Peluh Ayah



Tinggi, dengan lima jenjang. Barulah kau akan tiba diteras rumahku. Anggrek putih menggantung dipinggang tiang, kalau angin sedang bertiup kearah hidungmu, mungkin kau akan mencium semerbak aromanya. Lantai semen yang kesat akan kau rasakan kalau kau berniat melepas alas kakimu. Tapi memang seharusnya kau melepaskannya, karena tidak selalu ibuku atau adik perempuanku bisa menyapunya, kadang-kadang dia malas dan lebih memilih bermain karet gelang di halaman belakang. Sebelum sampai ke pintu masuk, kau bisa berkaca dulu pada kaca jendelaku disebelahnya. Aku tahu biasanya kalau kau sudah merasa cantik atau tampan, barulah kau ketuk pintunya.
Biasanya sebelum pintu dibukakan, jikalau kau masih tetap mengetukkan patahan jemarimu, ayahku akan berkata “sebentar!”, ayah akan bangkit dari kursi kebesarannya, mengambil tongkat disebelahnya dan bergegas membuka pintu untukmu. Senyum ayah manis, maaf saja kalau kau tergoda. Ia akan menyapamu dan membuka pintu lebar-lebar, walaupun kau kurus.
Kalau kau menanyakanku pada ayah, ayah akan melihat arlojinya. Kalau kau perempuan, ayah akan memintamu untuk menunggu di kursi rotan. Tapi kalau kau temanku, pastilah ayah hafal nama dan wajahnya. Karena ayah tak kalah gaul dengan anak muda. Wajahnya tampan, senyumnya hangat. Sebelum kau masuk kekamarku, ayah akan berpesan untukku agar aku segera mengecilkan musik rock yang kulantangkan keras. Jikalau ayah kesal, dia akan menjulurkan kepalanya kekamarku dan membuat kode ditangannya agar aku melunakkan musikku. Pasti ditelevisi sudah mulai tayang Dunia Dalam Berita.
Dahulu kau menghidupi kami dengan mewah, apapun yang kuminta kau selalu kabulkan, bahkan ayah pernah membelikan mainan untukku padahal aku tak meminta. Ayah saja yang menyarankanku untuk memainkan mainan itu. Ketika ayah pulang bekerja, saat aku masih kecil, aku mengintip dibalik pintu, hampir setiap hari aku mengejutkannya. Aku senang melihat ayah terkejut, sampai aku tergelak-gelak. Padahal ayah sebenarnya tidak terkejut sama sekali.
Aku sebagai pangeran dirumah, ayah sebagai rajanya. Adikku perempuan semua, kakakku juga. Kadang aku hanya jahil mengganggu mereka yang sedang berdandan. Selalu saja kulihat mereka senyum-senyum tak menentu didepan cermin dikamarnya. Dasar wanita pikirku.
Aku beranjak remaja, ayah sebagai motivator terbesarku. Ayah mengajarku melukis, ayah mengajarku berimajinasi, ayah mengajarku bersantai dengan cara meletakkan kedua tangan di kuduk, dan memanjangkan kaki keatas meja, sambil memejamkan mata. Senang sekali. Tiap sore aku dijulang dipundaknya berangkat ke mesjid untuk sembahyang magrib. Aku juga sering dibawa bersepeda berkeliling lahan karet dipagi minggu. Aku dan ayah berteman.
Aku sudah tumbuh menjadi diriku, aku tahu apa itu privasi, aku tahu apa itu kehendak, aku tahu apa itu permintaan. Tapi aku tak tahu bahwa aku dalam masa yang tak menentu. Aku tak mampu mengelola semua itu. Untunglah kau tahu peran dan tanggungjawabmu terhadap diriku. Sedikit-sedikit caramu dapat kuterima, ajakanmu sudah sering kuabaikan, seperti aku punya dunia lain dan itu lebih penting. Larangan ayah seperti hambatan besar untuk dunia itu.
Tak lama setelah itu, ayah kecelakaan ditempat kerjanya, kakinya terjepit pipa minyak dari besi saat memantau anggotanya kelapangan. Terpaksa ayah harus menjadi cacat saat ini. Ayah kehilangan senyumnya, tak kudapati sedikitpun sudut bibirnya merenggang memberi senyum. Kecuali tatkala ada teman-temannya yang membesuk kerumah, ayah seperti biasanya, bahkan lebih ceria daripada biasanya. Seperti tidak terjadi apapun. Ayah paling tak bisa dianggap tidak mampu. Ketika kudengar ibu berkata pada adikku, agar membuatkan secangkir teh untuk ayah, adik berkilah sedang belajar, ternyata ayah mendengarnya. Kami mendapati rak piring beruntun jatuh. Ayah tertelungkup disana, karena beliau belum mahir memakai tongkat. Tangannya berdarah karena ia berusaha membuat teh sendiri.
Aku benar-benar dituntut untuk mengerti pikiran ayah. Ketika semua sudah tertidur tengah malam, kudengar ayah mengaji. Rasa mengantukku hilang, aku rasa aku sudah lama tidak bercerita dengan temanku itu, iya dialah ayah. Aku keluar dan duduk disampingnya, seperti orang setengah tidur, padahal aku sudah benar-benar terjaga.
Ayah menutup ayatnya, dia memandangku kesamping, dan bertanya. Apakah kita masih berteman?. Aku tersentak hebat. Seolah tak ingin seperti orang terkejut, aku mengangguk. Ayah bertanya, kau merokok disekolahmu? Aku kesal, dan takut ketahuan. Aku menjauh dari ayah, aku sudah berniat untuk jujur. Kukatakan iya. Ayah tersenyum padaku, aku semakin cemas, ayah memintaku untuk duduk disampingnya.
Aku tahu ayah tidak merokok, ayah berhenti merokok sejak lama, ketika aku masih kecil, ayah sepertinya tersiksa tanpa rokok awal-awal berusaha berhenti merokok. Ayah selalu meminta bagian dari apa yang kubeli, gula-gula, kerupuk cap rumah adat, sampai kerupuk berhadiah. Ayah sering memintaku untuk membelinya, aku hanya mengambil hadiahnya dan kerupuknya jadi bagian ayah. Lama sekali prosesnya. Sampai-sampai ayah melahap ubi rebus yang belum masak didalam periuk untuk mengalihkan keinginannya.
Ayah kembali mengingatkanku pada masa itu, ayah duduk dilantai dan memegang kursi yang kududuki. Beliau menatapku, aku hanya pura-pura mengantuk. Dengan lembut ayah berkata, Dalam diri manusia sejatinya sudah ada timbangan nak, walaupun tanpa skala. Kita bisa mengukur, memperkirakan, dan menimbang sesuatu. Jika kau pikir yang kau lakukan itu perlu untuk kau lakukan, lakukanlah, jika tidak perlu rasanya buang-buang keringat untuk kau lakukan. Tapi jangan lupa kau ceritakan pada ayah. Kalau kau masih anggap ayah sebagai temanmu.
Nasehat tengah malam, dalam sunyi aku tertusuk dan tersentuh. Rasanya ada yang sesak didadaku. Ayah bangkit dan meraih tongkatnya, tapi ia tak mampu. Tongkat kayu itu jatuh, sepertinya ayah sengaja. Aku bergegas menolong ayah. Beliau meminta tolong duduk kekursi rotan, tapi sepertinya ayah kesusahan duduk disana. Apalagi kalau tak ada orang dirumah, ibu pergi kepasar, adik-adik sudah berangkat sekolah, kakak juga sudah berangkat kerja.
Tinggallah ayah sendiri dirumah, tak terpikirkan olehku apa yang ayah rasakan berdiam diri dirumah. Karena jiwanya sudah pasti pekerja keras. Minggu ke minggu, bulan kebulan, ayah sudah tabah dan menerima keadaannya hari ini. Aku semakin sering bercerita dengannya. Akhir bulan lalu, aku menarik uang tabunganku di Bank, untuk membelikan kursi untuk ayah. Bukan kursi roda, karena aku tahu ayah takkan terima, karena ayah harus menggerakkan badannya. Ayah sepertinya senang, beliau tersenyum padaku dan mengusap kepalaku. Aku senang dapat membantu. Ternyata membantu siapapun yang butuh bantuan itu menyenangkan.
Kini ayah menemukan tugas barunya, bertanam anggrek dan menggunting kain. Ibuku bagian menajahit. Aku sudah mulai menjadi manusia dibawah kendali ayah. Aku tak memikirkan apa kata orang tentang diriku. Aku tak lagi mau diajak merokok dibelakang sekolah, mereka bisa bangga dengan merokok, sayangnya aku lebih bangga tidak merokok.
Kini aku telah masuk kedalam arus kehidupan yang sebenarnya. Ayah sudah melepasku masuk, beliau sudah menyerahkan hidupku pada diriku yang selama ini dibawah pangkuannya. Semua hal sudah ia percayakan. Begitu banyak pesan ayah. Nah, walau kadang ingat dan kadang lupa.
Tapi ingatlah, takkan kau dapati lagi dijulang dipundak ayah, tapi kau dapat memejamkan mata membayangkan masa itu.
0 Responses