Hai

Kita tidak tahu sebuah kata “hai” akan mengantarkan pembicaraan atau pertemuan entah sampai sejauh mana. Ada yang memulai hai, akhirnya saling berjatuh cinta, menikah dan mempunyai sampai sebelas orang anak, beranak pinak lagi kemudian, hidup bahagia selamanya seperti dalam dongeng, ada pula yang saling hai akhirnya hanya untuk bermusuhan, seperti anjing dan kucing, saling hancur menghancurkan, tak jarang pula hanya sapaan sedetik saja dan hilang.

Aku teringat Elly, tak bisa kutebak persis dia berasal dari mana, dari penampakan wajah sepertinya dia dari India sana, kulit sawo matang, tinggi semampai. Tapi aku tak yakin karena para wanita India jarang yang melakukan perjalanan lintas dengan gaya budgeted seperti wanita muda ini, kenapa budgeted? Lihatlah style-nya yang serba apa adanya, dengan tas punggung merah hitam carrier lima puluh lima liter, badannya tetap terlihat tegap, ramping, langsing dengan santai meletakkan tasnya dibagasi kabin dibagian atas kereta, kemudian duduk.

Komposisi budgeted yang dimaksud semakin lengkap lagi dengan pemandangan disaat ia membetulkan tali sandal jepitnya yang lepas, sandal yang kalau dikampung saya dipakai untuk sumbangan orang di masjid untuk orang berwudhu. Tak ada merek-merek kewanitaan sekelas Prada yang terpasang disekujur tubuhnya. Tampil begitu apa adanya. Sehingga segala sesuatu yang ia kenakan begitu pas.

Dengan sebuah smartphone ia putar musiknya, hal ini biasa untuk pejalan yang melancong sendiri, music dan segala peralatannya. Sambil membaca sebuah buku yang aku lupa entah apa judulnya karena aku focus terpesona pada style backpackernya yang sungguh menggambarkan perjalanan yang menyenangkan, penuh petualangan, adventurous sekali. Ia duduk di kursi dikiri lorong tepat disebelah tempat dudukku. Yang ia kenakan hanya celana longgar panjang bercorak batik Indonesia. Terlintas sedikit rasa bangga pada negeri tercinta. Rambut lujurnya sepunggung dibiarkan tergerai sambil membungkuk membaca bukunya, sesekali ia selipkan rambutnya yang tergerai disela telinga.

Pesonanya sungguh membuai hati, dalam dada rasanya serba enak dan nyaman, bisa-bisa mungkin saat itu pot bunga diberi saus pun enak. Sementara itu aku terbangun dari keterpanaan memandang sekeliling sudah ramai penumpang, rasanya benar-benar seperti hilang kesadaran, kursi sudah banyak yang diduduki, hampir penuh malah, kemudian seorang pria bule celingkuan dengan tiket ditangannya masuk dari pintu depan menuju lorong, jaraknya setengah gerbong, memandang nomor kursi satu persatu kiri dan kanan yang dilekatkan di besi penahan bagasi kabin, rupanya ia duduk disebelahku dekat jendela. Dengan sopan ia permisi dan meletakkan tasnya di kabin. Aku berdiri ke lorong mempersilakannya masuk, dan kembali duduk setelah ia duduk.

Didepan berjejer pria berbangkai besar, kalau berkelahi dengan orang asia mungkin sekali tepuk dua rahang goyah pasaknya, dari gaya bahasanya aku tahu mereka dari Russia. Seperti halnya bule-bule atau orang Malaysia memanggil bule dengan sebutan Mat Saleh, mereka bercerita ekspresif sekali, mimik muka dan hand gestures saat bebicara menandakan mereka sangat antusias. Ada empat orang, dua berbadan lebih besar, seperti tukang pukul yang disediakan di restoran kalau ada pengunjung jika ada yang sok-sok kaya mentraktir pacar lalu uangnya kurang, maka tinggal angkat kiri tonjok kanan jatuh lebam lah. Mereka hanya memakai tank top dan celana pendek topinya dipasang miring persis seperti Eminem dalam cover albumnya. Dua lagi terlihat masih muda, dengan bercak diwajah yang belum hilang.

Daripada diam kusapa pria disebelahku, namanya Nick dari negeri Om Hitler, kacamata hitamnya diletak dikepala persis seperti bando, mungkin dia suka spot pantai untuk dikunjungi, berjemur di teriknya matahari, ternyata memang benar, hasilnya kulitnya bukannya hitam malah memerah seperti kulit disabet bilah rotan saat belajar mengaji. Sekitar sepuluh menit kami membahas perjalanan dari dan hendak kemana serta selanjutnya akan kemana. Setelah itu ia tertidur pulas nampaknya, sehingga aku hanya bisa memandang kesibukan para penumpang. Ada yang duduk berpasangan, suami istri hingga kakek nenek.

Pukul empat petang kereta mulai melaju dengan rute dari Hat Yai menuju Kuala Lumpur, arah sinar matahari berada di sisi kiri, jadi aku tak perlu menutup tirai yang di kanan untuk menambah keindahan perjalanan. Bunyi lokomotif diiringi gesekan rel dengan roda baja pada tarikan pertama menambah haru deru perjalanan, menyeruak menggebu-gebu, bagi seorang petualang bebunyian seperti ini akan meng-upgrade birahi semangat mereka dengan rasa bahagia di dada yang tiada tara hebatnya, begitulah yang kurasakan, sejam lagi kami akan tiba di perbatasan darat Malaysia dengan Thailand, kantor Imigrasinya bernama Padang Besar. Hanya sekitar tiga gerbong yang berangkat dari Hat Yai menuju Padang Besar, semuanya terisi penumpang.

Dalam perjalanan, kami bertemu pandang disebuah kesempatan, saat Elly melongok kiri kanan dan melihat keluar jendela dari sisi kanan dan kiri juga berbalik menjulurkan kepala melihat lorong depan dan belakang, aku sok-sok tidak memperhatikan, padahal aku menunggu tiada henti untuk kesempatan bisa bertegur sapa dengan Elly, menjelang tiba di perbatasan untuk pemeriksaan imigrasi, kereta melambat dan ia kembali memandang kearahku seperti menatap mukaku dengan nanar, aku hanya menampik selayang pandang tapi ternyata ia hanya melihat keluar jendela kereta. Saat aku membalas pandangan spontan aku menyapa dengan “hai”. Ia membalas ramah dengan senyum yang anggun, senyum yang terukur dan terstandar, tidak lebar dan tidak pula terkesan dibut-buat. Sejenak ia segera memutar pandangannya menuju buku yang sedang dibacanya.

Aku merasa tenang, bahwa masih ada orang yang mampu memberi senyum, dan itu menyenangkan, apalagi disenyumi dari wanita seperti Elly. Aku menunggu nunggu bahkan mencari-cari cara supaya bisa ngobrol dengannya, namun ia focus pada bukunya. Pada kesempatan lainnya ketika kereta melambat ia bertanya apakah sudah tiba di perbatasan, ini tentu kelanjutan dari sapaan awal “hai” tadi, aku sebenarnya tidak yakin, tapi yang kurasa ini sudah hampir satu jam, artinya memang sudah seharusnya kereta tiba di Padang Besar. Aku menjawab mungkin sudah tiba, aku bertanya dia mau kemana, asalnya dan dari mana saja. Padahal sudah bisa kutebak dari dialect bahasanya pasti dia dari Malaysia. Lalu bercerita pun dimulai.

Tebakanku tak melesat, Elly ternyata seorang mahasiswa dari kampus di negeri Melaka, Malaysia yang sedang menghabiskan liburan semesternya untuk backpacking menuju beberapa negara tetangga. Ia berangkat bersama empat temannya, tetapi sudah berpisah mengambil jalur masing-masing saat di Hat Yai. Tiga temannya memutuskan untuk menuju Krabi, dan menelusuri semenanjung hingga Phuket, Bangkok dan menuju Pattaya Thailand. Sedangkan ia mengambil jalur Hat Yai langsung menuju Bangkok, langsung dengan kereta dan akan meneruskan perjalanan menuju Chiang Mai, hingga Chiang Rai ke arah Utara Thailand hingga akan berakhir di Luang Prabang kemudian mengambil rute yang sama untuk kembali ke Bangkok. Mereka saling berjanji untuk bertemu kembali di Bangkok, akan tetapi saat yang dijanjikan temannya masih menikmati keindahan alam di Phuket.

Wanita ini pemberani, ia melintas masuk menuju Luang Prabang Laos dari Chiang Rai, Thailand. Border yang kabarnya banyak sekali kasus-kasus penipuan, dan kantor imigrasi yang tidak selalunya beroperasi dengan normal. Ia telah melewati itu semua seorang diri. Matang sekali perencanaannya.

Mereka jadi tidak bisa bertemu tepat waktu, sedangkan ia sudah berada di Bangkok. Bukan travelers namanya jika tidak bisa dihadapkan dengan rencana yang datang tiba-tiba, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Siem Reap, Cambodia. Menumpangi sebuah van seharga seribu baht. Perjalanannya berakhir di Phnom Penh dengan perjalanan malam dengan bus hingga kembali ke bangkok dengan jalur darat.
---
Kantor imigrasi Padang Besar, disinilah perbatasan darat antara Malaysia dengan Thailand. Kereta berhenti, kami menurunkan seluruh barang bawaan, karena gerbong yang akan berangkat ke Kuala Lumpur akan di tambah. Setelah melewati pemeriksaan imigrasi kami keluar di platform penantian kereta. Setidaknya kami menunggu sekitar satu setengah jam untuk kembali naik kereta. Sambil menunggu, kami berkenalan dan segera bercerita tentang perjalanan yang kami lewati.

Satu setengah jam menunggu tidak akan terasa dengan bahasan topik traveling, membuatku begitu menikmati, wawasannya luas, penekanan pendapatnya jarang kepada hal-hal yang mencela, memandang dengan luas perbedaan yang ia lalui, melihat dan mengalami berbagai hal. Jelas sekali terlihat dari gaya berbicaranya, kata-kata yang digunakan jelas dan rapi.

Disekitar stasiun terhampar baja-baja potongan rel, balok-balok besi berserakan di platform, mungkin akan ada perluasan, inilah stasiun kereta ditengah hutan, disisi yang lainnya ada sebuah toko minuman alkohol yang dikontrol peredarannya, kalau kuperhatikan, hanya mat saleh yang sering membelinya, sejak tadi Beruang Russia itu sudah tiga kali bolak balik membeli minuman.

Di sekeliling stasiun tempat cekpoin imigrasi hanya hutan getah yang ditanami, hening mencekam, suara desir angin adakalanya memecah buah pohon getah jatuh terpelanting terdengar sesekali. Semilir angin membuat riuh dedaunan menyempurnakan nada-nada alam jauh dari kebisingan kota.

Aku hanya berkunjung ke Hat Yai tiga hari, itupun hanya untuk renew visa kunjungan ke Malaysia. Seharusnya memang aku bisa renew dengan membayar seratus ringgit, tapi aku terlalu malas berurusan dengan Imigrasi. Karena free-visit tiga puluh hari sudah hampir habis. Makanya keluar dari Malaysia menuju Thailand adalah yang paling simpel dan berkesempatan pula mengunjungi negara lain, setelah masuk lagi ke Malaysia, aku mendapatkan tiga puluh hari berikutnya free-visit.

Perjalanan berlanjut membelah semenanjung Malaysia melewati kota-kota bagian utara semenanjung yang kebanyakan kulihat hampir sama dengan wilayah sebagian Indonesia, area persawahan, perkebunan sawit dan getah menghiasi hijau pemadangan sekeliling menjelang senja hingga perlahan berubah menjadi hitam gelap.

Kulihat Elly masih saja memainkan smartphonenya, terasa sekali ia menikmati perjalanannya, aku jadi tidak enak ingin menyapa lagi, mungkin saja ia sedang menikmati suasana yang seperti itu tanpa harus berbicara dengan orang lain, apalagi orang lainnya seperti aku. Mat Saleh sudah tertidur bersandaran dengan berselimut handuk, salah sendiri kenapa memakai tanktop saja, apakah dia tidak tahu AC dalam kereta sama dinginnya dengan musim salju di eropa. Atau mereka terlalu kegirangan karena menikmati summer sepanjang tahun di negeri tropis seperti di asia tenggara ini.

Mata yang tak ingin terlelap karena berharganya perjalanan ini, aku hanya melongok keluar jendela, berharap ada sesuatu apapun lah yang baru yang akan kulihat, bahkan aku terpikir ingin melihat hantu dalam remang-remang perjalan dimalam itu. Perjalanan pertama meniti rel dihiasi lampu-lampu jalanan, rumah-rumah penduduk yang lengang, entah karena penduduknya yang tidak padat atau memang warga telah masuk kerumah karena jam malam. Semuanya kuperhatikan hingga mata tak bisa kupejam. Aku bergitu berhasrat untuk menikmati perjalanan ini sepenuhnya tanpa ada bagian yang kulewati.

Aku terbangun, kiranya ada mimpi disela tidur singkat, masih hangat terasa cerita dalam mimpi karena saat itu aku meninggalkan kelas kuliahku, sampai pas waktu balik, teman-teman berpikir bahwa aku sudah out. Ah, kucoba tepis, bersegera kuberdiri menuju gerbong paling belakang untuk membeli segelas Milo panas. Untuk menuju gerbong belakang saja harus melewati lorong kereta seperti maze kadang berjingkrak melangkahi kaki penumpang yang tertidur pulas.

Dalam gerbong café, seperti biasa, walau terasa berisik dengan suara kereta, semua tetap nyaman berlama-lama duduk bercakap-cakap. Kereta berjalan melambat pertanda tidak jauh akan memasuki stasiun, benar saja lalu lalang penumpang yang baru masuk, mahasiswa yang akan menuju Kuala Lumpur. Seketika sesak sudah, kelakaran anak-anak muda semenanjung hiruk pikuk berpadu dengan suara rel, beginilah mereka hendak ke pusat kota, nyaman sekali. Beberapa jenak kembali hening.

Sekembalinya kulihat Elly masih tertidur pulas, dingin meradang hingga ke tulang. Akupun tak tau pasti sampai jam berapa akan tiba di stasiun KL sentral, aku ingin sekali membuka percakapan dengan Elly, aku khawatir nanti tidak ada waktu lagi untuk bertanya banyak tentang pengalaman travelingnya. Aku mengerti satu hal, orang-orang seperti mereka pasti senang jika ditanya sudah kemana aja mereka menjelajah. Karena pengalaman itu sendiri adalah kebanggaannya, akupun juga merasa begitu, tapi bukan untuk di pamer, tentunya.

Bersambung…

Another 'KL' Chapter Inside my Broken English

Blogging Day... okay folks, it’s been a long time since previous post, even my blog doesn’t recognize me as its owner anymore, and me, honestly we’re already forget each other. And our relationship has already breakdown. Till this post come to you, we’re get back to love as we’ve been together for about seven years, it’s hard to separate our two-heart tied up together forever. LOL

Have you been forced accidentally - spontaneous to sleep on a hard surfaces in a random destination that makes you feel regret?, grab instant foods?, I said that these all were not to expecting sympathy and no one will feels courteous as well they do the same look as me. I will let you know something about my previous trip, this isn’t a great for sure but walk throughout Southeast Asian which is mean go and back frequent of time was a great time for me and I thought something different way to appreciates my life caused by trips I did many times. However, I had kind of new things belong to me and all way happens to find ‘I am changed’. My body seems like bad weather-proof, there is rains, dusty, even fogging around September caused by fire-forest somewhere around Sumatera (I hate those who involved as a mastermind deforestation) but magically I am survived. But this isn’t great, everyone survived too. No regret.
 

I haven’t such proper plan at this moment, I took Ferry from Batam Island (Batam Centre International Ferry Terminal) straight away to Johor Bahru (Stulang Laut Ferry Terminal) in addition, the schedule a bit flexible than flight schedule time. You can buy a ticket then if something happened that makes you can’t on board on time printed on your boarding pass, you will allowed to change it right on vessel counter.

Ok, what I love to do and take for accommodation during trips? Guesthouse, yes, guesthouse was one of places where you can find a lot of friends, even more if you stay in a mixed twelve-bed in a dorm during peak session, just say them Hi, in my occasion there is no place like this even when a good costly accommodation offer like deluxe-king bed rather than guesthouse that offers much more opportunities to friends with locals, even other travelers. All way put together.


Looking for cheaper guesthouse is a bit tricky, you can compare prices of all available accommodation from comparing accommodation websites. There are many websites exist to help your trip nowadays. But, me, I did a price low to high on a short by systems. And consider top 5 as well. Don’t you worry you will find one suit for you.


First place that I will write it is all about Malaysia, especially Kuala Lumpur. I don’t know why did I love to visit KL so much, I do feel entirely like home, this feeling kind of subjective but it was about how do I suppose to do and what I did on my previous trip. Kindly I said that this isn’t about what majestic standing ‘twin tower’ watch my moves. But it is all about feelings. How culture of this city formed by multicultural society where you can find Westerner, Indian, Arabian, Chinese, Malaysian, Indonesian, etc.


Well, for budgeted travelers just provide a water bottle you can refill in many spots in town, they have tap drinking water, instantly dispense clean and drinkable water. This one quite good and giving you a chance to save budget by converting arrangement for buy water from live-store to a free way to get. Another way for budgeted was a bit save more is a RapidKL city bus, choose one of them labelling with Free Service as in Malay you can find ‘Tambang Percuma’ printed on it.


They had about four line around town, I think they’re fully covered entire Kuala Lumpur as you can see Purple Line departing from Pasar Seni Bus Station connecting to Blue and Green Line in Bukit Bintang, if you need to go to KLCC, you can transfer from Purple line to Green Line. You can study the map regarding to your plan. Jump to the bus and twerk like Miley.  Nice box providing us wifi and aircond. Electric convenient bus I’ve ever boarding.


But make sure you keep your weighten-bag at locker in spot of storage center or at you hostel in advance, because this is a bit adventurous, I did with my bag still intact then after a few hours I got backpain. I traveled to Kuala Lumpur during August, actually end of August, and they had ‘Merdeka Day’ at 31st August. That day was so crowded where the yellow-Bersih 4.0- spreading and blocking some road, street even avenue. They need to reveal about 2 million missing Ringgit credited to Najib Razak account, this issued cause ringgit getting lower against Dollar.


I’m not really sure how that going as well as they asked and apparently look so mad about Najib Razak. LRT Station about-to-close crowded during that day, it’s hard to figure out the way in town otherwise easier by LRT connecting line. Yes man, unless you can start your jetpack engine.


Make it done, already out of topic, well... now let check out the second place I’ve visited, say Malacca. Historical heritage themes. Red Church, ancient building, I expect to find such folklore and all about its history. But I cant find,  I know that this place quite modern but I find jigsaw, LOL and set us RM 20 one way trip cover this place area.


Malaysia is a nice country providing foreigner about something useful guide to ease their way getting around Kuala Lumpur, most of drivers are nice to serve passenger and show them clear direction if they ask them to do. For the first time I saw the driver always remember where a passenger requesting to drop and right after reach the destination the driver will notice them. This is cute and sweet as in my country it is hard to find secure feels as they will manage to let someone confuse to make extra money.

Kemana Kata Ini Akan Membawamu

Karena sudah terpisah jauh, dan susah untuk bertemu, akhirnya kami memutuskan untuk menjalin persahabatan saja. Namanya Alisha, warga negara Iran, wanita muslim berhijab ini kalau disebutkan pengalaman traveling, sudah sangat mendunia dan di level expert. Ketertarikannya pada pria asia sungguh sangat beralasan menurut saya, kadang saya dihadapkan pada keadaan simple dalam memahami wanita. Berbeda dengan kebanyakan wanita, mereka berkata "ya" tetapi sebenarnya tidak, berkata "boleh" tapi sebenarnya larangan tegas. Tidak begitu dengan Alisha, rasanya ia telah membina karakter dalam dirinya yang kuat dan kokoh sehingga tidak terlihat labil. Spontan tapi membuat nyaman.

Hari itu Ramadhan, di Kuala Lumpur, saya sengaja singgah disana karena merasa ketenangan kota metro Kuala Lumpur telah merenggut hati saya. Kejutan demi kejutan saya lalui sebagai diri pribadi yang berbeda, saya coba memisahkan antara hidup saya disini dengan sebelumnya. Mulai dari cara berbicara, hingga apresiasi pada teman-teman selalu saya buat mengimbangi warga lokal yang berpemikiran liberal dan luas. Hari ke hari teman semakin bertambah, mulai dari kunjungan ke Reggae Bar, hingga yang punya interest pada traveling.


Ramadhan disini tidak terlalu terlihat susananya, persis seperti hari biasa. Namun hari itu kami berjanji untuk mengunjungi Chow Kit. Indonesian Town di Kuala Lumpur, sore menjelang berbuka, suasana lorong di sisi sisi jalan Chow Kit dipenuhi pasar makanan khas Indonesia. Aroma bubur dilapisi daun pisang, aroma gorengan khas juga rempah-rempah campuran masakan menyebar semerbak.
Kami berdua sampai di Stasiun Monorail Chow Kit, turun ke jalan, Alisha tak hentinya tersenyum, saya ingat hari itu kami membeli celana jins bekas seharga RM10 di Chow Kit, didepan kedai makan pecel ayam, pemiliknya orang jawa. Saya juga membeli satu celana bekas. Lalu lanjut berjalan memilah milih makanan khas Indonesia, dihari itu adalah hari ke lima kami jalan berdua, sebabnya dia mengatakan sudah lima kali kita berjumpa.
Sehabis berbuka, kami berniat kembali ke guesthouse, tapi hari ini Alisha sudah pindah ke guesthouse di Jalan Sultan, akan susah berhubungan karena ia hanya punya akun AOL, sedangkan saya tidak familiar dengan itu dan sudah terlalu banyak social media maupun free mail yang saya punya. Saya menyarankan ia membuat facebook, karena dizaman ini ternyata Alisha tidak punya akun facebook.


Tengah malam larut, saya belum bisa tidur, saya turun kedepan guesthouse mencari angin, ternyata disana sudah duduk Alisha, membawa sehelai celana jins. Ya, celana bekas yang tadi saya beli terbawa. Pergantian hari menjadi berarti saat Alisha tiba-tiba bercerita dengan bijaknya mengenai pilihan pria untuknya. Saya merasa tidak nyaman, ia dengan santai jujur dengan perasaannya yang menyukai pria asia, ya seperti saya katanya.


Saya begitu nervous, menjadi tak nyaman. Sehabis dia bicara, ia diam tak tak menoleh, lama sekali. Saya tak tahu harus membuka pembicaraan seperti apa. Tak ada orang disana, hanya ada cctv yang mengawasi. Untuk berpuisi dan apa, sulit bagi saya berbahasa Inggris, kalau untuk sehari-hari bahasa pergaulan mungkin mudah.


Akhirnya, Alisha menoleh dan tersenyum, aku balas tersenyum sambil megangguk angguk tak jelas. Kami keluar malam itu menuju sebuah kedai mamak yang masih buka, memesan teh tarik dan telur dadar makan berdua.


Bukan, bukan hendak menceritakan panjang lebar bagaimana kelanjutan ceritanya, hanya ingin merenungi bahwasanya sebuah kata "Hi" yang ramah, bisa membawa banyak kemungkinan. Tak suka bicara bukan berarti harus diam tanpa kata. "Hi" sungguh simple. Cobalah.

Sebuah Prolog

Seorang anak laki-laki, sebut saja Musa, lahir pada tanggal 11 September 1990, di sebilah papan dinding rumah tertulis arang dengan tulisan tangan. Anak lelaki, setelah seorang Ibu melahirkan dua anak perempuan, artinya lelaki nomor tiga (3). Bahagia tentu, Ia tumbuh menjadi seorang anak yang hyperaktif. Cukup bahkan sangat nakal dibanding teman-temannya yang sebaya. Hidup melarat di lingkungan persawahan, karena kehidupan yang cukup sulit sebagai keluarga muda, dua kakak perempuan Musa terpaksa dibesarkan oleh kakak kandung Ibu. Sekali-kali mereka datang saat libur sekolah. Pulang kampung namanya.

Saat menjadi anak usia tiga tahunan, Musa menjelma bagai ulat cabe yang tak bisa diam. Ada ada saja sambaran tangannya, ada saja yang mau dipanjat, dengan corak kehidupan dikampung yang sangat terbatas penghasilannya, orang tua Musa hanya punya alat dapur yang serba plastik, sementara piring kaca adalah barang mewah dikala itu.


Untuk lebih enaknya, nama Musa akan penulis jadikan "Aku" saja. Masa kecil adalah prolog dari kehidupan saat ini. Saat aku menulis ini, aku teringat akan Ibu, Ia lah yang menceritakan sepenggal kisah masa kecilku. Aku dikata sangat nakal dan 'lasak'. Kian kemari aku mencari padanan kata 'lasak' dalam bahasa Indonesia, tetap saja kalimatnya tidak penuh menerjemahkan cerita. Terpaksa aku memakai kata itu saja.

Kenakalan pertama yang membuat Ibu menangis menceritakannya adalah, saat aku berumur kira-kira tiga tahunan, aku dibawa jajan pagi hari ketika ibu hendak berhutang gula dan kopi dikedai, saat itu memang sedang ada saudara Ibu, atau Pamanku, yang datang ke kampung untuk mengunjungi Ibu, untuk bertukar kabar dan memastikan saudaranya baik-baik saja. Karena kenapa, zaman dikala itu belumlah secanggih saat ini. Aku ikut ke kedai, tetapi untuk membeli gula dan kopi saja Ibu berencana ingin berhutang dulu. Hampir dua kilometer berjalan dari areal sawah menuju perkampungan tempat kedai berada -Batu Taba namanya-, sekali seminggu ayah akan bangun pagi membeli goreng pisang dan ketan ditempat ini. Aku ingat, Ibu menggendongku, entah mengapa memori ini satu yang kuingat sampai sekarang, saat Ibu menggendongku, aku mendapat arah memandang kebelakang, memandang jalanan yang sudah kami tempuh, sedangkan Ibu hanya diam fokus ke jalanan.


Aku tak berharap beli ini dan itu apalagi menagis minta balon dan lain lain, tapi aku cuma seperti cacing kepanasan saja, bertingkah liar, jangkau sana sini, berlarian sana sini susah dikendalikan. Hingga akhirnya aku menjangkau keranjang telur itik yang berisi penuh, baru saja pemilik kedai selesai me-lap telur telur itu karena baru dipanen dari kandang. Ibu menangis, karena ia mulai mengira ngira berapa harga ganti rugi untuk telur itik, memang tidak pecah semuanya, karena baginya uang adalah hal yang paling susah didunia ini. Ibu menangis berjanji kepada tukang kedai akan menggantinya. Ibu jadi tidak enak berhutang gula, lalu berniat pulang saja pulang tanpa membawa apa-apa, syukurlah penjaga kedai punya rasa hiba, sudah jauh jauh berjalan, ibu pulang juga dengan seperempat kilo gula putih dan sebungkus kopi hitam tubruk seberat satu ons saja. Setelah mendapat uang dari agen pencari kunyit dan lengkoas, ayah akan membayarnya ke kampung. Pergi membayar utang berarti sebuah perjalanan bagi kami.
 

Aku hanya anak kecil dikala itu, aku tak akan tahu betapa sedihnya hati seorang Ibu berkat tingkah anaknya. Telingaku merah disentil, kiri kanan hampir setiap hari, bahkan tiga kali sehari, tapi kata Ibu aku tak juga kunjung jera. Tidak hanya dirumah, saat kenduri pun aku dibawa, kenapa dibawa? karena tidak ada temanku untuk ditinggal, tak ada kakak, ayahpun pergi bekerja. Kemana-mana selalu di ketiak ibu, masuk sawahpun aku akan ikut ibu. Kenapa tidak dilarang saja? hmm, kalau aku tahu kata larangan, pasti tidak akan susah mengendalikan.
 

Itulah sosok Ibu bagiku, kadang Ibu harus menidurkan aku dulu disebuah buayan bersangkut di rerantingan pohon alpukat di pematang sawah sambil ibu menyanyi entah lagu apa, liriknya cuma 'tidurlah nak, anakku sayang, tidurlah nakk' tetapi dinyanyikan mendayu-dayu sambil menarik-narik ujung kain buayan. Itu saja sampai hilang karena aku sudah tumbang. Ini dimaksudkan karena Ibu tak tega membiarkanku tetap masuk sawah berpanas-panasan. Setelah aku tidur barulah ia akan menyiangi padi disawah. Sambil sesekali kembali ke pohon alpukat memastikan aku masih tidur.

Pernah katanya saat terbangun aku langsung turun, dan bermain dengan kalajengking sebesar empat jari tangan orang dewasa ditumpukan kayu lapuk. Aku menggenggam Kalajengking seperti menggenggam anak ayam, tapi ajaibnya, Kala berbadan hitam mengkilat itu tak menyengatku sama sekali. Ibu yang terkejut shock melibaskan kain tengkuluknya ke tanganku hingga kalajengking itu terpelanting. Aku segera menagis dan dipeluk, aku menagis bukan karena dijepit atau disengat kalajengking, tapi terkejut melihat ibu yang tiba-tiba brutal melibas tanganku, aku merasa ibu tak pernah bersikap begitu. Saat menceritakan ini aku segera memeluk ibu, terasa sekali tubuhnya mulai kurus.


Bagiku waktu itu, tidur siang adalah momok yang paling menakutkan didunia ini. Kata ibu membujukku untuk tidur siang lebih susah daripada membujuk harimau supaya tidak mengaum. Barulah saat ini aku sadar, apa yang kutakutkan diwaktu kecil adalah yang paling aku inginkan dimasa dewasa, ingin rasanya bisa tidur siang. Tapi apa? banyak tanggung jawab yang tak bisa dengan mudah dibawa tidur.


Jadilah hari itu, aku senang karena ramai, Kenduri di kampung dengan suasana Ibu-ibu memasak di halaman rumah yang disulap jadi dapur dadakan. setelah tamu-tamu makan diruang depan, piring kotor di oper ke dapur untuk segera dicuci oleh ibu-ibu, karena tempat cuci piring letaknya agak dibelakang, tak tahu angin apa, seorang ibu-ibu melihatku mengencingi tumpukan piring. Lalu suasana heboh, bagaimana tidak, saat anak-anak seumuran tiga tahunan hanya bermain di arena lapangan, aku merasa arena itu kurang memuaskan. Butuh tempat yang lebih dari itu. Seorang Ibu-ibu sampai marah dan berkata kalau saat lahir aku tak di azankan.


Kata ibu waktu itu, ada yang kurang suka, aku didukunkan orang, sehingga aku sakit, aku tak semangat, tak lagi lincah, tak mungkin aku berubah seperti itu, biasanya bagai cacing kepanasan, sekarang seperti cacing dibekukan. Lalu diobatilah kepada dukun lain, waktu itu menurut cerita, ayah membawa dua ekor ikan mas, yang satu berwarna merah dan satu hitam, dipanggang bumbu keduanya dengan kemenyan, diletakkan kehadapanku, jika yang merah adalah ikan yang pertama kali ku sambar, maka aku harus dibawa ke dukunnya, jika yang hitam maka namaku harus diganti, sehingga tak boleh ada lagi nama panggilanku dipanggil. Maka, yang kusambar pertama kali kata Ibu adalah yang hitam. Lalu semenjak itu namaku berganti. Sungguh ajaib, aku kembali menjadi lincah bertingkah tak terkendali. Tapi ibu lebih awas, dia tetap membiarkan namun tidak mengganggu orang lain.
 

Kenakalanku tak sampai disana, Ibu susah untuk bekerja karena aku selalu saja ikut kesawah, membahayakan dan sangat tidak baik untuk anak-anak berpanasan. Ibu terpaksa memohon kepada nenek untuk menitipkanku kepadanya sampai ia panen hasil sawahnya. Nenek mengiyakan, lalu aku berangkat kerumah nenek. Di tempat nenek, rumahnya ber-anjung, dibawahnya adalah kandang ayam, didepannya ada sebuah kolam ikan, sama saja sebenarnya. Baru dua hari aku disana, bersedih karena tak ingin pisah sama Ibu, aku sudah bertingkah, hari itu aku menyelip masuk ke kandang ayam dari papan lantai rumah. Papan ini memang disengaja bisa dibuka tutup supaya mudah masuk mengambil telur ayam. tetapi letaknya dibawah tikar pandan, apabila tidak disingkap dulu tikarnya, maka ia akan menutupi papan kandang. Aku melompat kedalam, karena masih kecil aku tak bisa naik, aku takut minta tolong juga takut dimarahi nenek.

Aku diam saja didalam kandang ayam, hingga nenek kehilangan, aku menikmati bermain dalam kandang, karena banyak barang-barang mainan terjatuh. Sorenya ketika hendak mulai mencari, atuk mencurigai sesuatu, ayam-ayam tetap berkerumun didepan pintu kadang disamping rumah. Hingga atuk membuka lebar pintu lantai dan menggendongku naik dengan baju yang penuh lumuran tahi ayam. Atuk tidak marah.


Hari berikutnya atuk sudah pergi memecah batu, nenek juga sibuk memasak didapur, meniup api tungku supaya menyala, keluar masuk memetik pucuk dedaunan untuk sayur. Kali ini nenek yang bercerita, saat pulang kampung ketika libur kuliah. Aku bermain dihalaman, kolam ikan dipagar dengan baik, tetapi ada bagian tepian untuk mencuci piring, entah apa yang kulakukan seorang bapak berteriak-teriak memanggil nenek karena aku sudah terngangap hampir tenggelam. Nenek hampir menyerah, minggu berikutnya adalah minggu yang tak bisa ditawar lagi, aku diam-diam mengekor atuk pergi memecah batu, dengan seekor anjing yang lucu aku bermain dengannya. Batu yang baru dipecah adalah batu runcing batu alam untuk pondasi rumah yang akan dijual. Aku main kejar-kejaran dengan anjing hitam yang lucu itu, hingga ia lari ke tumpukan batu, aku ikut mengejar dan memanjat, lalu malang sebuah batu jatuh menimpa kaki kiriku, tepat ditengah punggung kaki. Robek dan aku menagis sejadi-jadinya, atuk terperanjat lalu mengejar, kakiku dibalut dengan alas kasur yang digunting lalu dilarikan kerumah sakit oleh atuk dengan berlari-lari menyusuri pematang. Inilah bekas luka yang kubawa hingga saat ini.


Atuk dan Nenek menyerah, saat sudah dijahit lukaku, aku dikembalikan pada ibu, sampai bertemu Ibu, Ibu pingsan melihatku. Tak lagi ibu mengirimku pada nenek.
 

Yang cukup memalukan waktu jatuh dari pohon jambu biji, buahnya masak diujung dahan yang meliuk kearah sawah tetangga, aku memanjatnya sampai dapat, malang tak dapat ditolak, peganganku yang sebesar lidi ambruk tak dapat menahanku, aku jatuh masuk sawah berlumuran lumpur, pemilik sawah bukannya menolong malah memaki-maki, karena padinya rebah. Untung saja masuk kesawah berlumpur, kalau jatuh ke batu, modar aku.

Aku beranjak besar, berumur hampir lima tahun, aku tak punya teman untuk ditinggal saat ibu dan ayah harus bekerja disawah. Terpaksa aku dimasukkan sekolah, sekolah kembar, disatu kompleks ada dua sekolah dasar negeri. Ibu bangun pagi mengantarku ke sekolah SD, memang TK tak ada di kampung, ibu merasa agaknya bangga sekali anaknya sudah mau sekolah. Sampai di sekolah aku duduk ke meja pendaftaran, ibu tak bisa menulis, atau merasa ragu untuk menulis formulir, lalu dibantu oleh seorang ibu guru, setelah menyebutkan tanggal lahir 11 September 1990. Bu guru menghentikan menulisnya. Lalu meminta aku dan Ibuku pulang dan kembali tahun depan. Ibu tetap memaksa, hingga bu Guru berkata kasar 


"asal ibu tau, kami disini bukan pengasuh anak, sekarang silakan ibu pulang". Teriak bu Guru lantang.


Kami kembali pulang, Ibu menangis lagi sepanjang jalan, sampai disawah, Ibu bercerita pada ayah. Ayah bersikeras, jika aku tidak kesekolah, mereka takkan bisa bekerja penuh merawat tanaman. Sekali lagi, aku diseret lagi ke perkampungan, aku sudah seperti gerobak saja ditarik kian kemari, tadi ibu, kali ini bersama ayah, kami mendaftar lagi di sekolah seberang, ayah cukup licik, membuatku langsung diterima untuk sekolah. Cheat nya adalah tahun lahirku dinaikkan setahun. Tak ada yang akan memverifikasi, karena tak satupun kami yang punya akte kelahiran.


Saat aku sudah bisa diletak disekolah, ibu mulai berjualan, saat masa-masa ibu berjualan, itu adalah masa kaya kami. Bisa membeli sate, saat ke pasar. Bisa membeli biskuit.


Aku mulai bersekolah, kata Ibu saat sekolah tingkah laku ku jauh berubah, sedikit lebih mudah diatur, tidak lagi 'lasak', dan mulai belajar mandiri. Tanpa diantar pun pagi-pagi aku berangkat kesekolah sendiri, terpaksa juga ibu mengejarku dan mengiring dari belakang sambil sembunyi-sembunyi, kata ibu begitu. Saat terima rapor pun aku dapat ranking lima. empat orang diatas ku adalah anak guru. Pernah sekali aku Juara tiga. Saat guru kelas kami adalah guru yang baru ditempatkan dikampung kami. Ibu senang sekali, waktu itu disekolah kami yang juara akan mendapatkan hadiah buku yang dibungkus seperti kado. Bukunya di stempel sekolah dihalaman depan.


Aku semakin bersemangat sekolah, bisa dapat uang jajan, bisa belanja macam-macam disekolah. Menggambar, bernyanyi, teman-teman, kejar-kejaran. Pelajaran berhitung paling aku sukai, dirumah semua dihitung, papan dinding rumah dihitung, tiang rumah dihitung. Pokoknya kecenderungan kesukaanku pada Matematika.
 

Menginjak kelas empat, aku sudah semakin bisa sendiri, sawah kami pindah, karena ayah dan ibu membeli lahan baru, aku kurang suka karena berangkat kesekolah harus melepas sepatu melewati sawah, dan akan di pasang lagi setelah melintasi sungai kecil, saat hari hujan, air sungai akan besar dan kotor membuat kami susah menyeberang. Terpaksa melintas dari jembatan pohon kelapa dengan pegangan bambu kering. Kurang menyenangkan, tapi dari tempat ini ada empat orang teman yang berangkat bersama.
 

Pulang sekolah kadang tidak langsung ke sawah, main kelereng dulu, atau mencari buah damar dulu, atau main dulu dikampung, kalau aku main dikampung, aku akan ditinggal sendiri sama teman-teman. Pulangnya ketakutan, saat sudah meninggalkan perkampungan di daerah sepi, aku akan start berlari terpontang panting seperti kijang diburu. Tak berhenti, tak melihat kiri kanan, apalagi melihat kebelakang sampai terlihat rumah sawah dari kejauhan. Non-stop, rasa takut membuat kaki kencang berlari. Inilah resikonya jika main dulu pulang sekolah. Sering dimarahi lagi, ya, bagaimana lagi, godaan anak-anak kampung, bermain hide and seek, bahasa gaulnya petak umpet, main galah, patok lele, hingga lupis dan gambar.

Ini semua memang kurasakan, memang kami tak terus hidup melarat, pernah juga kaya, tapi hidup kaya bagiku kurang menarik, rasa pengorbanan kurang terasa. Hidup sederhana bagiku menarik dan rasanya tidak memalukan. Masa kecil adalah pengantar masa dewasaku. Ibu menjelma sebagai sosok yang membuatku takhluk, tak kuasa membayangkan betapa susahnya ia membesarkanku. Kadang masih terbawa dalam pikiran, bahwa kecil sekali area bermainku, hingga kadang selalu timbul keinginan untuk merasakan tempat bermain yang luas.


Ibu selesai bercerita, saat aku tengah makan enak, kebanyakan mengambil nasi hingga bersisa. Aku diam-diam ke dapur, mau membuang nasi sisa, ibu mungkin membaca gerak-gerikku. Saat hendak melakukannya, eh, ibu datang dibelakang dengan tangkai sapu. Lalu aku akan lari sampai melompat-lompat sofa, ibu memintas-mintas sambil mengancamkan tangkai sapu. Tapi ujungnya hanya dipeluk dan dicium, huft, aku sudah besar dan lulus kuliah, kadang malu kalau dilihat orang, sekali-kali pulang kampung. Inilah yang kuhadapi jika serakah mengambil nasi. I miss you mom.


Itulah cerita Musa, katanya, namun kemana nama Ebrahim menghilang. Entahlah.