Song
pan ha roy baht khap. | dua ribu lima ratus baht, Uda.!
Aa,
song pan baht dai mai khaa? | wah, tak bisa dua ribu baht saja, Uni?
Nai khap,
song pan ha roy Baht. | tak boleh lah Uda, dua ribu lima ratus
baht.
Diikuti senyum gadis Thai
yang original dengan garis luar hujung kelopak mata yang curam.
Sudah tentu tahu dimana saya
berada. The tallest hotel building in
Southeast Asia, katanya. Terletak di area Bang Rak mereka sebut. Itulah cuplikan tawar
menawar dalam bahasa Thai yang kumampu, sekiranya mereka (dan saya) tidak memakai tak bahasa
inggris, tapi tenang saja, mereka melek English jauh lebih maju mungkin. Untuk dua
kamar di Space Zone, kamar diantara lantai enam puluh dua hingga tujuh puluh
empat kiranya. Wah, berat kemana ya tulisan ini? Kiranya berat kepada
pengalaman tidur di hotel mewah nan tingginya membuat mata tak bisa tidur
jikalah tirai jendela tersingkap.
Untuk turun naik, ada tiga
blok lift yang digunakan,
masing-masing blok punya setidaknya delapan lift.
Untuk jalur cepat menuju lantai tujuh puluh, paling ujung, untuk space zone dan sky zone blok tengah, dan blok pinggir untuk
turun naik dari jalan menuju lobi. Jika naik lift aky zone untuk menuju puncak
menara, atau revolving view-nya. Harus transit dulu di lantai
tujuh puluh delapan, kemudian disambung lift dari lantai tujuh puluh delapan
hingga lantai delapan puluh tiga, lalu naik tangga ke revolving viewnya,
seperti teras dipuncak tower, yang berputar sendiri, jadi tinggal berdiri
menatap keluar jeruji, kau akan disuguhkan view tiga ratus enam puluh derajat
kota Bangkok.
From Revolving View 84th Baiyoke Sky Hotel, Pratunam - Bangkok |
Awalnya member mau sedapat mungkin pihak hotel me-relocated kami di lantai paling atas yang tersedia untuk tipe kamar
yang kami pesan. Tidak tanggung-tanggung, lantai enam puluh tiga dengan view
arah ke timur kota Bangkok. Gamang memang menyaksikan ke luar sudah
terpusat-pusat helipad di puncak gedung-gedung lain.
“Ndeso ko ni mat”, gerutu pak Amir padaku. Padahal ia pasang posisi
dengan kursi mendekap ke jendela kaca sambil menopang dagu.
Coba ko tengok sana,
gedungnya serpih serpih macam mana pula, seraya ia tunjuk sebuah gedung dengan
disain yang unik, seperti kotak Kristal tapi pinggirannya serpih. Dari kejauhan
ternampak laksana tunggul kayu yang rebah ditengah batang. Sederhana sekali
hidup kami, dengan melihat lansekap sebegitu. Tak terkira berdesir darah di
dada. Ingin rasanya kami menelpon emak kami hanya untuk mengatakan kami
menginap di hotel paling tinggi di kota Bangkok. Pak amir tak hitung puntung menelepon
sodaranya dengan status roaming provider
telekomunikasi tanah air.
“Abang
long, saye ada kat luar negeri dah ni bang long. Alamak, cantik betol panorama
setakat ni abang long. Jom lah ko datang sini”. Kental betul
melayu pulau kundur di mulutnya.
Terdengar di speakerphone lawan bicara bercakap, “ah,
apa ko buat kat Msia tu?” macam tak ada keje.
“Aik, tak lah kat Msia, jauh
ni,” seperti masih ingin bermain tebakan, pak amir masih berkilah berharap
abang long nya mampu menerka tanpa ia beritahu. Begitu mungkin lebih bangga.
Tapi naas, belum sempat
keberadaan posisi “luar negeri” diulas lebih lanjut, telpon sudah terputus. Alangkah
berangnya ia, luar biasa kecewa. Pamer belum selesai.
“Alamak, apa pasal? Tak bagus
ni jaringan sini”, amuknya menepis tirai jendela.
“Tu lah Pak, bukan jaringan
tak bagus, bapak coba tengok dulu pulsa ade tak?” Aku mulai mengarahkannya
untuk tidak menyalahkan siapa-siapa apalagi jaringan.
“Tuhan, habis pulsaku mat,
tiga puluh lima ribu dimakannya.” Pekiknya
Mulai hari itu, panggilan
masuk dan aktivitas telpon menelepon menjadi momok yang menghantui member-member semuanya. Sekali telpon bordering,
semuanya cemas.
“JANGAN DIANGKAATTT, JANGAN DIANGKAT..!!”
pak Amir spontan menyanggah, persis seperti ibu-ibu saat nonton film horror “one missed call” memberi tahu kala
telpon berdering dan si anak mudanya dengan santai berjalan melenggok menuju
gagang telepon. “Jangan kau angkat, modar kau kalau kau angkat juga, kena
santap hantunya kau, belum lagi kau menikah kan, tak percaya kau sama aku.!!” Sambil
melempar bantal ke muka suaminya.
Aku merasa hal yang belain
dalam trip kali ini, solo trip, yang sudah-sudah kujalani, tak ada rasa
tanggung jawab untuk ini itu, apa yang ditemui di perjalanan itulah my adventure.
“Mat, ko sambungkan dulu
hape ku ini macam punya ko itu, biar bisa pula aku upload foto ke halaman
fesbukku”. Pinta pak amir.
“Sini lah aku bantu pak,”
sela pak Rudi.
“ah, jangan lah, si mamat
saja, dia sering keluar negeri”. Tepisnya.
Apa-apa mesti aku yang
dipakai, apalah coba hubungannya sering keluar negeri dengan menyambungkan wifi
ke perangkat. Akupun heran, mungkin kaum tua memang kuat hidupnya di zaman orde
baru, terkekang sikit, susah untuk bermanuver sendiri. Atau kurang terbuka atau
apalah aku tak tau.
Menjelang sore kami hanya
stay di kamar hotel, saat keluar mencari makan. Pak amir tak tahan lagi ingin
pulang, minta tolong pesawatnya dimajukan, biarlah dia tak ikut supremasi hari
raya di Kedubes nanti, tak ada yang bisa ia makan, paha dan dada ayam
montok-montok dipinggir jalan tak kunjung membuat selera makannya datang,
alasannya disana sini menunya menuliskan “pork”.
Dia memohon sungguh, iba aku melihatnya. Ia berjalan mengikutiku, merayu-rayu
supaya dia balik ke Batam lebih dulu.
Pening juga aku trip dengan
tim ini. Serasa aku jadi ibu, atau single
parent untuk mereka, padahal aku paling muda. Muda sekali malah.
Namun jumpa juga obatnya
untuk makan malam, ayam goreng pakcik tua. Yang sedemikian rupa menjadi makanan
pokok kami di Bangkok.
Menjelang malam, ada lagi
ulah bapak-bapak yang terhormat ini, mereka tak bisa tidur karena merasa
gamang, terpengaruh pendangan siang tadi. Mereka minta ganti kamar ke zona
standar saja. Aku lagi yang disiksa untuk pergi ke lobi. Padahal sudah ku
telpon resepsionisnya kalau tidak bisa ganti kamar. Aku turun juga ke lobi di
lantai delapan belas, berdua dengan pak Rudi, aku translate lengkap-lengkap ucapan resepsionis yang mengatakan kalau
kamar sudah dipakai tidak dapat di ganti lagi kecuali di charge full untuk satu malam.
Kalau boleh sebut nama,
hotelnya bernama Baiyoke Sky hotel,
ada tiga tower. Baiyoke Suite Hotel, Baiyoke
Boutique Hotel, dan Baiyoke Sky Hotel
sebagai tower utama yang tertinggi. Kalau ada kesempatan ke Bangkok, cobalah
naik walau tak menginap, tapi dikenakan biaya entah tiga ratus baht entah
berapa, tapi kalau tamu hotel, bebas naik turun seberapa suka. Sampai encok pun
meh.