Kawan Kecil di Cambodia



Aku siap menunggangi sepeda pilihanku, siap pula dengan ancang-ancang untuk melaju, kuderingkan bel untuk memberi kode supaya Elly mempercepat memilih sepeda yang cocok untuknya, ia masih sibuk memeriksa ban, menggoyang-goyangkan stang, sadel, pedal, dan keranjangnya. Dengan raut muka tak yakin satu pilihan dapat juga. Sepeda ini nantinya akan kami gunakan untuk didayung menyusuri daerah pinggiran kota. Satu dollar lima puluh sen untuk satu sepeda, dengan jaminan passport kami tinggalkan kepada pemilik. Papan penunjuk jalan mengarahkan kami menuju tujuan yang cukup jauh sebagai ujungnya, danau Tonle Sap.

Tengah hari panas menggelegak, jalanan sempit diaspal kasar dan berlubang, lapisan tanahnya mudah sekali berdebu. Bocah-bocah bersepeda yang membuat ramai jalanan, berboncengan dengan sepeda kecil, semuanya berseragam sekolah, bahkan tas mereka ada yang hanya kantong kresek berisi buku dan pensil.

Mereka riuh menyapa kami yang masuk dalam rombongan. Dengan penampilan seperti ini tak salah jika aku dianggap Khmers, kulit hanya sedikit lebih terang, wajah asia tak banyak perbedaan, bangkai manusia asia tenggara pun berbaur rata. Pantas saja kami disapa dan disahuti dengan bahasa Khmers.

“Bong,.!!!” salah satu anak menyapa. Aku tahu sapaan ‘bong’.
“Hey, we’re not Khmers. I’m from Indonesia and my friend from Malaysia” aku menyahuti.

Elly berkulit hitam manis, berdarah India-Melayu. Semua citra dirinya menggambarkan gadis dari negeri anak benua yang cantik rupawan. Aku grogi memandang matanya yang tajam dan menakjubkan. Ah, sudahlah nanti terkesan aku memberi sinyal pertanda lain.

Sadar kalau hari ini mereka menemui orang asing serupa orang lokal mereka langsung terkekeh berusaha mengucap bahasa Inggris. Anak-anak disini memang lebih terbuka dan biasa menerima kedatangan tamu asing dari berbagai belahan dunia.

Seorang anak lelaki gempal, mungkin masih TK atau kelas satu SD, badannya bulat agak gendut menantangku adu pacu sepeda dengannya. Ia merapat kearahku sambil memajukan arah badan sambil mengontak pedal seperti menandakan pertarungan. Aku hanya tersenyum kearahnya, kupikir sepeda kecil layaknya upil yang mudah disentil, takkan ada apa-apanya ketimbang sepedaku, satu putaran rodaku seimbang dengan tiga kali putaran ia mengayuh.

Namun gertakannya menghidupkan birahi pertarungan di dada, aku menyanggupi mengernyitkan alis dan menyipitkan mata, lagaknya saat Eddy Guererro mendapatkan kesempatan akan membanting tubuh lawannya bak adonan kulit martabak mesir di atas ring.

Kehormatan Indonesia seperti dipertaruhkan disini. Kami disoraki, tak tahu siapa yang mereka dukung. Dengan sepeda kecilnya ia lihai menginjak pedal seperti bayangan lalu secepat kilat melesat jauh didepanku, sumpah, aku tak menyangka, entah pakai sihir sakti lagi mandraguna tak jelas yang pasti aku terpongah melihat sepeda sebesar lidi itu melesat seperti lalat, merasa mendapat lawan tak sebanding, ia menoleh kebelakang lalu melambat seperti merendahkan kemampuan bersepedaku. Wajahnya seperti mengundang teman-temannya supaya menyorakkan dukungan padanya. Hmm, aku geram.

Aku terbakar ego tak mau dikalahkan anak kecil, atau aku akan jadi pecundang, demi Indonesia sempak pun akan kupertaruhkan. Kukecoh dia yang sudah berhenti didepan, pura-puranya aku tak ingin ikut balapan, kukayuh sepeda dengan santai penuh senyuman, manusia-manusia di kiri dan kanan kuanggap pohon cemara, setelah dekat bak Valentino Rossi menggasingkan ban kuda empat enam nya digaris start aku melesat didepannya, perang kembali dimulai sontak mengejutkannya, imajinasiku merasa aku melesat selintas bagai cambuk Gengis Khan, debu mengepul sejenak. Sepeda berderak-derak terhenyak dalam lubang-lubang jalan, sampai air mineral botol dalam keranjang depan tak kuat menerima kanyataan terpelancar keluar pecah dan berserakan, namun tak kuperdulikan, bagiku kompetisi ini lebih penting dari sekedar gelar juara. Padahal akan lebih dramatis jika masih ada air mineral yang bisa kutenggak dengan slow motion sambil membasahi rambut dan mengibaskannya.

Agaknya sebentar ia ternganga melihatku melesat. Tak mau kalah ia segera mengayuh lagi. Kulihat kebelakang Elly dan teman-teman yang lain menyoraki sembari melambai-lambai tak jelas mendukung siapa. Warga disekitar sampai tercengang melihat pemandangan ini. Hampir saja aku melupakan kalau aku berkendara di Negara dengan jalur kanan.

Aku khawatir saat ia terlalu bersemangat mengalahkanku, sedangkan disebalik tikungan sebuah tuk-tuk lewat dari arah berlawanan, ya benar, tuk-tuk ini membuatnya terkejut dan mengarahkan sepeda kepinggir dengan kecepatan seperti melayang akhirnya bocah ini kehilangan keseimbangan, sepedanya rebah terhalang balok papan nama “sedia bibit ikan hias”. Sedangkan tubuhnya terpelanting kedalam selokan berlumpur, ia bangkit dengan sebelah bagian badan hingga rambutnya dilumuri lumpur, untung saja tas sekolah dan bukunya diikat di body sepeda sehingga tidak ikutan masuk kedalam selokan. Ia tetap tertawa menyembunyikan malu, entah sakit atau bagaimana.

Aku cemas kalau terjadi sesuatu padanya. Semua buru-buru mengejar dari belakang, mereka bersorak semakin heboh, warga sekitar ikut berhamburan mengerubungi, kutolong ia membersihkan seragam sekolahnya yang berlumpur. Kuperhatikan tak ada yang cedera, sukurlah. Kuangkat ia keluar seperti menggendong anak kambing. Seorang bapak di bengkel sampai meninggalkan roda mobil reparasinya untuk mengerumuni kami. Main catur di kedai kopi pun sempat bubar untuk mereka kelabakan melihat kami.

Elly mengabadikan momen ini dengan mengajak mereka berfoto bersama. Sepasang turis bule yang naik dengan tuktuk menjadi terengah-engah entah terharu atau senang. Orang-orang berdatangan, sopir tuk-tuk seperti informan terbesar yang bercerita dengan antusias sekali.

Selanjutnya kami bersepeda beriringan, yang lain sudah memencar dan banyak yang sudah menikung karena sampai dirumah mereka. Tepat disebuah gang crocodile farm, teman cilik ini berhenti dan bersorak ke arahku mencoba memberi tahu masih dalam bahasa Khmers, aku tahu maknanya bahwa ia sudah sampai dirumahnya, ia melambaikan tangannya, ah, haru sekali, aku menghentikan sepedaku dan berbalik kebelakang, kami bersalaman tanpa turun dari sepeda. Ia menunjuk ke arah sebuah rumah, rumah dengan tatanan bata sepinggangnya, dilanjutkan dengan susunan papan kayu hingga ke atap. Aku mengiyakan, mukanya mendongak polos ke arahku.

Keep in school, buddy, we’ll meet again someday.” Sambil kuusap kepalanya.

Ia tersenyum seperti tak rela, dan segera membelokkan sepedanya, kupanggil lagi dia dan kusodorkan selembar satu dolar.

For your victory.
 “akun, uncle”, sahutnya. Akun adalah ucapan Terima Kasih dalam bahasa Khmer.
Oh no, not uncle, say “thanks, bro.! please”. Tapi mungkin ia malu berbahasa Inggris.

Ia senang menerimanya sambil berlalu dengan sepeda kecil itu, tak kulepaskan pandanganku hingga ia menutup pintu rumahnya, ia langsung merebahkan sepedanya terhempas ke tiang jemuran. Lalu sigap berlari menuju pintu dan mendorongnya dengan cepat.

Setelah pintu tertutup tak lantas membuatnya tak  muncul lagi, ia menyibak tirai jendela dan menjulurkan kepala dengan tangannya masih melambaikan selembar satu dolar ke arahku. Itu bukan uang apa-apa, hanya hadiah, nafkah tentu dari bapaknya.

Aku terharu sekali, hanya anak kecil, baru bertemu pula dan hanya bercakap entah saling mengerti atau tidak, lalu berpisah.

Elly selalu diam-diam memperhatikan kami, ia tak ikut satupun percakapan, hanya menopang dagunya di setang sepeda seperti menonton film drama. Setelah aku terkesiap ia lalu menggoda.

“Jiwang sangat, a happy ending bromance.!” Ucapnya sambil bertepuk kecil menahan kagum persis seperti saat seorang jejaka ranum dipertemukan dengan Pamela Anderson.

I think I need to have a baby soon. Kubalas godaannya.
Kulihat Elly masih senyum-senyum, aku yakin yang ada dalam pikirannya masih tentang cerita haru bersama teman kecil sekilas tadi. Ia tertawa lepas saat aku menatap tajam bola matanya untuk segera menghentikan pikirkannya.

Keceriaan mereka sama sekali tak memperlihatkan kekeringan negeri Khmers yang semakin nampak bertambah melarat disepanjang jalan menuju Wat Knang Pnom Krom, sebuah pagoda diatas bukit. Sudah lumayan jauh kami mendayung sepeda, belum juga terlihat bukit tempat pagoda berada.

I Love Cambodia.
0 Responses