Sebuah Prolog

Seorang anak laki-laki, sebut saja Musa, lahir pada tanggal 11 September 1990, di sebilah papan dinding rumah tertulis arang dengan tulisan tangan. Anak lelaki, setelah seorang Ibu melahirkan dua anak perempuan, artinya lelaki nomor tiga (3). Bahagia tentu, Ia tumbuh menjadi seorang anak yang hyperaktif. Cukup bahkan sangat nakal dibanding teman-temannya yang sebaya. Hidup melarat di lingkungan persawahan, karena kehidupan yang cukup sulit sebagai keluarga muda, dua kakak perempuan Musa terpaksa dibesarkan oleh kakak kandung Ibu. Sekali-kali mereka datang saat libur sekolah. Pulang kampung namanya.

Saat menjadi anak usia tiga tahunan, Musa menjelma bagai ulat cabe yang tak bisa diam. Ada ada saja sambaran tangannya, ada saja yang mau dipanjat, dengan corak kehidupan dikampung yang sangat terbatas penghasilannya, orang tua Musa hanya punya alat dapur yang serba plastik, sementara piring kaca adalah barang mewah dikala itu.


Untuk lebih enaknya, nama Musa akan penulis jadikan "Aku" saja. Masa kecil adalah prolog dari kehidupan saat ini. Saat aku menulis ini, aku teringat akan Ibu, Ia lah yang menceritakan sepenggal kisah masa kecilku. Aku dikata sangat nakal dan 'lasak'. Kian kemari aku mencari padanan kata 'lasak' dalam bahasa Indonesia, tetap saja kalimatnya tidak penuh menerjemahkan cerita. Terpaksa aku memakai kata itu saja.

Kenakalan pertama yang membuat Ibu menangis menceritakannya adalah, saat aku berumur kira-kira tiga tahunan, aku dibawa jajan pagi hari ketika ibu hendak berhutang gula dan kopi dikedai, saat itu memang sedang ada saudara Ibu, atau Pamanku, yang datang ke kampung untuk mengunjungi Ibu, untuk bertukar kabar dan memastikan saudaranya baik-baik saja. Karena kenapa, zaman dikala itu belumlah secanggih saat ini. Aku ikut ke kedai, tetapi untuk membeli gula dan kopi saja Ibu berencana ingin berhutang dulu. Hampir dua kilometer berjalan dari areal sawah menuju perkampungan tempat kedai berada -Batu Taba namanya-, sekali seminggu ayah akan bangun pagi membeli goreng pisang dan ketan ditempat ini. Aku ingat, Ibu menggendongku, entah mengapa memori ini satu yang kuingat sampai sekarang, saat Ibu menggendongku, aku mendapat arah memandang kebelakang, memandang jalanan yang sudah kami tempuh, sedangkan Ibu hanya diam fokus ke jalanan.


Aku tak berharap beli ini dan itu apalagi menagis minta balon dan lain lain, tapi aku cuma seperti cacing kepanasan saja, bertingkah liar, jangkau sana sini, berlarian sana sini susah dikendalikan. Hingga akhirnya aku menjangkau keranjang telur itik yang berisi penuh, baru saja pemilik kedai selesai me-lap telur telur itu karena baru dipanen dari kandang. Ibu menangis, karena ia mulai mengira ngira berapa harga ganti rugi untuk telur itik, memang tidak pecah semuanya, karena baginya uang adalah hal yang paling susah didunia ini. Ibu menangis berjanji kepada tukang kedai akan menggantinya. Ibu jadi tidak enak berhutang gula, lalu berniat pulang saja pulang tanpa membawa apa-apa, syukurlah penjaga kedai punya rasa hiba, sudah jauh jauh berjalan, ibu pulang juga dengan seperempat kilo gula putih dan sebungkus kopi hitam tubruk seberat satu ons saja. Setelah mendapat uang dari agen pencari kunyit dan lengkoas, ayah akan membayarnya ke kampung. Pergi membayar utang berarti sebuah perjalanan bagi kami.
 

Aku hanya anak kecil dikala itu, aku tak akan tahu betapa sedihnya hati seorang Ibu berkat tingkah anaknya. Telingaku merah disentil, kiri kanan hampir setiap hari, bahkan tiga kali sehari, tapi kata Ibu aku tak juga kunjung jera. Tidak hanya dirumah, saat kenduri pun aku dibawa, kenapa dibawa? karena tidak ada temanku untuk ditinggal, tak ada kakak, ayahpun pergi bekerja. Kemana-mana selalu di ketiak ibu, masuk sawahpun aku akan ikut ibu. Kenapa tidak dilarang saja? hmm, kalau aku tahu kata larangan, pasti tidak akan susah mengendalikan.
 

Itulah sosok Ibu bagiku, kadang Ibu harus menidurkan aku dulu disebuah buayan bersangkut di rerantingan pohon alpukat di pematang sawah sambil ibu menyanyi entah lagu apa, liriknya cuma 'tidurlah nak, anakku sayang, tidurlah nakk' tetapi dinyanyikan mendayu-dayu sambil menarik-narik ujung kain buayan. Itu saja sampai hilang karena aku sudah tumbang. Ini dimaksudkan karena Ibu tak tega membiarkanku tetap masuk sawah berpanas-panasan. Setelah aku tidur barulah ia akan menyiangi padi disawah. Sambil sesekali kembali ke pohon alpukat memastikan aku masih tidur.

Pernah katanya saat terbangun aku langsung turun, dan bermain dengan kalajengking sebesar empat jari tangan orang dewasa ditumpukan kayu lapuk. Aku menggenggam Kalajengking seperti menggenggam anak ayam, tapi ajaibnya, Kala berbadan hitam mengkilat itu tak menyengatku sama sekali. Ibu yang terkejut shock melibaskan kain tengkuluknya ke tanganku hingga kalajengking itu terpelanting. Aku segera menagis dan dipeluk, aku menagis bukan karena dijepit atau disengat kalajengking, tapi terkejut melihat ibu yang tiba-tiba brutal melibas tanganku, aku merasa ibu tak pernah bersikap begitu. Saat menceritakan ini aku segera memeluk ibu, terasa sekali tubuhnya mulai kurus.


Bagiku waktu itu, tidur siang adalah momok yang paling menakutkan didunia ini. Kata ibu membujukku untuk tidur siang lebih susah daripada membujuk harimau supaya tidak mengaum. Barulah saat ini aku sadar, apa yang kutakutkan diwaktu kecil adalah yang paling aku inginkan dimasa dewasa, ingin rasanya bisa tidur siang. Tapi apa? banyak tanggung jawab yang tak bisa dengan mudah dibawa tidur.


Jadilah hari itu, aku senang karena ramai, Kenduri di kampung dengan suasana Ibu-ibu memasak di halaman rumah yang disulap jadi dapur dadakan. setelah tamu-tamu makan diruang depan, piring kotor di oper ke dapur untuk segera dicuci oleh ibu-ibu, karena tempat cuci piring letaknya agak dibelakang, tak tahu angin apa, seorang ibu-ibu melihatku mengencingi tumpukan piring. Lalu suasana heboh, bagaimana tidak, saat anak-anak seumuran tiga tahunan hanya bermain di arena lapangan, aku merasa arena itu kurang memuaskan. Butuh tempat yang lebih dari itu. Seorang Ibu-ibu sampai marah dan berkata kalau saat lahir aku tak di azankan.


Kata ibu waktu itu, ada yang kurang suka, aku didukunkan orang, sehingga aku sakit, aku tak semangat, tak lagi lincah, tak mungkin aku berubah seperti itu, biasanya bagai cacing kepanasan, sekarang seperti cacing dibekukan. Lalu diobatilah kepada dukun lain, waktu itu menurut cerita, ayah membawa dua ekor ikan mas, yang satu berwarna merah dan satu hitam, dipanggang bumbu keduanya dengan kemenyan, diletakkan kehadapanku, jika yang merah adalah ikan yang pertama kali ku sambar, maka aku harus dibawa ke dukunnya, jika yang hitam maka namaku harus diganti, sehingga tak boleh ada lagi nama panggilanku dipanggil. Maka, yang kusambar pertama kali kata Ibu adalah yang hitam. Lalu semenjak itu namaku berganti. Sungguh ajaib, aku kembali menjadi lincah bertingkah tak terkendali. Tapi ibu lebih awas, dia tetap membiarkan namun tidak mengganggu orang lain.
 

Kenakalanku tak sampai disana, Ibu susah untuk bekerja karena aku selalu saja ikut kesawah, membahayakan dan sangat tidak baik untuk anak-anak berpanasan. Ibu terpaksa memohon kepada nenek untuk menitipkanku kepadanya sampai ia panen hasil sawahnya. Nenek mengiyakan, lalu aku berangkat kerumah nenek. Di tempat nenek, rumahnya ber-anjung, dibawahnya adalah kandang ayam, didepannya ada sebuah kolam ikan, sama saja sebenarnya. Baru dua hari aku disana, bersedih karena tak ingin pisah sama Ibu, aku sudah bertingkah, hari itu aku menyelip masuk ke kandang ayam dari papan lantai rumah. Papan ini memang disengaja bisa dibuka tutup supaya mudah masuk mengambil telur ayam. tetapi letaknya dibawah tikar pandan, apabila tidak disingkap dulu tikarnya, maka ia akan menutupi papan kandang. Aku melompat kedalam, karena masih kecil aku tak bisa naik, aku takut minta tolong juga takut dimarahi nenek.

Aku diam saja didalam kandang ayam, hingga nenek kehilangan, aku menikmati bermain dalam kandang, karena banyak barang-barang mainan terjatuh. Sorenya ketika hendak mulai mencari, atuk mencurigai sesuatu, ayam-ayam tetap berkerumun didepan pintu kadang disamping rumah. Hingga atuk membuka lebar pintu lantai dan menggendongku naik dengan baju yang penuh lumuran tahi ayam. Atuk tidak marah.


Hari berikutnya atuk sudah pergi memecah batu, nenek juga sibuk memasak didapur, meniup api tungku supaya menyala, keluar masuk memetik pucuk dedaunan untuk sayur. Kali ini nenek yang bercerita, saat pulang kampung ketika libur kuliah. Aku bermain dihalaman, kolam ikan dipagar dengan baik, tetapi ada bagian tepian untuk mencuci piring, entah apa yang kulakukan seorang bapak berteriak-teriak memanggil nenek karena aku sudah terngangap hampir tenggelam. Nenek hampir menyerah, minggu berikutnya adalah minggu yang tak bisa ditawar lagi, aku diam-diam mengekor atuk pergi memecah batu, dengan seekor anjing yang lucu aku bermain dengannya. Batu yang baru dipecah adalah batu runcing batu alam untuk pondasi rumah yang akan dijual. Aku main kejar-kejaran dengan anjing hitam yang lucu itu, hingga ia lari ke tumpukan batu, aku ikut mengejar dan memanjat, lalu malang sebuah batu jatuh menimpa kaki kiriku, tepat ditengah punggung kaki. Robek dan aku menagis sejadi-jadinya, atuk terperanjat lalu mengejar, kakiku dibalut dengan alas kasur yang digunting lalu dilarikan kerumah sakit oleh atuk dengan berlari-lari menyusuri pematang. Inilah bekas luka yang kubawa hingga saat ini.


Atuk dan Nenek menyerah, saat sudah dijahit lukaku, aku dikembalikan pada ibu, sampai bertemu Ibu, Ibu pingsan melihatku. Tak lagi ibu mengirimku pada nenek.
 

Yang cukup memalukan waktu jatuh dari pohon jambu biji, buahnya masak diujung dahan yang meliuk kearah sawah tetangga, aku memanjatnya sampai dapat, malang tak dapat ditolak, peganganku yang sebesar lidi ambruk tak dapat menahanku, aku jatuh masuk sawah berlumuran lumpur, pemilik sawah bukannya menolong malah memaki-maki, karena padinya rebah. Untung saja masuk kesawah berlumpur, kalau jatuh ke batu, modar aku.

Aku beranjak besar, berumur hampir lima tahun, aku tak punya teman untuk ditinggal saat ibu dan ayah harus bekerja disawah. Terpaksa aku dimasukkan sekolah, sekolah kembar, disatu kompleks ada dua sekolah dasar negeri. Ibu bangun pagi mengantarku ke sekolah SD, memang TK tak ada di kampung, ibu merasa agaknya bangga sekali anaknya sudah mau sekolah. Sampai di sekolah aku duduk ke meja pendaftaran, ibu tak bisa menulis, atau merasa ragu untuk menulis formulir, lalu dibantu oleh seorang ibu guru, setelah menyebutkan tanggal lahir 11 September 1990. Bu guru menghentikan menulisnya. Lalu meminta aku dan Ibuku pulang dan kembali tahun depan. Ibu tetap memaksa, hingga bu Guru berkata kasar 


"asal ibu tau, kami disini bukan pengasuh anak, sekarang silakan ibu pulang". Teriak bu Guru lantang.


Kami kembali pulang, Ibu menangis lagi sepanjang jalan, sampai disawah, Ibu bercerita pada ayah. Ayah bersikeras, jika aku tidak kesekolah, mereka takkan bisa bekerja penuh merawat tanaman. Sekali lagi, aku diseret lagi ke perkampungan, aku sudah seperti gerobak saja ditarik kian kemari, tadi ibu, kali ini bersama ayah, kami mendaftar lagi di sekolah seberang, ayah cukup licik, membuatku langsung diterima untuk sekolah. Cheat nya adalah tahun lahirku dinaikkan setahun. Tak ada yang akan memverifikasi, karena tak satupun kami yang punya akte kelahiran.


Saat aku sudah bisa diletak disekolah, ibu mulai berjualan, saat masa-masa ibu berjualan, itu adalah masa kaya kami. Bisa membeli sate, saat ke pasar. Bisa membeli biskuit.


Aku mulai bersekolah, kata Ibu saat sekolah tingkah laku ku jauh berubah, sedikit lebih mudah diatur, tidak lagi 'lasak', dan mulai belajar mandiri. Tanpa diantar pun pagi-pagi aku berangkat kesekolah sendiri, terpaksa juga ibu mengejarku dan mengiring dari belakang sambil sembunyi-sembunyi, kata ibu begitu. Saat terima rapor pun aku dapat ranking lima. empat orang diatas ku adalah anak guru. Pernah sekali aku Juara tiga. Saat guru kelas kami adalah guru yang baru ditempatkan dikampung kami. Ibu senang sekali, waktu itu disekolah kami yang juara akan mendapatkan hadiah buku yang dibungkus seperti kado. Bukunya di stempel sekolah dihalaman depan.


Aku semakin bersemangat sekolah, bisa dapat uang jajan, bisa belanja macam-macam disekolah. Menggambar, bernyanyi, teman-teman, kejar-kejaran. Pelajaran berhitung paling aku sukai, dirumah semua dihitung, papan dinding rumah dihitung, tiang rumah dihitung. Pokoknya kecenderungan kesukaanku pada Matematika.
 

Menginjak kelas empat, aku sudah semakin bisa sendiri, sawah kami pindah, karena ayah dan ibu membeli lahan baru, aku kurang suka karena berangkat kesekolah harus melepas sepatu melewati sawah, dan akan di pasang lagi setelah melintasi sungai kecil, saat hari hujan, air sungai akan besar dan kotor membuat kami susah menyeberang. Terpaksa melintas dari jembatan pohon kelapa dengan pegangan bambu kering. Kurang menyenangkan, tapi dari tempat ini ada empat orang teman yang berangkat bersama.
 

Pulang sekolah kadang tidak langsung ke sawah, main kelereng dulu, atau mencari buah damar dulu, atau main dulu dikampung, kalau aku main dikampung, aku akan ditinggal sendiri sama teman-teman. Pulangnya ketakutan, saat sudah meninggalkan perkampungan di daerah sepi, aku akan start berlari terpontang panting seperti kijang diburu. Tak berhenti, tak melihat kiri kanan, apalagi melihat kebelakang sampai terlihat rumah sawah dari kejauhan. Non-stop, rasa takut membuat kaki kencang berlari. Inilah resikonya jika main dulu pulang sekolah. Sering dimarahi lagi, ya, bagaimana lagi, godaan anak-anak kampung, bermain hide and seek, bahasa gaulnya petak umpet, main galah, patok lele, hingga lupis dan gambar.

Ini semua memang kurasakan, memang kami tak terus hidup melarat, pernah juga kaya, tapi hidup kaya bagiku kurang menarik, rasa pengorbanan kurang terasa. Hidup sederhana bagiku menarik dan rasanya tidak memalukan. Masa kecil adalah pengantar masa dewasaku. Ibu menjelma sebagai sosok yang membuatku takhluk, tak kuasa membayangkan betapa susahnya ia membesarkanku. Kadang masih terbawa dalam pikiran, bahwa kecil sekali area bermainku, hingga kadang selalu timbul keinginan untuk merasakan tempat bermain yang luas.


Ibu selesai bercerita, saat aku tengah makan enak, kebanyakan mengambil nasi hingga bersisa. Aku diam-diam ke dapur, mau membuang nasi sisa, ibu mungkin membaca gerak-gerikku. Saat hendak melakukannya, eh, ibu datang dibelakang dengan tangkai sapu. Lalu aku akan lari sampai melompat-lompat sofa, ibu memintas-mintas sambil mengancamkan tangkai sapu. Tapi ujungnya hanya dipeluk dan dicium, huft, aku sudah besar dan lulus kuliah, kadang malu kalau dilihat orang, sekali-kali pulang kampung. Inilah yang kuhadapi jika serakah mengambil nasi. I miss you mom.


Itulah cerita Musa, katanya, namun kemana nama Ebrahim menghilang. Entahlah.
0 Responses