlepas dari Batam Centre International Ferry Terminal menuju Stulang Laut Johor Bahru dengan armada kapal bernama Pintas Samudra, Pintas Samudra terdengar gagah dengan poster sebuah kapal membusungkan dada dibidik dari depan agak ke samping. Sengaja aku duduk di deck atas kapal bukan ingin menirukan gaya Jack Dawson saat pertama kali berhasil menaiki kapal yang besar sekali itu, tapi karena angin laut yang berhembus benar-benar membahagiakan. Tiupannya sampai ke qolbu. Wow.

Ferry ini lihai menyelip di laut sempit antara dua pulau, sebenarnya tidak sempit, hanya saja saat Sekolah Dasar diajarkan bahwa selat adalah laut sempit diantara dua pulau, tanpa kami pernah dibawa studi lapangan melihat selat yang sebenarnya. Inilah selat Singapura, landscape yang terbaik adalah saat kapal-kapal besar bergerak lebih lambat, lalu ferry kami bak ayam jantan mengepak-tikung disamping betina memberi sinyal minta kawin. Air laut menjadi bergelombang, serasa menaiki rollercoaster. Selebihnya hanya cerita yang sama, angin dan ombak. Johor Bahru dijangkau dalam waktu lebih kurang satu setengah jam sampai berlabuh.

Perjalanan kali ini hanya berisi keberangkatan, berangkat menuju dan berangkat kembali, tidak ada kata pulang. Karena saat berangkat kembali kita menginginkan punya sebuah pandangan baru dalam melihat tempat asal, kacamata yang baru dan rindu yang baru. Tak tanggung-tanggung tema pengembaraan kali ini adalah “Genta Tourenaline. Hanya untuk yang bernyali”.

Empat orang pengembara muda kali ini telah mengukir sejarahnya melakukan perjalanan lintas border walau hanya ke negeri tetangga, kami sepakat membuat checkpoint pertama di Sentral Kuala Lumpur, saya sendiri menyusur jalur laut membelah selat singapura dan mengiris semenanjung Barat Malaysia dari embarkasi Pulau Batam, terjadwal sebagai gelombang pertama yang berangkat di tanggal 5 Mei 2015. Intan, berangkat dari embarkasi Soekarno Hatta, Cengkareng (CGK), Feni dan Eni dari embarkasi Bandara Internasional Minangkabau, Padang (PDG). Mereka tergabung dalam gelombang 2 yang berangkat tanggal 6 Mei 2015.

Harusnya ada Nita dari embarkasi Kuala Namu Medan (KNO), Oji dan Nanda dari port pemberangkatan Sutan Syarif Kasim II, Pekanbaru (PKU) dan member terbanyak dari Bandar udara Minangkabau, satu lagi Kak Wangi yang surut dengan resmi dan kode booking dinyatakan closed sebelum hari H. Satu kata untuk mereka semua “RUGI2”.

Teknis kali ini saya rancang untuk penyambutan satu arah saja, tak ada jemput-jemputan. Tiga member berstatus passport perawan, belum ternoda dengan stempel pelaku kekerasan hantaman stempel imigrasi. Saya pernah mengalaminya betapa saya nervous ditengah tatanan yang lebih rapi. Betapapun jelas informasinya, perbedaan negeri membuat gugup sembari terpesona. Karena Kuala Lumpur penuh direksi yang jelas, mudah dipahami dan petugasnya ramah terhadap pelancong.

Di bandara takkan ada yang menawarkan taksi atau angkutan dengan mengiring-iringi calon penumpang bagai anjing peliharaan kesayangan menggoyang-goyangkan ekor, menggoda, merasuki, menakuti apalagi sampai menarik-narik tas. Sistemnya terpusat, disediakan konter Bas, Taksi, KLIA Express dan Car Rent. Silakan pilih dengan tarifnya masing-masing. Anda bebas menentukan pilihan, baru terima warisan, menang lotre, menang adu ayam atau mampu bayar mahal rental lah mobil atau gunakan taksi. Hendak memaksimalkan uang? Naiklah bas atau yang lebih ekstrim acungan jempol diluar bandara, mulai dari bandara hingga ke KL Sentral. Tapi cara ini agaknya sudah sulit semenjak LCCT beralih konsep menjadi klia2.

Nah, berhubung mereka leih memilih menaiki bas, artinya penumpang takkan dibolehkan turun sebelum KL Sentral. Semua penumpang di drop disana. Mau tidak mau harus mau. Disanalah saya dengan mudah menunggu kedatangan tiga orang calon pengembara daratan Indochina kali ini.

Pada tanggal 6 Mei, datang perdana Intan dari Embarkasi CGK, menkonfirmasi pendaratannya setelah immigration clearance dan touchdown KL Sentral dengan smooth bergaya seperti bintang orang putih dalam film “a lonely place to die” yang aduhai sungguh menambah citarasa bumbu pengembaraan ini, carrier 50L lekat dengan keluhan, (tenaga 6/10, gaya 8/10 dan kepantasan 8/10) ditambah lagi sudah lama tidak bertemu, terakhir bertemu dengan Intan bulan Desember 2013 di Depok Town Square (Detoz) saat belajar menggambar kartun. Jadi lengkaplah sudah sambutannya.

Dari basement bas kami naik ke Balai Ketibaan. Sebuah ruangan besar seperti hall, dipenuhi manusia lalu lalang berjalan serba cepat sehingga cukup jelas kalau disini waktu dihargai lebih mahal. Kami menepi mengamankan carrier duduk melapak menyumpalkan Mie Mangkuk, lapar sudah. Sekarang tinggal menunggu kedatangan pengembara dari embarkasi PDG dengan nomor penerbangan AK 402 Malaysia Airasia.

Selang beberapa jam, kembali mendapat kabar dari Feni dan Eni, yang mengkonfirmasi pendaratan mereka dan dengan direksi yang sama dengan Intan, mereka sampai di KL Sentral berselang sekitar satu jam. Saya turun ke basement untuk menemui mereka, benar-benar sudah menantikan pengembaraan, terbukti dari carrier dan style yang sudah mereka adjust. Perfect.

Team completed. Tanpa banyak cincong, kami menuju konter LRT (Light Rail Transit) moda transportasi kebanggaan 1Malaysia. transportasi yang benar-benar bisa diandalkan saat berkelabut dengan last minute. Bukan seperti Jakarta, saat buru-buru lalu memutuskan mengandalkan komuter, ternyata jadwalnya tak menentu, atau tiba-tiba di tengah jalan kehilangan sinyal sehingga kereta berhenti begitu saja. Mengundang sumpah serapah para penumpang. Benar-benar kurang bisa diandalkan, apalagi saat darurat misalnya ketuban istri telah pecah dan akan segera melahirkan, cukuplah andalkan dukun beranak.

Disini kereta dikendalikan sistem komputer, jadi tak ada masinis. Polos dari depan sampai belakang. Beroperasi dan dicadangkan untuk tetap beroperasi sepanjang tahun. Satu stasiun menuju stasiun Pasar Seni, lalu jalan kaki menuju Chinatown, mengapa saya pilih Chinatown, karena saya senang menyaksikan keberagaman yang ada disana, orang-orang tumpah ruah kejalanan, tak tentu kaya miskin, hitam putih, mereka tampil apa adanya, suasana seperti inilah yang berbeda. Berbeda dengan bukit bintang, yang cenderung tampil rapi, elegan dan cenderung dipaksakan “serasa berduit”. Jadi akan banyak yang bisa dilihat di Chinatown.

Oke, sebenarnya ada beberapa pilihan penginapan di Chinatown yang murah dan worth, namun karena fasilitas untuk pengunjung muslim minim disini, dan memang ada kebijakan pemerintah Malaysia dalam beberapa penginapan yang dilarang untuk Warga Negara Malaysia dan Muslim untuk menginap. Kalau misal saya sendiri, takkan begitu risau. Karena ini makcik-makcik Indonesia juga ikutan.

Menjelang malam kami siap untuk menyusuri City of Lights, Kuala Lumpur Petronas Tower, menara kembar dengan keeksotisan nya saat disiram sinar lampu. Untuk menuju kesana kami cukup menaiki GoKL free service bas green Line, tinggal naik dan tukar dengan purple line di Bukit Bintang, sampai di KLCC. Membidik setiap sudut, dengan berbagai gaya sampai puas, gaya kayang, gaya levitating, gaya tiang listrik. Lalu kembali menaiki LRT dari stasiun KLCC menuju pasar seni.

Malam kami habiskan duduk di street food jajanan malam Puduraya, suasana kedai outdoor dipinggir jalan terbuka diapit highway lintasan LRT menggantung dipinggang-pinggang gedung. Bercerita banyak bernostalgila dengan tema Genta Andalas, share high and low life. Sayang hanya berempat, jika yang lain ikut, akan lebih banyak lagi new things yang akan dikupas.

Kembali ke Guesthouse, saya sendiri sempatkan bertemu teman lama Uche dan Chisenga, my African friends. Tempatnya di Reggae Bar, tempat favorit untuk sekedar mendengarkan music tanpa harus menenggak alcohol walaupun mereka minum, mereka begitu open minded.

Fall asleep-

Pagi tanggal 7 Mei, agenda hari itu adalah berkunjung ke rumah makwo Eni. Setelah drop –menitipkan- Bag di KL Sentral kami menuju daerah Ampang. Dijangkau beberapa menit dengan LRT dan dikendarai menuju TKP, sampai disana kami disuguhi hidangan melayu-minang. Satu suap rasa dua negeri. Indahnya bersilaturahmi, dengan berkunjung bertemu muka, tali-tali yang genting bertalian kembali erat. Saat berpamitan ada haru dan air mata pertanda akan kembali saling merindu.

Lepas berpamitan, kami akan berkunjung ke rumah Rere, teman lama yang sudah berkawin silang dengan lelaki melayu. Sering kesini, namun tak sempat untuk berkunjung sekedar bersapaan. Apalagi ada the great little bro Azzam, baby boy tujuh bulan yang punya pusat magnetnya. Awalnya merasa tidak enak karena ditunggu dengan mama nya Rere di persimpangan jalan, tapi pas bertemu ternyata si mama tak kalau gaul. So it was pretty good time lah.! Ditambah lagi treat Pecel Ayam dari Rere, yang sebenarnya kita sudah spare budget untuk makan. Tak lupa pula dengan tampang yang sudah berdaki, membuat siapa saja tersentuh hati dan kasihan, kami disuruh si mama membawa kue-kue an, dan gorengan untuk bekal dijalan. Oh my god. Such got things not to forget.

Masalah terjadi, besok kami akan terbang menuju Phnom Penh early morn flight, pukul 06.00. dan bas terakhir ke klia2 adalah jam 11pm, pagi akan dimulai jam 04.00, jika berangkat pukul 4, kami akan sampai pukul 5am. Begitu riskan untuk jadwal penerbangan internasional dinegeri yang mengindahkan ketepatan waktu. Jadi kami berencana menginap di klia2, dengan berangkat dengan bas pukul 11 malam.

Pukul Sembilan malam lebih lima belas kami baru beranjak dari Ampang, target adalah mengejar pengurus Loker karena mereka akan tutup pukul 10.30. Ada dua lane yang akan kami ambil menuju KL Sentral dari Ampang, pertama menuju Stasiun LRT Sri Rampai, jika tidak memungkinkan Bas, kami akan gunakan Taksi, karena berempat bisa sharing cost dan takkan terlalu mahal. Kedua, LRT dari Sri Rampai menuju KL Sentral. Baru menyeberang ke arah berlawanan dari Spring Ville saat tiba, terlihat bus diujung pandangan, perfect.

Kami naik bas, saat berangkat tadi adalah waktunya jam off kantor maka macet dan penumpang ramai, jadi turun ditiap stasiun, wajar hampir satu jam didinginkan dalam bas. Saat balik, lancar jaya, sehingga 30 menit sampai di LRT Sri Rampai. 10.50 saat itu, kami berlari masuk stasiun, turun ke platform, pintu LRT terbuka seolah-olah hanya ingin membawa kami segera. Loncat masuk dan aman, insyaAllah, kalau sudah masuk LRT, kami bisa mengandalkannya untuk mengejar waktu.

Benar 10.15, saya berlari menuju loker di lantai 2, saat dari platform rail dilantai dua harus turun dulu ke lantai satu untuk touch out. Sukses, sampai 10.20 dan bag mereka bertiga terselamatkan.

Karena jika loker sudah tutup dan carier yang kami titipkan belum diambil, maka kami hanya bisa mengambilnya besok pagi pukul 09am. Sedangkan flight ke Phnom Penh pukul 06am. You know why, lah.!

Kami segera ke basement bas, menaiki Aerobas kelas ekonomi dengan tandingan coach eksekutif di Negara kita. Melewati highway yang diapit lampu-lampu gedung sejagad Kuala Lumpur. Maka satu kalimat “god bless our trip”. Semburat cahaya lampu-lampuan, membangkitkan euphoria yang membuat perjalanan rasanya sangat bernilai. Sambil dikompori dengan soundtrack Mr. Big – Goin’ where the wind blows. Ya kompor delapan belas sumbu. Sebuah supremasi perjalanan yang ditambahkan sehingga kenikmatan menjadi berlipat ganda.

Bonus Lirik
Someone said life is for the taking
Here I am with my hand out waiting for a ride
I've been living on my great expectations
What good is it when I'm stranded here
And the world just passes by

Where are the signs to help me get out of this place
If I should stumble on my moment in time,
How will I know
If the story's written on my face, does it show

Am I strong enough to walk on water
Smart enough to come in out of the rain
Or am I a fool going where the wind blows

Here I sit halfway to somewhere
Thinking about what's in front of me and
What I left behind
On my own, supposed to be so easy
Is this what I've been after
Or have I lost my mind

Maybe this is my chance coming to take me away
If I should stumble on my moment in time,
How will I know
If the story's written on my face, does it show?

Am I strong enough to walk on water?
Smart enough to come in out of the rain
Or am I a fool going where the wind blows
Here I am walking naked through the world
Taking up space, society's child
Make room for me, make room for me,
Make room for me

Am I strong enough to walk on water?
Smart enough to come in out of the rain
Or am I a fool
Going where the wind blows


Setting tempat tidur di klia2, entah kenapa saya tidak bisa memejamkan mata, padahal dulu tinggal rebahan sudah pulas. Mungkin karena excited yang sangat maksimal, jadi tidak bisa istirahat.

Pagi pukul 3.30am, kami bersiap-siap, aku hanya memakai sandal jepit, dimana akan lebih nyaman untuk berjalan dimedan-medan licin seperti lantai bandara ini. Tantangan belum cukup selesai, luasnya bandara klia2 dengan konsep LCCT membuat siksaan sendiri, dari main gate ke gate keberangkatan berjalan kami, tapi untunglah jika kami bersama, akan selalu bisa dibuat enjoy.

Tanggal 8 Mei flight pagi pukul 6.30 dari Kuala Lumpur klia2, Malaysia (KUL) kami menuju Phnom Penh International Airport, Kingdom of Cambodia (PNH). Setelah dua jam membelah langit kembali kami menapaki jejak kami di Negeri Seribu Candi.

Kami menaiki tuktuk menuju shuttle bus di Orrusey Market yang akan berangkat menuju Siem Reap, harga tuktuknya USD 9. Sabar menanti bus pukul sepuluh. Inilah potret Cambodia, masih penuh dengan kemiskinan, infrasktruktur ibukota Negara yang cukup membuat hati tetap mengatakan “I love being Indonesian”. Perjalanan lanjutan ini bukan Kuala Lumpur, yang penuh keteraturan, kami memasuki negeri yang cukup berkelabut lebih dari Indonesia.

Sepanjang jalan menuju Siem Reap, kami disuguhi perjalanan berdebu tebal, tanah liat kering beterbangan. Benar-benar sebuah perjuangan pengembara. Ditengah perjalanan bus berhenti dipinggir jalan, tidak ada toilet ataupun tempat tertutup karung goni pun disana, penumpang menyebar mengambil tempat terbuka. Biasanya kalau di Indonesia, ada pepohonan yang akan menutupi rahasia mereka. Disini nihil, belakangi bus dan headshot. Yang unik dan membuat gelak, penumpang seenaknya saja memetik buah mangga terang-terangan seperti pohon mangga milik kakeknya, banyak biji pula. Masya Allah.!

Tujuh jam lebih kami menghadapi siksaan dalam bus, tanpa mengerti kelakar mereka, tanpa tahu apa yang mereka bicarakan, tak ada bedanya kami dikandang murai. Bus punya settingan seat 2-2, didepan kami ada seorang ibu-ibu yang membawa anak kembar lima tahunan. Saat sudah mulai mencoba untuk tertidur, tiba-tiba ibu didepan heboh kocar kacir, sampai-sampai bapak-bapak disebelah mengeluarkan botol air mineral kosong. Dan siapa sangka bahwa itu akan dijadikan tabung penampung urine untuk si anak. Masya Allah.! Aku tak henti-hentinya tercengang.

Sampai di siem reap, kami naik tuk tuk menuju penginapan, lelah tak terperi. Kami drop bag berniat mencari makan keluar, hari sudah senja, segera kami pesan tiket menuju Bangkok esok hari per orang seharga USD 9.

Kejadian yang tak pernah kami kira terjadi, saat berjalan kembali menuju guesthouse, sebuah banteng matador menyerunduk ke arah kami yang berjalan beruntun layaknya boyband membentuk formasi, padahal kami sudah dipinggir jalan, mungkin karena remang-remang dan wilayah ini tak seterang panggung konser. Intan terkena sasaran rebah dihantam dan terguling. Untung tidak begitu serious accident, tapi sangat disayangkan handphone intan hancur tak terpakai lagi sepertinya.

Setelah itu kami sempatkan menyambangi PUB Street dan Night Market untuk melihat Siem Reap disisi yang berbeda.

Inilah momen yang tak kan terlupakan, jauh di daratan Indochina, kami dihadapkan dengan kejadian seperti ini, pengendara motor bertanggung jawab dan membawa kami ke rumah sakit membagi ganti rugi handphone intan USD 20. Tak ada cidera yang berarti. Pelajaran penting bagi kami semua untuk melanjutkan perjalanan.

Malaysia telah kami singgahi, Cambodia telah kami belah, Thailand sudah kami salami walau tidak termasuk dalam bagian ini. Maka seharusnyalah semakin banyak kami melihat, semakin banyak kami berpikir, dan semakin banyak pula kami mebuat perubahan menjadi lebih baik.