Hai

Kita tidak tahu sebuah kata “hai” akan mengantarkan pembicaraan atau pertemuan entah sampai sejauh mana. Ada yang memulai hai, akhirnya saling berjatuh cinta, menikah dan mempunyai sampai sebelas orang anak, beranak pinak lagi kemudian, hidup bahagia selamanya seperti dalam dongeng, ada pula yang saling hai akhirnya hanya untuk bermusuhan, seperti anjing dan kucing, saling hancur menghancurkan, tak jarang pula hanya sapaan sedetik saja dan hilang.

Aku teringat Elly, tak bisa kutebak persis dia berasal dari mana, dari penampakan wajah sepertinya dia dari India sana, kulit sawo matang, tinggi semampai. Tapi aku tak yakin karena para wanita India jarang yang melakukan perjalanan lintas dengan gaya budgeted seperti wanita muda ini, kenapa budgeted? Lihatlah style-nya yang serba apa adanya, dengan tas punggung merah hitam carrier lima puluh lima liter, badannya tetap terlihat tegap, ramping, langsing dengan santai meletakkan tasnya dibagasi kabin dibagian atas kereta, kemudian duduk.

Komposisi budgeted yang dimaksud semakin lengkap lagi dengan pemandangan disaat ia membetulkan tali sandal jepitnya yang lepas, sandal yang kalau dikampung saya dipakai untuk sumbangan orang di masjid untuk orang berwudhu. Tak ada merek-merek kewanitaan sekelas Prada yang terpasang disekujur tubuhnya. Tampil begitu apa adanya. Sehingga segala sesuatu yang ia kenakan begitu pas.

Dengan sebuah smartphone ia putar musiknya, hal ini biasa untuk pejalan yang melancong sendiri, music dan segala peralatannya. Sambil membaca sebuah buku yang aku lupa entah apa judulnya karena aku focus terpesona pada style backpackernya yang sungguh menggambarkan perjalanan yang menyenangkan, penuh petualangan, adventurous sekali. Ia duduk di kursi dikiri lorong tepat disebelah tempat dudukku. Yang ia kenakan hanya celana longgar panjang bercorak batik Indonesia. Terlintas sedikit rasa bangga pada negeri tercinta. Rambut lujurnya sepunggung dibiarkan tergerai sambil membungkuk membaca bukunya, sesekali ia selipkan rambutnya yang tergerai disela telinga.

Pesonanya sungguh membuai hati, dalam dada rasanya serba enak dan nyaman, bisa-bisa mungkin saat itu pot bunga diberi saus pun enak. Sementara itu aku terbangun dari keterpanaan memandang sekeliling sudah ramai penumpang, rasanya benar-benar seperti hilang kesadaran, kursi sudah banyak yang diduduki, hampir penuh malah, kemudian seorang pria bule celingkuan dengan tiket ditangannya masuk dari pintu depan menuju lorong, jaraknya setengah gerbong, memandang nomor kursi satu persatu kiri dan kanan yang dilekatkan di besi penahan bagasi kabin, rupanya ia duduk disebelahku dekat jendela. Dengan sopan ia permisi dan meletakkan tasnya di kabin. Aku berdiri ke lorong mempersilakannya masuk, dan kembali duduk setelah ia duduk.

Didepan berjejer pria berbangkai besar, kalau berkelahi dengan orang asia mungkin sekali tepuk dua rahang goyah pasaknya, dari gaya bahasanya aku tahu mereka dari Russia. Seperti halnya bule-bule atau orang Malaysia memanggil bule dengan sebutan Mat Saleh, mereka bercerita ekspresif sekali, mimik muka dan hand gestures saat bebicara menandakan mereka sangat antusias. Ada empat orang, dua berbadan lebih besar, seperti tukang pukul yang disediakan di restoran kalau ada pengunjung jika ada yang sok-sok kaya mentraktir pacar lalu uangnya kurang, maka tinggal angkat kiri tonjok kanan jatuh lebam lah. Mereka hanya memakai tank top dan celana pendek topinya dipasang miring persis seperti Eminem dalam cover albumnya. Dua lagi terlihat masih muda, dengan bercak diwajah yang belum hilang.

Daripada diam kusapa pria disebelahku, namanya Nick dari negeri Om Hitler, kacamata hitamnya diletak dikepala persis seperti bando, mungkin dia suka spot pantai untuk dikunjungi, berjemur di teriknya matahari, ternyata memang benar, hasilnya kulitnya bukannya hitam malah memerah seperti kulit disabet bilah rotan saat belajar mengaji. Sekitar sepuluh menit kami membahas perjalanan dari dan hendak kemana serta selanjutnya akan kemana. Setelah itu ia tertidur pulas nampaknya, sehingga aku hanya bisa memandang kesibukan para penumpang. Ada yang duduk berpasangan, suami istri hingga kakek nenek.

Pukul empat petang kereta mulai melaju dengan rute dari Hat Yai menuju Kuala Lumpur, arah sinar matahari berada di sisi kiri, jadi aku tak perlu menutup tirai yang di kanan untuk menambah keindahan perjalanan. Bunyi lokomotif diiringi gesekan rel dengan roda baja pada tarikan pertama menambah haru deru perjalanan, menyeruak menggebu-gebu, bagi seorang petualang bebunyian seperti ini akan meng-upgrade birahi semangat mereka dengan rasa bahagia di dada yang tiada tara hebatnya, begitulah yang kurasakan, sejam lagi kami akan tiba di perbatasan darat Malaysia dengan Thailand, kantor Imigrasinya bernama Padang Besar. Hanya sekitar tiga gerbong yang berangkat dari Hat Yai menuju Padang Besar, semuanya terisi penumpang.

Dalam perjalanan, kami bertemu pandang disebuah kesempatan, saat Elly melongok kiri kanan dan melihat keluar jendela dari sisi kanan dan kiri juga berbalik menjulurkan kepala melihat lorong depan dan belakang, aku sok-sok tidak memperhatikan, padahal aku menunggu tiada henti untuk kesempatan bisa bertegur sapa dengan Elly, menjelang tiba di perbatasan untuk pemeriksaan imigrasi, kereta melambat dan ia kembali memandang kearahku seperti menatap mukaku dengan nanar, aku hanya menampik selayang pandang tapi ternyata ia hanya melihat keluar jendela kereta. Saat aku membalas pandangan spontan aku menyapa dengan “hai”. Ia membalas ramah dengan senyum yang anggun, senyum yang terukur dan terstandar, tidak lebar dan tidak pula terkesan dibut-buat. Sejenak ia segera memutar pandangannya menuju buku yang sedang dibacanya.

Aku merasa tenang, bahwa masih ada orang yang mampu memberi senyum, dan itu menyenangkan, apalagi disenyumi dari wanita seperti Elly. Aku menunggu nunggu bahkan mencari-cari cara supaya bisa ngobrol dengannya, namun ia focus pada bukunya. Pada kesempatan lainnya ketika kereta melambat ia bertanya apakah sudah tiba di perbatasan, ini tentu kelanjutan dari sapaan awal “hai” tadi, aku sebenarnya tidak yakin, tapi yang kurasa ini sudah hampir satu jam, artinya memang sudah seharusnya kereta tiba di Padang Besar. Aku menjawab mungkin sudah tiba, aku bertanya dia mau kemana, asalnya dan dari mana saja. Padahal sudah bisa kutebak dari dialect bahasanya pasti dia dari Malaysia. Lalu bercerita pun dimulai.

Tebakanku tak melesat, Elly ternyata seorang mahasiswa dari kampus di negeri Melaka, Malaysia yang sedang menghabiskan liburan semesternya untuk backpacking menuju beberapa negara tetangga. Ia berangkat bersama empat temannya, tetapi sudah berpisah mengambil jalur masing-masing saat di Hat Yai. Tiga temannya memutuskan untuk menuju Krabi, dan menelusuri semenanjung hingga Phuket, Bangkok dan menuju Pattaya Thailand. Sedangkan ia mengambil jalur Hat Yai langsung menuju Bangkok, langsung dengan kereta dan akan meneruskan perjalanan menuju Chiang Mai, hingga Chiang Rai ke arah Utara Thailand hingga akan berakhir di Luang Prabang kemudian mengambil rute yang sama untuk kembali ke Bangkok. Mereka saling berjanji untuk bertemu kembali di Bangkok, akan tetapi saat yang dijanjikan temannya masih menikmati keindahan alam di Phuket.

Wanita ini pemberani, ia melintas masuk menuju Luang Prabang Laos dari Chiang Rai, Thailand. Border yang kabarnya banyak sekali kasus-kasus penipuan, dan kantor imigrasi yang tidak selalunya beroperasi dengan normal. Ia telah melewati itu semua seorang diri. Matang sekali perencanaannya.

Mereka jadi tidak bisa bertemu tepat waktu, sedangkan ia sudah berada di Bangkok. Bukan travelers namanya jika tidak bisa dihadapkan dengan rencana yang datang tiba-tiba, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Siem Reap, Cambodia. Menumpangi sebuah van seharga seribu baht. Perjalanannya berakhir di Phnom Penh dengan perjalanan malam dengan bus hingga kembali ke bangkok dengan jalur darat.
---
Kantor imigrasi Padang Besar, disinilah perbatasan darat antara Malaysia dengan Thailand. Kereta berhenti, kami menurunkan seluruh barang bawaan, karena gerbong yang akan berangkat ke Kuala Lumpur akan di tambah. Setelah melewati pemeriksaan imigrasi kami keluar di platform penantian kereta. Setidaknya kami menunggu sekitar satu setengah jam untuk kembali naik kereta. Sambil menunggu, kami berkenalan dan segera bercerita tentang perjalanan yang kami lewati.

Satu setengah jam menunggu tidak akan terasa dengan bahasan topik traveling, membuatku begitu menikmati, wawasannya luas, penekanan pendapatnya jarang kepada hal-hal yang mencela, memandang dengan luas perbedaan yang ia lalui, melihat dan mengalami berbagai hal. Jelas sekali terlihat dari gaya berbicaranya, kata-kata yang digunakan jelas dan rapi.

Disekitar stasiun terhampar baja-baja potongan rel, balok-balok besi berserakan di platform, mungkin akan ada perluasan, inilah stasiun kereta ditengah hutan, disisi yang lainnya ada sebuah toko minuman alkohol yang dikontrol peredarannya, kalau kuperhatikan, hanya mat saleh yang sering membelinya, sejak tadi Beruang Russia itu sudah tiga kali bolak balik membeli minuman.

Di sekeliling stasiun tempat cekpoin imigrasi hanya hutan getah yang ditanami, hening mencekam, suara desir angin adakalanya memecah buah pohon getah jatuh terpelanting terdengar sesekali. Semilir angin membuat riuh dedaunan menyempurnakan nada-nada alam jauh dari kebisingan kota.

Aku hanya berkunjung ke Hat Yai tiga hari, itupun hanya untuk renew visa kunjungan ke Malaysia. Seharusnya memang aku bisa renew dengan membayar seratus ringgit, tapi aku terlalu malas berurusan dengan Imigrasi. Karena free-visit tiga puluh hari sudah hampir habis. Makanya keluar dari Malaysia menuju Thailand adalah yang paling simpel dan berkesempatan pula mengunjungi negara lain, setelah masuk lagi ke Malaysia, aku mendapatkan tiga puluh hari berikutnya free-visit.

Perjalanan berlanjut membelah semenanjung Malaysia melewati kota-kota bagian utara semenanjung yang kebanyakan kulihat hampir sama dengan wilayah sebagian Indonesia, area persawahan, perkebunan sawit dan getah menghiasi hijau pemadangan sekeliling menjelang senja hingga perlahan berubah menjadi hitam gelap.

Kulihat Elly masih saja memainkan smartphonenya, terasa sekali ia menikmati perjalanannya, aku jadi tidak enak ingin menyapa lagi, mungkin saja ia sedang menikmati suasana yang seperti itu tanpa harus berbicara dengan orang lain, apalagi orang lainnya seperti aku. Mat Saleh sudah tertidur bersandaran dengan berselimut handuk, salah sendiri kenapa memakai tanktop saja, apakah dia tidak tahu AC dalam kereta sama dinginnya dengan musim salju di eropa. Atau mereka terlalu kegirangan karena menikmati summer sepanjang tahun di negeri tropis seperti di asia tenggara ini.

Mata yang tak ingin terlelap karena berharganya perjalanan ini, aku hanya melongok keluar jendela, berharap ada sesuatu apapun lah yang baru yang akan kulihat, bahkan aku terpikir ingin melihat hantu dalam remang-remang perjalan dimalam itu. Perjalanan pertama meniti rel dihiasi lampu-lampu jalanan, rumah-rumah penduduk yang lengang, entah karena penduduknya yang tidak padat atau memang warga telah masuk kerumah karena jam malam. Semuanya kuperhatikan hingga mata tak bisa kupejam. Aku bergitu berhasrat untuk menikmati perjalanan ini sepenuhnya tanpa ada bagian yang kulewati.

Aku terbangun, kiranya ada mimpi disela tidur singkat, masih hangat terasa cerita dalam mimpi karena saat itu aku meninggalkan kelas kuliahku, sampai pas waktu balik, teman-teman berpikir bahwa aku sudah out. Ah, kucoba tepis, bersegera kuberdiri menuju gerbong paling belakang untuk membeli segelas Milo panas. Untuk menuju gerbong belakang saja harus melewati lorong kereta seperti maze kadang berjingkrak melangkahi kaki penumpang yang tertidur pulas.

Dalam gerbong café, seperti biasa, walau terasa berisik dengan suara kereta, semua tetap nyaman berlama-lama duduk bercakap-cakap. Kereta berjalan melambat pertanda tidak jauh akan memasuki stasiun, benar saja lalu lalang penumpang yang baru masuk, mahasiswa yang akan menuju Kuala Lumpur. Seketika sesak sudah, kelakaran anak-anak muda semenanjung hiruk pikuk berpadu dengan suara rel, beginilah mereka hendak ke pusat kota, nyaman sekali. Beberapa jenak kembali hening.

Sekembalinya kulihat Elly masih tertidur pulas, dingin meradang hingga ke tulang. Akupun tak tau pasti sampai jam berapa akan tiba di stasiun KL sentral, aku ingin sekali membuka percakapan dengan Elly, aku khawatir nanti tidak ada waktu lagi untuk bertanya banyak tentang pengalaman travelingnya. Aku mengerti satu hal, orang-orang seperti mereka pasti senang jika ditanya sudah kemana aja mereka menjelajah. Karena pengalaman itu sendiri adalah kebanggaannya, akupun juga merasa begitu, tapi bukan untuk di pamer, tentunya.

Bersambung…