Hai
16.59
Kita tidak tahu sebuah kata “hai” akan mengantarkan
pembicaraan atau pertemuan entah sampai sejauh mana. Ada yang memulai hai,
akhirnya
saling berjatuh cinta, menikah dan mempunyai
sampai sebelas orang anak, beranak pinak lagi kemudian, hidup bahagia selamanya seperti dalam dongeng, ada pula
yang saling hai akhirnya hanya untuk bermusuhan, seperti anjing dan
kucing, saling hancur menghancurkan, tak
jarang pula hanya sapaan sedetik saja dan hilang.
Aku teringat Elly, tak bisa kutebak persis dia berasal dari mana, dari penampakan wajah sepertinya
dia
dari India sana, kulit sawo matang, tinggi semampai. Tapi aku tak yakin karena para wanita
India jarang yang melakukan perjalanan lintas dengan gaya budgeted seperti wanita muda ini, kenapa
budgeted? Lihatlah style-nya yang serba apa adanya, dengan tas punggung merah hitam carrier lima puluh lima liter, badannya tetap terlihat tegap,
ramping, langsing dengan santai meletakkan tasnya dibagasi kabin dibagian
atas kereta, kemudian duduk.
Komposisi budgeted yang dimaksud semakin lengkap lagi dengan pemandangan disaat ia membetulkan tali sandal jepitnya yang lepas, sandal yang kalau
dikampung saya dipakai untuk sumbangan orang di masjid untuk orang berwudhu. Tak ada merek-merek kewanitaan sekelas Prada
yang terpasang disekujur tubuhnya. Tampil begitu apa adanya. Sehingga segala
sesuatu yang ia kenakan begitu pas.
Dengan
sebuah smartphone ia putar musiknya, hal ini biasa untuk pejalan
yang melancong sendiri, music dan segala peralatannya. Sambil membaca sebuah buku yang aku lupa
entah apa judulnya karena aku focus terpesona pada style
backpackernya yang sungguh menggambarkan
perjalanan yang menyenangkan, penuh petualangan, adventurous
sekali. Ia duduk di kursi dikiri lorong tepat
disebelah tempat dudukku. Yang ia kenakan hanya celana longgar panjang bercorak
batik Indonesia. Terlintas sedikit rasa bangga pada negeri
tercinta. Rambut lujurnya sepunggung dibiarkan tergerai sambil
membungkuk membaca bukunya, sesekali ia selipkan rambutnya yang tergerai disela
telinga.
Pesonanya sungguh membuai hati,
dalam dada rasanya serba enak dan nyaman, bisa-bisa mungkin saat itu pot bunga
diberi saus pun enak. Sementara itu aku terbangun dari keterpanaan memandang
sekeliling sudah ramai penumpang, rasanya benar-benar seperti hilang kesadaran,
kursi sudah banyak yang diduduki, hampir penuh malah, kemudian seorang pria
bule celingkuan dengan tiket ditangannya masuk dari pintu depan menuju lorong,
jaraknya setengah gerbong, memandang nomor kursi satu persatu kiri dan kanan
yang dilekatkan di besi penahan bagasi kabin, rupanya ia duduk disebelahku
dekat jendela. Dengan sopan ia permisi dan meletakkan tasnya di kabin. Aku
berdiri ke lorong mempersilakannya masuk, dan kembali duduk setelah ia duduk.
Didepan
berjejer pria berbangkai besar, kalau berkelahi dengan orang asia mungkin
sekali tepuk dua rahang goyah pasaknya, dari gaya bahasanya aku tahu mereka
dari Russia. Seperti halnya bule-bule
atau orang Malaysia memanggil bule dengan sebutan Mat Saleh, mereka bercerita ekspresif sekali, mimik muka
dan hand gestures saat bebicara
menandakan mereka sangat antusias. Ada empat orang, dua berbadan lebih besar, seperti
tukang pukul yang disediakan di restoran kalau ada pengunjung jika ada yang
sok-sok kaya mentraktir pacar lalu uangnya kurang, maka tinggal angkat kiri
tonjok kanan jatuh lebam lah. Mereka
hanya memakai tank top dan celana
pendek topinya dipasang miring persis
seperti Eminem dalam cover albumnya. Dua lagi
terlihat masih muda, dengan bercak diwajah yang belum hilang.
Daripada diam kusapa pria
disebelahku, namanya Nick dari negeri Om Hitler, kacamata hitamnya diletak
dikepala persis seperti bando, mungkin dia suka spot pantai untuk dikunjungi,
berjemur di teriknya matahari, ternyata memang benar, hasilnya kulitnya
bukannya hitam malah memerah seperti kulit disabet bilah rotan saat belajar mengaji.
Sekitar sepuluh menit kami membahas perjalanan dari dan hendak kemana serta
selanjutnya akan kemana. Setelah itu ia tertidur pulas nampaknya, sehingga aku
hanya bisa memandang kesibukan para penumpang. Ada yang duduk berpasangan,
suami istri hingga kakek nenek.
Pukul
empat petang kereta mulai melaju dengan rute dari Hat Yai menuju Kuala Lumpur, arah
sinar matahari berada di sisi kiri, jadi aku tak perlu menutup tirai yang di
kanan untuk menambah keindahan perjalanan. Bunyi lokomotif diiringi gesekan rel dengan roda baja pada tarikan pertama menambah haru deru perjalanan, menyeruak menggebu-gebu, bagi
seorang petualang bebunyian seperti ini akan meng-upgrade birahi semangat
mereka dengan rasa bahagia di dada yang tiada tara hebatnya, begitulah yang
kurasakan, sejam lagi kami akan tiba
di perbatasan darat Malaysia dengan Thailand, kantor Imigrasinya bernama Padang
Besar. Hanya sekitar tiga gerbong yang berangkat dari Hat Yai menuju
Padang Besar, semuanya terisi
penumpang.
Dalam
perjalanan, kami bertemu pandang disebuah kesempatan, saat
Elly melongok kiri kanan dan melihat keluar jendela dari sisi kanan dan kiri
juga berbalik menjulurkan kepala melihat lorong depan dan belakang, aku sok-sok
tidak memperhatikan, padahal aku menunggu tiada henti untuk kesempatan bisa
bertegur sapa dengan Elly, menjelang
tiba di perbatasan untuk pemeriksaan imigrasi, kereta melambat dan ia kembali
memandang kearahku seperti menatap mukaku dengan nanar, aku hanya
menampik selayang pandang tapi ternyata ia hanya melihat keluar jendela kereta. Saat aku membalas pandangan spontan aku
menyapa dengan “hai”. Ia membalas ramah dengan senyum yang anggun,
senyum yang terukur dan terstandar, tidak lebar dan tidak pula terkesan
dibut-buat. Sejenak ia segera memutar
pandangannya menuju buku yang sedang dibacanya.
Aku
merasa tenang, bahwa masih ada orang yang mampu memberi senyum, dan itu
menyenangkan, apalagi disenyumi dari
wanita seperti Elly. Aku menunggu nunggu bahkan mencari-cari cara
supaya bisa ngobrol dengannya, namun ia focus pada bukunya. Pada kesempatan lainnya ketika kereta melambat ia
bertanya apakah sudah tiba di perbatasan, ini tentu kelanjutan dari
sapaan awal “hai” tadi, aku sebenarnya tidak
yakin, tapi yang kurasa ini sudah hampir satu jam, artinya memang sudah
seharusnya kereta tiba di Padang Besar. Aku menjawab mungkin sudah tiba, aku
bertanya dia mau kemana, asalnya dan dari mana saja.
Padahal sudah bisa kutebak dari dialect bahasanya pasti dia dari Malaysia. Lalu bercerita pun dimulai.
Tebakanku tak melesat, Elly ternyata seorang mahasiswa dari kampus di
negeri Melaka, Malaysia yang sedang menghabiskan liburan semesternya untuk backpacking menuju beberapa negara
tetangga. Ia berangkat bersama empat temannya, tetapi sudah berpisah mengambil
jalur masing-masing saat di Hat Yai. Tiga temannya memutuskan untuk menuju
Krabi, dan menelusuri semenanjung hingga Phuket, Bangkok dan menuju Pattaya Thailand.
Sedangkan ia mengambil jalur Hat Yai langsung menuju Bangkok,
langsung dengan kereta dan akan
meneruskan perjalanan menuju Chiang Mai, hingga Chiang Rai ke arah
Utara Thailand hingga akan berakhir di
Luang Prabang kemudian mengambil
rute yang sama untuk kembali ke Bangkok. Mereka saling berjanji untuk bertemu
kembali di Bangkok, akan tetapi
saat yang dijanjikan temannya masih menikmati keindahan alam di Phuket.
Wanita
ini pemberani, ia melintas masuk menuju Luang Prabang Laos dari Chiang Rai, Thailand. Border yang kabarnya
banyak sekali kasus-kasus penipuan, dan kantor imigrasi yang tidak selalunya
beroperasi dengan normal. Ia telah melewati itu semua seorang diri. Matang
sekali perencanaannya.
Mereka
jadi tidak bisa bertemu tepat waktu, sedangkan ia sudah berada di Bangkok.
Bukan travelers namanya jika tidak bisa dihadapkan dengan rencana yang datang
tiba-tiba, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Siem Reap,
Cambodia. Menumpangi sebuah van seharga seribu baht. Perjalanannya berakhir di
Phnom Penh dengan perjalanan malam dengan bus hingga kembali ke bangkok dengan jalur darat.
---
Kantor
imigrasi Padang Besar, disinilah perbatasan darat antara Malaysia dengan
Thailand. Kereta berhenti, kami menurunkan seluruh barang bawaan, karena
gerbong yang akan berangkat ke Kuala Lumpur akan di tambah. Setelah melewati
pemeriksaan imigrasi kami keluar di platform penantian kereta. Setidaknya kami
menunggu sekitar satu setengah jam untuk kembali naik kereta. Sambil menunggu,
kami berkenalan dan segera bercerita tentang perjalanan yang kami lewati.
Satu setengah jam menunggu
tidak akan terasa dengan bahasan topik traveling, membuatku begitu menikmati,
wawasannya luas, penekanan pendapatnya jarang kepada hal-hal yang mencela,
memandang dengan luas perbedaan yang ia lalui, melihat dan mengalami berbagai hal.
Jelas sekali terlihat dari gaya berbicaranya, kata-kata yang digunakan jelas
dan rapi.
Disekitar
stasiun terhampar baja-baja potongan rel, balok-balok besi berserakan di
platform,
mungkin akan ada perluasan, inilah
stasiun kereta ditengah hutan, disisi yang lainnya ada sebuah toko minuman
alkohol yang dikontrol
peredarannya, kalau kuperhatikan, hanya mat saleh yang sering membelinya, sejak
tadi Beruang Russia itu sudah tiga kali bolak balik membeli minuman.
Di
sekeliling stasiun tempat cekpoin imigrasi hanya hutan
getah yang ditanami, hening mencekam, suara desir angin
adakalanya memecah buah pohon getah jatuh terpelanting terdengar sesekali. Semilir angin membuat riuh
dedaunan menyempurnakan nada-nada alam jauh dari kebisingan kota.
Aku
hanya berkunjung ke Hat Yai tiga hari, itupun hanya untuk renew visa kunjungan ke Malaysia. Seharusnya memang aku bisa renew dengan membayar seratus ringgit,
tapi aku terlalu malas berurusan dengan Imigrasi. Karena free-visit tiga puluh
hari sudah hampir habis. Makanya keluar dari Malaysia menuju Thailand adalah
yang paling simpel dan berkesempatan pula mengunjungi negara lain, setelah
masuk lagi ke Malaysia, aku mendapatkan tiga puluh hari berikutnya free-visit.
Perjalanan
berlanjut membelah semenanjung Malaysia melewati kota-kota bagian utara semenanjung yang kebanyakan kulihat hampir sama
dengan wilayah sebagian Indonesia, area persawahan, perkebunan sawit dan getah menghiasi hijau pemadangan
sekeliling menjelang senja hingga perlahan berubah menjadi hitam gelap.
Kulihat
Elly masih saja memainkan smartphonenya, terasa sekali ia menikmati
perjalanannya, aku jadi tidak enak ingin menyapa lagi, mungkin saja ia sedang
menikmati suasana yang seperti itu tanpa harus berbicara dengan orang lain,
apalagi orang lainnya seperti aku. Mat Saleh sudah tertidur bersandaran dengan
berselimut handuk, salah sendiri kenapa memakai tanktop saja, apakah dia tidak
tahu AC dalam kereta sama dinginnya dengan musim salju di eropa. Atau
mereka terlalu kegirangan karena menikmati summer sepanjang tahun di negeri
tropis seperti di asia tenggara ini.
Mata yang tak ingin terlelap
karena berharganya perjalanan ini, aku
hanya melongok keluar jendela, berharap ada sesuatu apapun lah yang baru
yang akan kulihat, bahkan aku terpikir ingin melihat hantu dalam remang-remang
perjalan dimalam itu. Perjalanan pertama
meniti rel dihiasi lampu-lampu jalanan, rumah-rumah penduduk yang lengang,
entah karena penduduknya yang tidak padat atau memang warga telah masuk kerumah
karena jam malam. Semuanya kuperhatikan hingga mata tak bisa
kupejam. Aku bergitu berhasrat untuk menikmati perjalanan ini sepenuhnya tanpa
ada bagian yang kulewati.
Aku
terbangun, kiranya ada mimpi disela tidur singkat, masih hangat terasa cerita
dalam mimpi karena saat itu aku meninggalkan kelas kuliahku, sampai pas
waktu balik, teman-teman berpikir bahwa aku sudah out. Ah, kucoba tepis, bersegera kuberdiri menuju gerbong
paling belakang untuk membeli segelas Milo panas. Untuk menuju
gerbong belakang saja harus melewati lorong kereta seperti maze kadang
berjingkrak melangkahi kaki penumpang yang tertidur pulas.
Dalam gerbong café, seperti biasa, walau terasa berisik dengan suara kereta,
semua tetap nyaman berlama-lama duduk bercakap-cakap. Kereta berjalan melambat pertanda tidak jauh akan memasuki
stasiun, benar saja lalu lalang penumpang yang baru masuk, mahasiswa yang akan
menuju Kuala Lumpur. Seketika sesak sudah, kelakaran anak-anak muda
semenanjung hiruk pikuk berpadu dengan suara rel, beginilah mereka hendak ke
pusat kota, nyaman sekali. Beberapa jenak kembali hening.
Sekembalinya kulihat Elly masih
tertidur pulas, dingin meradang hingga ke tulang. Akupun tak tau pasti sampai
jam berapa akan tiba di stasiun KL sentral, aku ingin sekali membuka percakapan
dengan Elly, aku khawatir nanti tidak ada waktu lagi untuk bertanya banyak
tentang pengalaman travelingnya. Aku mengerti satu hal, orang-orang seperti
mereka pasti senang jika ditanya sudah kemana aja mereka menjelajah. Karena pengalaman
itu sendiri adalah kebanggaannya, akupun juga merasa begitu, tapi bukan untuk
di pamer, tentunya.
Bersambung…