Bali-Hai.!



Banyak orang sudah mengenal Bali jauh sebelum aku bisa menyambanginya. Pulau nan kabarnya eksotis ini membuat banyak pengalaman cerita romantic bagi mereka yang sudah berkunjung untuk erlibur, hanimun atau wisata keluarga.

Memang benar, Bali kebanyakan punya pantai berpasir putih, seakan-akan tempat itu telah terjadi tumpahan kapal pengangkut tepung yang melintas, halus dan putih. Tak itu saja, Pantai Padang-Padang Uluwatu, konturnya dibatasi tebing berbatu yang semakin senja semakin memikat, dihadapan tatapan tebing ini dibuat café terrace meyisip melalui jejak-jejak cekungan tebingnya, sehingga suguhan view penuh dinikmati bersama hidangan makan dan minum dalam percikan matahari senja, alamak, nikmat dunia terasa sudah dicukupkan sampai disitu.

Oke, ini tentu saja masih segaris pantai di Pulau Dewata, hanya untuk preambule saja. Sebenarnya aku ingin menceritakan Bali-ku, Bali dari apa yang kudapati. Hinggap di Pulau Dewata ini adalah rangkaian dari trip yang sudah kumulai sejak sebulan yang lalu, dimulai dengan menaiki Gunung Talang di Kab. Solok, hingga dirangkaian selanjutnya, aku sempat datang ke Jakarta, berjalan di tempat keramaian padat menikmati jalanannya, ada lagi sekilas melintas di Singapore, lagi-lagi bertemu melepas rindu dengan kawan-kawan di Kuala Lumpur, kembali lagi nomad ke Jakarta, dan inilah sambungannya. Bali.

Aku membuat riset kecil-kecilan, tentang tinggal di Bali dengan Indekos. Banyak situs menyediakan informasi indekos, tinggal pejam mata dan klik satu, pun sudah bisa didapat. Tapi aku mempertimbangkan untuk yang paling murah, supaya bisa tinggal lebih lama di Bali. Menjadi asing sendiri adalah pengalaman, berjalan sendiri dikerumunan kota tanpa ada yang mengenali adalah kesenangan sendiri.

Sekarang aku punya Indekos di Bali, punya tetangga baru, dan tentunya teman-teman baru hanya dengan sekali “hai”. Tidak mewah, hanya perlu tempat untuk tidur, kira kira hanya dua setengah kali tiga meter luasnya. Disana pula aku bertemu seorang pemuda jawa Ismail namanya, didepan gang dekat pintu kamarnya tersedia lengkap peralatan memasak. Usut punya usut saling berbagi sepenggal cerita, dia hobi memasak.

Untuk tujuan beramah tamah, kami sepakat besok akan memasak untuk makan besar. Ah, sial, aku lupa nama pasar tempat kami membeli ikan dan udang yang murah langsung dari nelayan. Siang itu kami selesai membeli bahan, lalu aku tak sadarkan diri terlelap dikamar, berhari-hari kurang tidur, berminggu-minggu kurang makan, akhirnya aku tertidur dan mendapati setelah bangun hidangan ikan dan udang saus asam pedas manis. Aku memang tak mau memberi saran. Aku memahami satu hal kalau makanan bisa jadi alat ukur seberapa jauh kau dari rumah.

Ikan-ikan kami santap bersama dengan penghuni lain yang lewat pun, mereka ambil bagian cepat-cepat kekamar mengambil nasi putih, lalu memburu lauk disekitar kami. Takut kehabisan Mail, begitu ia dipanggil, menarik seekor kedalam piringnya, makan cepat-cepat biar terkesan cepat habis sampai gusinya tertusuk duri ikan. Ia meraung-raung, anto dan yang lain menimpali tertawa dan bercakap kalap dalam bahasa Jawa. Aku benar-benar merasa asing. Bahkan lebih asing saat berada di kerumunan deretan Bar di Changkat, Bukit Bintang.

Sehari dua hari hingga tiga hari aku sudah dapat menikmati dan merasakan kenyamanan lingkungan baru. Sebenarnya aku susah dengan fasih berbahasa Indonesia untuk tujuan cerita bercerita. Jika untuk berdiskusi atau tujuan akademik lainnya tentu bisa. Untuk tujuan bercanda tawa, aku hanya bisa berbahasa Minangkabau. Jika dipaksakan maka nanti akan bercampur dengan melayu. Namun, tidak tahu dari mana asalnya, aku juga sedikit berbahasa Inggris, yang walaupun diperiksa kaidah tatabahasanya, kebanyakan akan salah. Tapi selama saling mengerti, kita lepaskan saja kijang ke rimba.

Aku diajak bekerja di Bar hari Jumat, Sabtu dan Minggu. Diberi upah per hari, bekerja dari jam delapan malam, hingga pukul dua atau tiga dini hari. Bekerja, iya, aku tidak sedang bermain di bar, tapi bekerja, bekerja dengan dentuman musik, bekerja sambil menggoyang-goyangkan kaki, berteriak dan bersorak. Tak sedetikpun terasa sedang bekerja.

Bali tak mengubah pribadiku sedikitpun, tak ada setetes alkoholpun pernah kuloloskan ketenggorokan. Orang bisa menganggap night life sebagai titik mula rusaknya keselarasan hidup sebagai seorang yang beragama. Tapi ingatlah masih ada sangkalan bahwasanya tak semua yang berada disana akan habis dibawa arus kehidupan malam. Aku kuat memegang apa yang kuyakini. Aku kuat mencari jalan atas apa yang kuinginkan. Tapi aku tak pintar untuk menerobos hal-hal yang umum diinginkan banyak orang. Ah, bali kembali memberi celah untukku tetap berpikir terpaku dalam masalah pengangguran.

Agaknya aku melupakan sebuah regulasi mengenai izin tinggal di Bali, bahkan satu Indonesia sekalipun, aku tetap membutuhkan izin, namanya Kipem, kalau tidak salah sekeliling menyebutnya begitu, Kartu Ijin Tinggal Penduduk Musiman (Kipem). Pada awal kedatangan tidak banyak yang mengganggap serius permasalahan ini, sehingga akupun juga menganggap hanya sebuah registrasi penduduk.

Namun naas, sampai suatu hari, berita heboh datang seperti angin dan ombak ditengah laut. Salah seorang penghuni kos memberitakan kalau minggu ini akan ada pemeriksaan warga oleh Satpol PP dari Banjar yang akan memastikan semua warga yang bertempat tinggal sewaan di Bali harus punya Kipem. Kecuali mereka yang tinggal di Bali dengan akomodasi sektor pariwisata. Begitu ringkasnya.

Hari Jumat kala itu, senja sudah datang, jikalau pun harus mengurus untuk mendapatkan Kipem, mungkin tidak bisa lagi karena menghadapi weekend kantor pasti tutup. Razia kipem selalunya bergilir dari tempat ke tempat pada hari minggu subuh saat penghuni sedang pulas tertidur. Maka mereka akan melakukan inspeksi dan menangkap mereka yang tidak punya Kipem. Begitulah kabarnya, serasa horror sekali rasanya bila aku ditangkap di bali karena tidak punya Kipem. Apa kata dunia. Tak sanggup kubayangkan.

Adalah Mail, orang Jawa ini menawariku nanti malam untuk tidur di Spa saja, Spa tempatnya bekerja, bersama dengan Anto yang juga orang jawa, beserta satu rekan yang sama bekerja di Bar, dialah yang mengajakku sehingga bisa bekerja di bar untuk beberapa hari.

Alhasil, setelah tutup malam sekitar pukul tiga, kami memang lelah, music disko masih terngiang ditelinga. Malam itu kami takkan balik ke kos, pukul tiga dini hari kami segera menuju sebuah Spa mewah, Mail memegang sebuah kunci karena ia digaji untuk membersihkan Spa tersebut setelah jam tutup, sehingga besok pagi, Spa bisa langsung bisa open service.

Sampai didepan teras alangkah susahnya membangunkan si Mail, sepi pasti. Ah, aku hamparkan tubuh di teras tak sadar kerah bajuku ditarik, disuruh tidur kedalam, pusing sekali, sungguh..!!.

Kami akan tidur di ranjang ranjang yang lebih nyaman, tapi mataku tak bisa dipejam lagi, meski sudah lelah sekalipun. Aku penasaran bagaimana rupanya razia kipem, apakah razia tersebut memang akan ada, atau hanya rasa was-was penghuni kos saja. Aku meminta mail untuk pagi sekitar jam lima lebih tiga puluh untuk dapat melihat situasi razia dari jauh, tapi mereka menolak, semuanya menolak. Mereka memang sudah biasa tapi bagiku ini adalah momen yang penting untuk diketahui sebagai pengalaman.

Kipem itu sendiri adalah kartu yang teregistrasi atas nama pemilik dengan membayar sekitar seratus lima puluh ribu ditambah biaya admin lima belas ribu. Dan akan aktif selama tiga bulan kedepan. Harus terus diperpanjang jika tiga bulan kedepan masih tinggal dibali, begitulah seterusnya. Boleh tidak mengurus kipem asal tinggal di bali dengan menujukkan bukti kepemilikan tanah atau rumah, atau dengan menunjukkan bukti sewa kontrakan minimal lima tahun pembayaran dimuka. Ah, gilaa..!

Itulah sekilas Kipem. Menjelang pukul empat lebih tiga puluh menit, aku belum juga tidur. Masih penasaran sekali bagaimana rupanya razia itu. Aku gelisah ingin keluar sendiri menyaksikan razia KIPEM. Pintu spa dikunci dari dalam, tak mungkin aku keluar membawa kunci, itu sama saja artinya aku mengurung mereka di dalam. Aku terpaksa membangunkan Mail, dengan mata merah seperti zombie, ia mau kuajak keluar, mendekati daerah kost. Pukul enam pagi tentunya kami berangkat mengendarai motor meninggalkan anto sendirian masih tertidur, spa ini pun nanti akan buka pada pukul sepuluh atau sebelas menjelang tengah hari.

Bisik-bisik tetangga ternyata benar, mobil satpol pp akhirnya merapat ke jalan besar, disebelah restoran McD, di jalan By Pass Ngurah Rai, dekat kos kami, mereka ramai langsung menuju TKP, beberapa orang pol PP terlihat langsung menuju pintu kamar.

“Kunci komandan,!!! sepertinya mereka sudah kabur duluan”!! sahut salah seorang satpol PP.

Aku terus memperhatikan, masih dari samping restoran McD, kami berlagak seperti tamu restoran, tapi Cuma sekedar kamuflase saja. Tak lama berselang seorang ibu kos keluar, dari tempat ini kami lihat entah apa yg mereka bicarakan, tentu dalam bahasa jawa entah memang bahasa lokal Bali. Penghuni lain menujukkan kartu kipem dan kembali masuk kamar. Beberapa lama berselang satpol PP bubar mencari lahan lain mungkin. Kami memastikan dulu kondisi sudah aman untuk kembali ke kos.

Sampai di kos, ibu-ibu yang punya kipem sudah bangun, sejenak menjadi hangat pembicaraan mereka, aku masuk ke kamar lalu entah karena terlalu lelah, akhirnya tertidur. Pukul 10 aku terbangun, mengetuk kamar mail, ternyata dia pun tertidur. Jadilah anto ditinggal sendiri dalam spa, apa nasibnya nanti, kunci kami bawa, tak mungkin dia bisa lolos keluar.

Mail segera mengumpat-umpat, sembari cepat meraih kunci motornya ia menyuruhku cepat naik ke motor, aku menyambar helm dan segera naik. Motor dibawa seperti hendak mengejar berfoto dengan artis yang akan naik pesawat. Hari minggu cukup ramai, bus-bus pariwisata, rasanya akan dijepit disela bus, sungguh gila.

Sampai di spa, belum ada petugas spa yang datang. Sukurlah, kami buka pintu dan masuk ke dalam, anto ternyata belum bangun, kami sudah bertaruh nyawa untuknya supaya tidak dibilang maling. Dia bangun dan berkata.

“enak betul tidur disini bro, kalian cepat kali bangunnya”, kira-kira begitu.

Kami hanya termenung.

Dijulang di Pundak Bangkok



Song pan ha roy baht khap. | dua ribu lima ratus baht, Uda.!
Aa, song pan baht dai mai khaa? | wah, tak bisa dua ribu baht saja, Uni?
Nai khap, song pan ha roy Baht. | tak boleh lah Uda, dua ribu lima ratus baht.

Diikuti senyum gadis Thai yang original dengan garis luar hujung kelopak mata yang curam.
 
Sudah tentu tahu dimana saya berada. The tallest hotel building in Southeast Asia, katanya. Terletak di area Bang Rak mereka sebut. Itulah cuplikan tawar menawar dalam bahasa Thai yang kumampu, sekiranya mereka (dan saya) tidak memakai tak bahasa inggris, tapi tenang saja, mereka melek English jauh lebih maju mungkin. Untuk dua kamar di Space Zone, kamar diantara lantai enam puluh dua hingga tujuh puluh empat kiranya. Wah, berat kemana ya tulisan ini? Kiranya berat kepada pengalaman tidur di hotel mewah nan tingginya membuat mata tak bisa tidur jikalah tirai jendela tersingkap.

Untuk turun naik, ada tiga blok lift yang digunakan, masing-masing blok punya setidaknya delapan lift. Untuk jalur cepat menuju lantai tujuh puluh, paling ujung, untuk space zone dan sky zone blok tengah, dan blok pinggir untuk turun naik dari jalan menuju lobi. Jika naik lift aky zone untuk menuju puncak menara, atau revolving view-nya. Harus transit dulu di lantai tujuh puluh delapan, kemudian disambung lift dari lantai tujuh puluh delapan hingga lantai delapan puluh tiga, lalu naik tangga ke revolving viewnya, seperti teras dipuncak tower, yang berputar sendiri, jadi tinggal berdiri menatap keluar jeruji, kau akan disuguhkan view tiga ratus enam puluh derajat kota Bangkok.

From Revolving View 84th Baiyoke Sky Hotel, Pratunam - Bangkok

Awalnya member mau sedapat mungkin pihak hotel me-relocated kami di lantai paling atas yang tersedia untuk tipe kamar yang kami pesan. Tidak tanggung-tanggung, lantai enam puluh tiga dengan view arah ke timur kota Bangkok. Gamang memang menyaksikan ke luar sudah terpusat-pusat helipad di puncak gedung-gedung lain.

Ndeso ko ni mat”, gerutu pak Amir padaku. Padahal ia pasang posisi dengan kursi mendekap ke jendela kaca sambil menopang dagu.

Coba ko tengok sana, gedungnya serpih serpih macam mana pula, seraya ia tunjuk sebuah gedung dengan disain yang unik, seperti kotak Kristal tapi pinggirannya serpih. Dari kejauhan ternampak laksana tunggul kayu yang rebah ditengah batang. Sederhana sekali hidup kami, dengan melihat lansekap sebegitu. Tak terkira berdesir darah di dada. Ingin rasanya kami menelpon emak kami hanya untuk mengatakan kami menginap di hotel paling tinggi di kota Bangkok. Pak amir tak hitung puntung menelepon sodaranya dengan status roaming provider telekomunikasi tanah air.

“Abang long, saye ada kat luar negeri dah ni bang long. Alamak, cantik betol panorama setakat ni abang long. Jom lah ko datang sini”. Kental betul melayu pulau kundur di mulutnya.

Terdengar di speakerphone lawan bicara bercakap, “ah, apa ko buat kat Msia tu?” macam tak ada keje.

“Aik, tak lah kat Msia, jauh ni,” seperti masih ingin bermain tebakan, pak amir masih berkilah berharap abang long nya mampu menerka tanpa ia beritahu. Begitu mungkin lebih bangga.

Tapi naas, belum sempat keberadaan posisi “luar negeri” diulas lebih lanjut, telpon sudah terputus. Alangkah berangnya ia, luar biasa kecewa. Pamer belum selesai.

“Alamak, apa pasal? Tak bagus ni jaringan sini”, amuknya menepis tirai jendela.

“Tu lah Pak, bukan jaringan tak bagus, bapak coba tengok dulu pulsa ade tak?” Aku mulai mengarahkannya untuk tidak menyalahkan siapa-siapa apalagi jaringan.

“Tuhan, habis pulsaku mat, tiga puluh lima ribu dimakannya.” Pekiknya

Mulai hari itu, panggilan masuk dan aktivitas telpon menelepon menjadi momok yang menghantui member-member semuanya. Sekali telpon bordering, semuanya cemas.

“JANGAN DIANGKAATTT, JANGAN DIANGKAT..!!” pak Amir spontan menyanggah, persis seperti ibu-ibu saat nonton film horror “one missed call” memberi tahu kala telpon berdering dan si anak mudanya dengan santai berjalan melenggok menuju gagang telepon. “Jangan kau angkat, modar kau kalau kau angkat juga, kena santap hantunya kau, belum lagi kau menikah kan, tak percaya kau sama aku.!!” Sambil melempar bantal ke muka suaminya.

Aku merasa hal yang belain dalam trip kali ini, solo trip, yang sudah-sudah kujalani, tak ada rasa tanggung jawab untuk ini itu, apa yang ditemui di perjalanan itulah my adventure.

“Mat, ko sambungkan dulu hape ku ini macam punya ko itu, biar bisa pula aku upload foto ke halaman fesbukku”. Pinta pak amir.

“Sini lah aku bantu pak,” sela pak Rudi.

“ah, jangan lah, si mamat saja, dia sering keluar negeri”. Tepisnya.

Apa-apa mesti aku yang dipakai, apalah coba hubungannya sering keluar negeri dengan menyambungkan wifi ke perangkat. Akupun heran, mungkin kaum tua memang kuat hidupnya di zaman orde baru, terkekang sikit, susah untuk bermanuver sendiri. Atau kurang terbuka atau apalah aku tak tau.

Menjelang sore kami hanya stay di kamar hotel, saat keluar mencari makan. Pak amir tak tahan lagi ingin pulang, minta tolong pesawatnya dimajukan, biarlah dia tak ikut supremasi hari raya di Kedubes nanti, tak ada yang bisa ia makan, paha dan dada ayam montok-montok dipinggir jalan tak kunjung membuat selera makannya datang, alasannya disana sini menunya menuliskan “pork”. Dia memohon sungguh, iba aku melihatnya. Ia berjalan mengikutiku, merayu-rayu supaya dia balik ke Batam lebih dulu.

Pening juga aku trip dengan tim ini. Serasa aku jadi ibu, atau single parent untuk mereka, padahal aku paling muda. Muda sekali malah.

Namun jumpa juga obatnya untuk makan malam, ayam goreng pakcik tua. Yang sedemikian rupa menjadi makanan pokok kami di Bangkok.

Menjelang malam, ada lagi ulah bapak-bapak yang terhormat ini, mereka tak bisa tidur karena merasa gamang, terpengaruh pendangan siang tadi. Mereka minta ganti kamar ke zona standar saja. Aku lagi yang disiksa untuk pergi ke lobi. Padahal sudah ku telpon resepsionisnya kalau tidak bisa ganti kamar. Aku turun juga ke lobi di lantai delapan belas, berdua dengan pak Rudi, aku translate lengkap-lengkap ucapan resepsionis yang mengatakan kalau kamar sudah dipakai tidak dapat di ganti lagi kecuali di charge full untuk satu malam.

Kalau boleh sebut nama, hotelnya bernama Baiyoke Sky hotel, ada tiga tower. Baiyoke Suite Hotel, Baiyoke Boutique Hotel, dan Baiyoke Sky Hotel sebagai tower utama yang tertinggi. Kalau ada kesempatan ke Bangkok, cobalah naik walau tak menginap, tapi dikenakan biaya entah tiga ratus baht entah berapa, tapi kalau tamu hotel, bebas naik turun seberapa suka. Sampai encok pun meh.

Ini baru satu part, bagian dimana membuat kesan untukku. Sesi hari raya di Bangkok. Nanti dilanjutkan ya. (smile).