Genta Tourenaline, God Blesses Our Trips


Gara-gara mengeringkan baju lembab, jadinya dermaga kujangkau juga pukul sebelas tengah hari. Didepan mata dibingkai jendela ada ombak meriak-riak bak anak gadis menggit bibir sembari mengait-ngaitkan jari telunjuk dengan sedikit sipuan malu. Karena aku tahu bahasanya maka artinya adalah ia menantangku agar segera melautinya. Kemudian benda itu kusebut carrier, lambung dan lumbung pengembara ini dari fungsi nyatanya menjadi benda terkasih yang pengembara miliki ketimbang emas berlian. Ya, penumpang lalu lalang itu pemompa semangat, wajah-wajah penuh ketidaksabaran untuk memunggungi tebing dermaga. Itulah sedikit preambule untuk irisan perjalanan kali ini.

Atmosfir perjalanan sekalinya menjadi dingin dihembus Freon dari pendingin. Kapal cepat berlapis aluminium berlepas dari Batam Centre International Ferry Terminal menuju Stulang Laut Johor Bahru dengan armada kapal bernama Pintas Samudra, Pintas Samudra terdengar gagah dengan poster sebuah kapal membusungkan dada dibidik dari depan agak ke samping. Sengaja aku duduk di deck atas kapal bukan ingin menirukan gaya Jack Dawson saat pertama kali berhasil menaiki kapal yang besar sekali itu, tapi karena angin laut yang berhembus benar-benar membahagiakan. Tiupannya sampai ke qolbu. Wow.

Ferry ini lihai menyelip di laut sempit antara dua pulau, sebenarnya tidak sempit, hanya saja saat Sekolah Dasar diajarkan bahwa selat adalah laut sempit diantara dua pulau, tanpa kami pernah dibawa studi lapangan melihat selat yang sebenarnya. Inilah selat Singapura, landscape yang terbaik adalah saat kapal-kapal besar bergerak lebih lambat, lalu ferry kami bak ayam jantan mengepak-tikung disamping betina memberi sinyal minta kawin. Air laut menjadi bergelombang, serasa menaiki rollercoaster. Selebihnya hanya cerita yang sama, angin dan ombak. Johor Bahru dijangkau dalam waktu lebih kurang satu setengah jam sampai berlabuh.

Perjalanan kali ini hanya berisi keberangkatan, berangkat menuju dan berangkat kembali, tidak ada kata pulang. Karena saat berangkat kembali kita menginginkan punya sebuah pandangan baru dalam melihat tempat asal, kacamata yang baru dan rindu yang baru. Tak tanggung-tanggung tema pengembaraan kali ini adalah “Genta Tourenaline. Hanya untuk yang bernyali”.

Empat orang pengembara muda kali ini telah mengukir sejarahnya melakukan perjalanan lintas border walau hanya ke negeri tetangga, kami sepakat membuat checkpoint pertama di Sentral Kuala Lumpur, saya sendiri menyusur jalur laut membelah selat singapura dan mengiris semenanjung Barat Malaysia dari embarkasi Pulau Batam, terjadwal sebagai gelombang pertama yang berangkat di tanggal 5 Mei 2015. Intan, berangkat dari embarkasi Soekarno Hatta, Cengkareng (CGK), Feni dan Eni dari embarkasi Bandara Internasional Minangkabau, Padang (PDG). Mereka tergabung dalam gelombang 2 yang berangkat tanggal 6 Mei 2015.

Harusnya ada Nita dari embarkasi Kuala Namu Medan (KNO), Oji dan Nanda dari port pemberangkatan Sutan Syarif Kasim II, Pekanbaru (PKU) dan member terbanyak dari Bandar udara Minangkabau, satu lagi Kak Wangi yang surut dengan resmi dan kode booking dinyatakan closed sebelum hari H. Satu kata untuk mereka semua “RUGI2”.

Teknis kali ini saya rancang untuk penyambutan satu arah saja, tak ada jemput-jemputan. Tiga member berstatus passport perawan, belum ternoda dengan stempel pelaku kekerasan hantaman stempel imigrasi. Saya pernah mengalaminya betapa saya nervous ditengah tatanan yang lebih rapi. Betapapun jelas informasinya, perbedaan negeri membuat gugup sembari terpesona. Karena Kuala Lumpur penuh direksi yang jelas, mudah dipahami dan petugasnya ramah terhadap pelancong.

Di bandara takkan ada yang menawarkan taksi atau angkutan dengan mengiring-iringi calon penumpang bagai anjing peliharaan kesayangan menggoyang-goyangkan ekor, menggoda, merasuki, menakuti apalagi sampai menarik-narik tas. Sistemnya terpusat, disediakan konter Bas, Taksi, KLIA Express dan Car Rent. Silakan pilih dengan tarifnya masing-masing. Anda bebas menentukan pilihan, baru terima warisan, menang lotre, menang adu ayam atau mampu bayar mahal rental lah mobil atau gunakan taksi. Hendak memaksimalkan uang? Naiklah bas atau yang lebih ekstrim acungan jempol diluar bandara, mulai dari bandara hingga ke KL Sentral. Tapi cara ini agaknya sudah sulit semenjak LCCT beralih konsep menjadi klia2.

Nah, berhubung mereka leih memilih menaiki bas, artinya penumpang takkan dibolehkan turun sebelum KL Sentral. Semua penumpang di drop disana. Mau tidak mau harus mau. Disanalah saya dengan mudah menunggu kedatangan tiga orang calon pengembara daratan Indochina kali ini.

Pada tanggal 6 Mei, datang perdana Intan dari Embarkasi CGK, menkonfirmasi pendaratannya setelah immigration clearance dan touchdown KL Sentral dengan smooth bergaya seperti bintang orang putih dalam film “a lonely place to die” yang aduhai sungguh menambah citarasa bumbu pengembaraan ini, carrier 50L lekat dengan keluhan, (tenaga 6/10, gaya 8/10 dan kepantasan 8/10) ditambah lagi sudah lama tidak bertemu, terakhir bertemu dengan Intan bulan Desember 2013 di Depok Town Square (Detoz) saat belajar menggambar kartun. Jadi lengkaplah sudah sambutannya.

Dari basement bas kami naik ke Balai Ketibaan. Sebuah ruangan besar seperti hall, dipenuhi manusia lalu lalang berjalan serba cepat sehingga cukup jelas kalau disini waktu dihargai lebih mahal. Kami menepi mengamankan carrier duduk melapak menyumpalkan Mie Mangkuk, lapar sudah. Sekarang tinggal menunggu kedatangan pengembara dari embarkasi PDG dengan nomor penerbangan AK 402 Malaysia Airasia.

Selang beberapa jam, kembali mendapat kabar dari Feni dan Eni, yang mengkonfirmasi pendaratan mereka dan dengan direksi yang sama dengan Intan, mereka sampai di KL Sentral berselang sekitar satu jam. Saya turun ke basement untuk menemui mereka, benar-benar sudah menantikan pengembaraan, terbukti dari carrier dan style yang sudah mereka adjust. Perfect.

Team completed. Tanpa banyak cincong, kami menuju konter LRT (Light Rail Transit) moda transportasi kebanggaan 1Malaysia. transportasi yang benar-benar bisa diandalkan saat berkelabut dengan last minute. Bukan seperti Jakarta, saat buru-buru lalu memutuskan mengandalkan komuter, ternyata jadwalnya tak menentu, atau tiba-tiba di tengah jalan kehilangan sinyal sehingga kereta berhenti begitu saja. Mengundang sumpah serapah para penumpang. Benar-benar kurang bisa diandalkan, apalagi saat darurat misalnya ketuban istri telah pecah dan akan segera melahirkan, cukuplah andalkan dukun beranak.

Disini kereta dikendalikan sistem komputer, jadi tak ada masinis. Polos dari depan sampai belakang. Beroperasi dan dicadangkan untuk tetap beroperasi sepanjang tahun. Satu stasiun menuju stasiun Pasar Seni, lalu jalan kaki menuju Chinatown, mengapa saya pilih Chinatown, karena saya senang menyaksikan keberagaman yang ada disana, orang-orang tumpah ruah kejalanan, tak tentu kaya miskin, hitam putih, mereka tampil apa adanya, suasana seperti inilah yang berbeda. Berbeda dengan bukit bintang, yang cenderung tampil rapi, elegan dan cenderung dipaksakan “serasa berduit”. Jadi akan banyak yang bisa dilihat di Chinatown.

Oke, sebenarnya ada beberapa pilihan penginapan di Chinatown yang murah dan worth, namun karena fasilitas untuk pengunjung muslim minim disini, dan memang ada kebijakan pemerintah Malaysia dalam beberapa penginapan yang dilarang untuk Warga Negara Malaysia dan Muslim untuk menginap. Kalau misal saya sendiri, takkan begitu risau. Karena ini makcik-makcik Indonesia juga ikutan.

Menjelang malam kami siap untuk menyusuri City of Lights, Kuala Lumpur Petronas Tower, menara kembar dengan keeksotisan nya saat disiram sinar lampu. Untuk menuju kesana kami cukup menaiki GoKL free service bas green Line, tinggal naik dan tukar dengan purple line di Bukit Bintang, sampai di KLCC. Membidik setiap sudut, dengan berbagai gaya sampai puas, gaya kayang, gaya levitating, gaya tiang listrik. Lalu kembali menaiki LRT dari stasiun KLCC menuju pasar seni.

Malam kami habiskan duduk di street food jajanan malam Puduraya, suasana kedai outdoor dipinggir jalan terbuka diapit highway lintasan LRT menggantung dipinggang-pinggang gedung. Bercerita banyak bernostalgila dengan tema Genta Andalas, share high and low life. Sayang hanya berempat, jika yang lain ikut, akan lebih banyak lagi new things yang akan dikupas.

Kembali ke Guesthouse, saya sendiri sempatkan bertemu teman lama Uche dan Chisenga, my African friends. Tempatnya di Reggae Bar, tempat favorit untuk sekedar mendengarkan music tanpa harus menenggak alcohol walaupun mereka minum, mereka begitu open minded.

Fall asleep-

Pagi tanggal 7 Mei, agenda hari itu adalah berkunjung ke rumah makwo Eni. Setelah drop –menitipkan- Bag di KL Sentral kami menuju daerah Ampang. Dijangkau beberapa menit dengan LRT dan dikendarai menuju TKP, sampai disana kami disuguhi hidangan melayu-minang. Satu suap rasa dua negeri. Indahnya bersilaturahmi, dengan berkunjung bertemu muka, tali-tali yang genting bertalian kembali erat. Saat berpamitan ada haru dan air mata pertanda akan kembali saling merindu.

Lepas berpamitan, kami akan berkunjung ke rumah Rere, teman lama yang sudah berkawin silang dengan lelaki melayu. Sering kesini, namun tak sempat untuk berkunjung sekedar bersapaan. Apalagi ada the great little bro Azzam, baby boy tujuh bulan yang punya pusat magnetnya. Awalnya merasa tidak enak karena ditunggu dengan mama nya Rere di persimpangan jalan, tapi pas bertemu ternyata si mama tak kalau gaul. So it was pretty good time lah.! Ditambah lagi treat Pecel Ayam dari Rere, yang sebenarnya kita sudah spare budget untuk makan. Tak lupa pula dengan tampang yang sudah berdaki, membuat siapa saja tersentuh hati dan kasihan, kami disuruh si mama membawa kue-kue an, dan gorengan untuk bekal dijalan. Oh my god. Such got things not to forget.

Masalah terjadi, besok kami akan terbang menuju Phnom Penh early morn flight, pukul 06.00. dan bas terakhir ke klia2 adalah jam 11pm, pagi akan dimulai jam 04.00, jika berangkat pukul 4, kami akan sampai pukul 5am. Begitu riskan untuk jadwal penerbangan internasional dinegeri yang mengindahkan ketepatan waktu. Jadi kami berencana menginap di klia2, dengan berangkat dengan bas pukul 11 malam.

Pukul Sembilan malam lebih lima belas kami baru beranjak dari Ampang, target adalah mengejar pengurus Loker karena mereka akan tutup pukul 10.30. Ada dua lane yang akan kami ambil menuju KL Sentral dari Ampang, pertama menuju Stasiun LRT Sri Rampai, jika tidak memungkinkan Bas, kami akan gunakan Taksi, karena berempat bisa sharing cost dan takkan terlalu mahal. Kedua, LRT dari Sri Rampai menuju KL Sentral. Baru menyeberang ke arah berlawanan dari Spring Ville saat tiba, terlihat bus diujung pandangan, perfect.

Kami naik bas, saat berangkat tadi adalah waktunya jam off kantor maka macet dan penumpang ramai, jadi turun ditiap stasiun, wajar hampir satu jam didinginkan dalam bas. Saat balik, lancar jaya, sehingga 30 menit sampai di LRT Sri Rampai. 10.50 saat itu, kami berlari masuk stasiun, turun ke platform, pintu LRT terbuka seolah-olah hanya ingin membawa kami segera. Loncat masuk dan aman, insyaAllah, kalau sudah masuk LRT, kami bisa mengandalkannya untuk mengejar waktu.

Benar 10.15, saya berlari menuju loker di lantai 2, saat dari platform rail dilantai dua harus turun dulu ke lantai satu untuk touch out. Sukses, sampai 10.20 dan bag mereka bertiga terselamatkan.

Karena jika loker sudah tutup dan carier yang kami titipkan belum diambil, maka kami hanya bisa mengambilnya besok pagi pukul 09am. Sedangkan flight ke Phnom Penh pukul 06am. You know why, lah.!

Kami segera ke basement bas, menaiki Aerobas kelas ekonomi dengan tandingan coach eksekutif di Negara kita. Melewati highway yang diapit lampu-lampu gedung sejagad Kuala Lumpur. Maka satu kalimat “god bless our trip”. Semburat cahaya lampu-lampuan, membangkitkan euphoria yang membuat perjalanan rasanya sangat bernilai. Sambil dikompori dengan soundtrack Mr. Big – Goin’ where the wind blows. Ya kompor delapan belas sumbu. Sebuah supremasi perjalanan yang ditambahkan sehingga kenikmatan menjadi berlipat ganda.

Bonus Lirik
Someone said life is for the taking
Here I am with my hand out waiting for a ride
I've been living on my great expectations
What good is it when I'm stranded here
And the world just passes by

Where are the signs to help me get out of this place
If I should stumble on my moment in time,
How will I know
If the story's written on my face, does it show

Am I strong enough to walk on water
Smart enough to come in out of the rain
Or am I a fool going where the wind blows

Here I sit halfway to somewhere
Thinking about what's in front of me and
What I left behind
On my own, supposed to be so easy
Is this what I've been after
Or have I lost my mind

Maybe this is my chance coming to take me away
If I should stumble on my moment in time,
How will I know
If the story's written on my face, does it show?

Am I strong enough to walk on water?
Smart enough to come in out of the rain
Or am I a fool going where the wind blows
Here I am walking naked through the world
Taking up space, society's child
Make room for me, make room for me,
Make room for me

Am I strong enough to walk on water?
Smart enough to come in out of the rain
Or am I a fool
Going where the wind blows


Setting tempat tidur di klia2, entah kenapa saya tidak bisa memejamkan mata, padahal dulu tinggal rebahan sudah pulas. Mungkin karena excited yang sangat maksimal, jadi tidak bisa istirahat.

Pagi pukul 3.30am, kami bersiap-siap, aku hanya memakai sandal jepit, dimana akan lebih nyaman untuk berjalan dimedan-medan licin seperti lantai bandara ini. Tantangan belum cukup selesai, luasnya bandara klia2 dengan konsep LCCT membuat siksaan sendiri, dari main gate ke gate keberangkatan berjalan kami, tapi untunglah jika kami bersama, akan selalu bisa dibuat enjoy.

Tanggal 8 Mei flight pagi pukul 6.30 dari Kuala Lumpur klia2, Malaysia (KUL) kami menuju Phnom Penh International Airport, Kingdom of Cambodia (PNH). Setelah dua jam membelah langit kembali kami menapaki jejak kami di Negeri Seribu Candi.

Kami menaiki tuktuk menuju shuttle bus di Orrusey Market yang akan berangkat menuju Siem Reap, harga tuktuknya USD 9. Sabar menanti bus pukul sepuluh. Inilah potret Cambodia, masih penuh dengan kemiskinan, infrasktruktur ibukota Negara yang cukup membuat hati tetap mengatakan “I love being Indonesian”. Perjalanan lanjutan ini bukan Kuala Lumpur, yang penuh keteraturan, kami memasuki negeri yang cukup berkelabut lebih dari Indonesia.

Sepanjang jalan menuju Siem Reap, kami disuguhi perjalanan berdebu tebal, tanah liat kering beterbangan. Benar-benar sebuah perjuangan pengembara. Ditengah perjalanan bus berhenti dipinggir jalan, tidak ada toilet ataupun tempat tertutup karung goni pun disana, penumpang menyebar mengambil tempat terbuka. Biasanya kalau di Indonesia, ada pepohonan yang akan menutupi rahasia mereka. Disini nihil, belakangi bus dan headshot. Yang unik dan membuat gelak, penumpang seenaknya saja memetik buah mangga terang-terangan seperti pohon mangga milik kakeknya, banyak biji pula. Masya Allah.!

Tujuh jam lebih kami menghadapi siksaan dalam bus, tanpa mengerti kelakar mereka, tanpa tahu apa yang mereka bicarakan, tak ada bedanya kami dikandang murai. Bus punya settingan seat 2-2, didepan kami ada seorang ibu-ibu yang membawa anak kembar lima tahunan. Saat sudah mulai mencoba untuk tertidur, tiba-tiba ibu didepan heboh kocar kacir, sampai-sampai bapak-bapak disebelah mengeluarkan botol air mineral kosong. Dan siapa sangka bahwa itu akan dijadikan tabung penampung urine untuk si anak. Masya Allah.! Aku tak henti-hentinya tercengang.

Sampai di siem reap, kami naik tuk tuk menuju penginapan, lelah tak terperi. Kami drop bag berniat mencari makan keluar, hari sudah senja, segera kami pesan tiket menuju Bangkok esok hari per orang seharga USD 9.

Kejadian yang tak pernah kami kira terjadi, saat berjalan kembali menuju guesthouse, sebuah banteng matador menyerunduk ke arah kami yang berjalan beruntun layaknya boyband membentuk formasi, padahal kami sudah dipinggir jalan, mungkin karena remang-remang dan wilayah ini tak seterang panggung konser. Intan terkena sasaran rebah dihantam dan terguling. Untung tidak begitu serious accident, tapi sangat disayangkan handphone intan hancur tak terpakai lagi sepertinya.

Setelah itu kami sempatkan menyambangi PUB Street dan Night Market untuk melihat Siem Reap disisi yang berbeda.

Inilah momen yang tak kan terlupakan, jauh di daratan Indochina, kami dihadapkan dengan kejadian seperti ini, pengendara motor bertanggung jawab dan membawa kami ke rumah sakit membagi ganti rugi handphone intan USD 20. Tak ada cidera yang berarti. Pelajaran penting bagi kami semua untuk melanjutkan perjalanan.

Malaysia telah kami singgahi, Cambodia telah kami belah, Thailand sudah kami salami walau tidak termasuk dalam bagian ini. Maka seharusnyalah semakin banyak kami melihat, semakin banyak kami berpikir, dan semakin banyak pula kami mebuat perubahan menjadi lebih baik.
0 Responses