Cerita di Lepas Border



Untuk latihan agar jari ini tidak kaku untuk menulis, oke akan saya coba bercerita dalam tulisan. Tema nya ya masih sekitar perjalanan, membosankan memang bagi pembaca, dan lagipula tidak banyak pembaca kok. Perjalanan sebagai tema besarnya, tapi kali ini saya akan menceritakan mengenai pengalaman berbagi kisah saat melintas border (Cambodia-Thailand). Seperti biasa, akan panjang sekali antrian masuk Thailand setelah keluar dari Cambodia.

Kebanyakan yang antri adalah bule-bule, sedangkan kami hanyalah minoritas yang terjebak dalam kerumunan. Tiba-tiba, dari depan ada yang menyapa.

“Hai, dari Indonesia?” kata seorang kakak-kakak sambil mengangkat buku hijau bergambar burung garuda.
“iya kak, kami dari Indonesia.! Orang mana ya kak?” tanyaku lagi.
“Medan, kalian dari mana?”
“kami dari Padang kak” kami lalu bersalaman.

Lalu seorang bule bertanya kepada si kakak orang Medan, kok bisa tahu kami juga Indonesia, ya tentulah bisa terlihat yang sejak tadi passport hijau kami pegang erat-erat bagai balon tinggal empat.
Lalu aku dikenalkan dengan si bule.

“kenalkan, ini suami kakak.!” Katanya sambil senyum

Kami bersalaman sejenak, tapi sumpah aku tak ingat lagi namanya, seorang pria dari Florida, United States. Aku semakin penasaran, bagaimana ceritanya wanita Medan ini bersuamikan pria dari negeri Paman Syam. Dari tipenya bang bule ini senang sekali bercerita, terlihat dari gayanya, dan tutur bahasanya yang jelas.

Karena begitu excited, si bule berganti posisi yang semula berada didepan kakak orang Medan, sekarang bergerak kebelakang, lalu bercerita panjang lebar. Bagaimana awalnya ia bertemu, lalu menikah. Ternyata mereka tergabung dalam organisasi misionaris. Lalu saat kembali kenegara masing-masing mereka tetap kontak-kotakan, ada masa mereka saling bertemu lagi untuk kegiatan di Indonesia, lalu tahun 2013 mereka menikah di Medan, bukan di Kota Medan katanya, jauh lagi dari Medan.

Kami bercerita banyak seperti dua sahabat karib yang sekian lama tidak bertemu, apa hal yang ia sukai di Indonesia, dan juga ia banyak bertanya kegiatan saya saat ini, saat saya bercerita ia juga sangat exited mendengarkan.

Sampai giliran saya selesai, saya bertanya tentang organisasinya dan kegiatannya saat ini, mengapa ia masuk Thailand dari border Cambodia, tenyata mereka mau renew izin tinggal mereka. Si kakak Medan ini sebut saja kak Bunga, kak bunga tinggal di Sihanoukville, sebuah kota dekat Phnom Penh, ia mengajar bahasa inggris disana sembari bisa tinggal berdua dengan suaminya karena saat ini bang bule sedang ada projek di Cambodia untuk dua bulan kedepan.

Habis itu mereka akan kembali ke US untuk menetap disana. Di Thailand nanti mereka akan pergi ke, hmm, saya lupa pemirsa nama tempat yang mereka tuju, tapi ke sebuah gereja terkenal di Thailand. Dan akan kembali ke Kamboja dalam tiga atau empat hari kedepan katanya begitu.

Ia bercerita juga panjang lebar mengenai organisasi missionary nya. Menarik, saat ini mereka sudah punya lebih dari 400 anak murid di Florida sana. Dan juga sudah pernah menjalankan misi mereka di Indonesia bagian timur, gorontalo, papua dan daerah sekitar.

Target mereka memang berorientasi pada anak-anak untuk memberi sentuhan spiritual, pertama kali mereka bertemu adalah di Afrika Selatan saat itu sama-sama terlibat dalam satu kegiatan disana, katanya mereka menyampaikan ‘wahyu’ dari Jesus dan ingin menyempurnakan pertumbuhan anak-anak dengan iman.

Ia mempertegas dengan “I am kids lover” yang menandakan memang ia sangat menyukai anak-anak. Saya semakin tertarik mendengarkan kisahnya, mulai dari kegiatannya yang membuatnya keliling dunia, hingga sesekali saya kroscek juga kepada si kakak tentu dalam bahasa Indonesia, sehingga bang bule tidak mengerti, katanya dia tidak bisa berbahasa Indonesia, saat dikenalkan tadi, dia kata kata, jangan bilang apa-apa biar saya berpikir dulu katanya sembari meletakkan tangan dikening. Saya pikir mantra apa yang hendak dikatakan, ternyata cuma ucapan “selamat siang” itu saja dalam bahasa Indonesia.

Aku tertarik ceritanya namun lebih tertartik lagi track recordnya yang sudah menjelajahi benua hitam Afrika. Sungguh mengagumkan.

Cerita berlanjut bukan lagi permasalahan keliling dunia dan kegiatan organisasi missionary nya. Perlahan-lahan ia membuka topic masalah “faith”. Pertama ia bertanya apa dasar kita menilai kita layak masuk sorga. Sedangkan kita tetap melakukan kesalahan dimuka bumi saat kita hidup.

Hmm, saya bingung menjawab apa, saya memang dalam batas-batas tertentu tidak bermasalah untuk berkomunikasi berbahasa inggris, tapi, untuk pemahaman agama, dan bahasa-bahasa yang digunakan memang jarang sekali saya pakai. Dalam perjalanan baru kali ini topic bahasannya masalah faith. Biasanya the most interesting topic was where you’ve been traveled. Atau, what things to do in Siem Reap lalu bercerita damn fuckin cheap beer, atau I got to kiss a hot sexy lady, atau perihal Booty Asian. Itu yang sering American diskusikan saat mereka sudah bisa dengan santai berkenalan dengan saya.

Tapi ini berbeda sikit, saya jawab sekedarnya kalau kita berbuat salah disediakan pengampunan. Lalu dia mencari buntut jawaban saya dengan membuat pertanyaan baru, dan mengeluarkan statement, kita butuh Jesus untuk memohon kepada father agar dosa kita diampuni. Mungkin yang saya tangkap begitu.

Jujur ia orang yang sangat menguasai sekali, aku jadi tak bisa berbicara banyak sembari mengalih-alihkan pembicaraan dengan pura-puranya diskusi dengan Intan, Eni dan Feni. Lalu dengan sangat sederhana dan terkontrol ia mulai memberi contoh-contoh yang memang lintas agama ini akan sulit dimengerti satu sama lain, ia membacakan kutipan alkitab lengkap ia sebutkan nama surat dan ayatnya.

Menyenangkan sekali bisa mendengarkan hal yang baru, bertemu bang bule ini membuat saya merasa menemukan kisah yang tak pernah saya temui sebelumnya. It was nice to be traveler, each time you walk away, possible for me to meet plenty of good people yang akan memperkaya pandangan.

Dari cerita berbeda, di Bangkok, sebuah gerai 7-11 di kawasan surga backpacker, Khaosan Road, siapa yang tidak tahu Khaosan Road, bahkan dalam sebuah website menyatakan dengan tegas bahwa nama Khaosan Road merupakan standar seseorang itu dikatakan traveler.

Saat itu dalam gerai, saya memilih-milih yoghurt, lama sekali, karena saya memperhatikan label Halal Thailand. Seorang ibu-ibu bersama anaknya, buru-buru memanggil suaminya untuk datang pada saya, lalu berkata dalam bahasanya, ya mereka orang Iran, lalu si bapak bertanya pada saya.

“you’re Muslim?” tanyanya sambil menjulurkan tangan
Yap, I am a muslim,” saya balas jabatan tangan
“Where are you from?”
“I’m from Indonesia, sir” jawabku, lumayan heran juga.
“assalamualaikum brother” katanya, ramah sekali.

Ia bertanya bagaimana tips menemukan makanan halal di Thailand, saya hanya tahu untuk memeriksa label halal saja, lalu ia dengan istrinya berbicara sejenak tentu berbahasa Iran. Terus ia bertanya, bahwa setelah ini mereka akan pergi ke Indonesia, bagaimana nanti menemukan makanan halal. Saya hanya menjawab untuk tidak perlu risau masalah makanan halal di Indonesia, setiap jajanannya dipenuhi dengan makanan dan minuman halal.

Tidak habis keanehan sampai disitu, ia malah mau minta diperlihatkan bentuk uang rupiah, saya lihatkan yang pecahan lima ribu.

“how much does it, I mean in US Dollar” ia mengambil uang lima ribuan lalu meneliti dengan saksama.

Gerai 7-11 ini sempit jadi, kami harus menepi setiap kali ada pengunjung lain yang lewat. Kalau ia nanti mengambilnya saya juga rela kok cuma lima ribu.

“It’s just about 50 cents or something” jawabku kurang nyaman.
“You have big amount of this notes?” tanyanya lagi.

Saya semakin curiga, tapi it is about how to ruin a negative though. Ternyata ia benar-benar hanya ingin tahu, uang-uang saya dikembalikan lagi, lalu ia menyalami lagi.

“It’s nice to meet you, brother” ia berkata sangat antusias sekali.
“Nice to meet you, sir.! See you again” aku beranjak pergi.
“assalamulaiakum,” tak lupa juga ia mengucap salam
“waalaikum salam”

Ini bukan bertema rasis, ini keberagaman yang terhampar menyediakan hal-hal diluar yang mampu kita temui secara nyata, bukan melihat di televisi, atau mendengarnya di radio, inilah pentingnya kita untuk punya basis dalam setiap hal untuk tidak menggeser nilai-nilai yang positif yang telah kita pegang.
0 Responses