Cerita di Lepas Border
16.11
Untuk latihan agar jari ini tidak
kaku untuk menulis, oke akan saya coba bercerita dalam tulisan. Tema nya ya
masih sekitar perjalanan, membosankan memang bagi pembaca, dan lagipula tidak
banyak pembaca kok. Perjalanan sebagai tema besarnya, tapi kali ini saya akan
menceritakan mengenai pengalaman berbagi kisah saat melintas border
(Cambodia-Thailand). Seperti biasa, akan panjang sekali antrian masuk Thailand
setelah keluar dari Cambodia.
Kebanyakan yang antri adalah
bule-bule, sedangkan kami hanyalah minoritas yang terjebak dalam kerumunan. Tiba-tiba,
dari depan ada yang menyapa.
“Hai, dari Indonesia?” kata
seorang kakak-kakak sambil mengangkat buku hijau bergambar burung garuda.
“iya kak, kami dari Indonesia.! Orang
mana ya kak?” tanyaku lagi.
“Medan, kalian dari mana?”
“kami dari Padang kak” kami lalu
bersalaman.
Lalu seorang bule bertanya kepada
si kakak orang Medan, kok bisa tahu kami juga Indonesia, ya tentulah bisa
terlihat yang sejak tadi passport hijau kami pegang erat-erat bagai balon
tinggal empat.
Lalu aku dikenalkan dengan si
bule.
“kenalkan, ini suami kakak.!” Katanya
sambil senyum
Kami bersalaman sejenak, tapi
sumpah aku tak ingat lagi namanya, seorang pria dari Florida, United States. Aku
semakin penasaran, bagaimana ceritanya wanita Medan ini bersuamikan pria dari
negeri Paman Syam. Dari tipenya bang bule ini senang sekali bercerita, terlihat
dari gayanya, dan tutur bahasanya yang jelas.
Karena begitu excited, si bule
berganti posisi yang semula berada didepan kakak orang Medan, sekarang bergerak
kebelakang, lalu bercerita panjang lebar. Bagaimana awalnya ia bertemu, lalu
menikah. Ternyata mereka tergabung dalam organisasi misionaris. Lalu saat
kembali kenegara masing-masing mereka tetap kontak-kotakan, ada masa mereka
saling bertemu lagi untuk kegiatan di Indonesia, lalu tahun 2013 mereka menikah
di Medan, bukan di Kota Medan katanya, jauh lagi dari Medan.
Kami bercerita banyak seperti dua
sahabat karib yang sekian lama tidak bertemu, apa hal yang ia sukai di
Indonesia, dan juga ia banyak bertanya kegiatan saya saat ini, saat saya
bercerita ia juga sangat exited mendengarkan.
Sampai giliran saya selesai, saya
bertanya tentang organisasinya dan kegiatannya saat ini, mengapa ia masuk
Thailand dari border Cambodia, tenyata mereka mau renew izin tinggal mereka. Si
kakak Medan ini sebut saja kak Bunga, kak bunga tinggal di Sihanoukville,
sebuah kota dekat Phnom Penh, ia mengajar bahasa inggris disana sembari bisa
tinggal berdua dengan suaminya karena saat ini bang bule sedang ada projek di
Cambodia untuk dua bulan kedepan.
Habis itu mereka akan kembali ke
US untuk menetap disana. Di Thailand nanti mereka akan pergi ke, hmm, saya lupa
pemirsa nama tempat yang mereka tuju, tapi ke sebuah gereja terkenal di
Thailand. Dan akan kembali ke Kamboja dalam tiga atau empat hari kedepan
katanya begitu.
Ia bercerita juga panjang lebar
mengenai organisasi missionary nya. Menarik, saat ini mereka sudah punya lebih
dari 400 anak murid di Florida sana. Dan juga sudah pernah menjalankan misi
mereka di Indonesia bagian timur, gorontalo, papua dan daerah sekitar.
Target mereka memang berorientasi
pada anak-anak untuk memberi sentuhan spiritual, pertama kali mereka bertemu
adalah di Afrika Selatan saat itu sama-sama terlibat dalam satu kegiatan
disana, katanya mereka menyampaikan ‘wahyu’ dari Jesus dan ingin menyempurnakan
pertumbuhan anak-anak dengan iman.
Ia mempertegas dengan “I am kids
lover” yang menandakan memang ia sangat menyukai anak-anak. Saya semakin
tertarik mendengarkan kisahnya, mulai dari kegiatannya yang membuatnya keliling
dunia, hingga sesekali saya kroscek juga kepada si kakak tentu dalam bahasa
Indonesia, sehingga bang bule tidak mengerti, katanya dia tidak bisa berbahasa
Indonesia, saat dikenalkan tadi, dia kata kata, jangan bilang apa-apa biar saya
berpikir dulu katanya sembari meletakkan tangan dikening. Saya pikir mantra apa yang
hendak dikatakan, ternyata cuma ucapan “selamat siang” itu saja dalam bahasa Indonesia.
Aku tertarik ceritanya namun
lebih tertartik lagi track recordnya yang sudah menjelajahi benua hitam Afrika.
Sungguh mengagumkan.
Cerita berlanjut bukan lagi
permasalahan keliling dunia dan kegiatan organisasi missionary nya. Perlahan-lahan
ia membuka topic masalah “faith”. Pertama ia bertanya apa dasar kita menilai
kita layak masuk sorga. Sedangkan kita tetap melakukan kesalahan dimuka bumi
saat kita hidup.
Hmm, saya bingung menjawab apa,
saya memang dalam batas-batas tertentu tidak bermasalah untuk berkomunikasi
berbahasa inggris, tapi, untuk pemahaman agama, dan bahasa-bahasa yang
digunakan memang jarang sekali saya pakai. Dalam perjalanan baru kali ini topic
bahasannya masalah faith. Biasanya the most interesting topic was where you’ve
been traveled. Atau, what things to do in Siem Reap lalu bercerita damn fuckin cheap
beer, atau I got to kiss a hot sexy lady, atau perihal Booty Asian. Itu yang
sering American diskusikan saat mereka sudah bisa dengan santai berkenalan
dengan saya.
Tapi ini berbeda sikit, saya
jawab sekedarnya kalau kita berbuat salah disediakan pengampunan. Lalu dia
mencari buntut jawaban saya dengan membuat pertanyaan baru, dan mengeluarkan
statement, kita butuh Jesus untuk memohon kepada father agar dosa kita
diampuni. Mungkin yang saya tangkap begitu.
Jujur ia orang yang sangat
menguasai sekali, aku jadi tak bisa berbicara banyak sembari mengalih-alihkan
pembicaraan dengan pura-puranya diskusi dengan Intan, Eni dan Feni. Lalu dengan
sangat sederhana dan terkontrol ia mulai memberi contoh-contoh yang memang
lintas agama ini akan sulit dimengerti satu sama lain, ia membacakan kutipan
alkitab lengkap ia sebutkan nama surat dan ayatnya.
Menyenangkan sekali bisa
mendengarkan hal yang baru, bertemu bang bule ini membuat saya merasa menemukan
kisah yang tak pernah saya temui sebelumnya. It was nice to be traveler, each
time you walk away, possible for me to meet plenty of good people yang akan
memperkaya pandangan.
Dari cerita berbeda, di Bangkok,
sebuah gerai 7-11 di kawasan surga backpacker, Khaosan Road, siapa yang tidak
tahu Khaosan Road, bahkan dalam sebuah website menyatakan dengan tegas bahwa
nama Khaosan Road merupakan standar seseorang itu dikatakan traveler.
Saat itu dalam gerai, saya
memilih-milih yoghurt, lama sekali, karena saya memperhatikan label Halal
Thailand. Seorang ibu-ibu bersama anaknya, buru-buru memanggil suaminya untuk
datang pada saya, lalu berkata dalam bahasanya, ya mereka orang Iran, lalu si
bapak bertanya pada saya.
“you’re Muslim?” tanyanya sambil
menjulurkan tangan
Yap, I am a muslim,” saya balas
jabatan tangan
“Where are you from?”
“I’m from Indonesia, sir”
jawabku, lumayan heran juga.
“assalamualaikum brother”
katanya, ramah sekali.
Ia bertanya bagaimana tips
menemukan makanan halal di Thailand, saya hanya tahu untuk memeriksa label
halal saja, lalu ia dengan istrinya berbicara sejenak tentu berbahasa Iran. Terus
ia bertanya, bahwa setelah ini mereka akan pergi ke Indonesia, bagaimana nanti
menemukan makanan halal. Saya hanya menjawab untuk tidak perlu risau masalah
makanan halal di Indonesia, setiap jajanannya dipenuhi dengan makanan dan
minuman halal.
Tidak habis keanehan sampai
disitu, ia malah mau minta diperlihatkan bentuk uang rupiah, saya lihatkan yang
pecahan lima ribu.
“how much does it, I mean in US
Dollar” ia mengambil uang lima ribuan lalu meneliti dengan saksama.
Gerai 7-11 ini sempit jadi, kami harus
menepi setiap kali ada pengunjung lain yang lewat. Kalau ia nanti mengambilnya
saya juga rela kok cuma lima ribu.
“It’s just about 50 cents or
something” jawabku kurang nyaman.
“You have big amount of this
notes?” tanyanya lagi.
Saya semakin curiga, tapi it is
about how to ruin a negative though. Ternyata ia benar-benar hanya ingin tahu,
uang-uang saya dikembalikan lagi, lalu ia menyalami lagi.
“It’s nice to meet you, brother”
ia berkata sangat antusias sekali.
“Nice to meet you, sir.! See you
again” aku beranjak pergi.
“assalamulaiakum,” tak lupa juga
ia mengucap salam
“waalaikum salam”
Ini bukan bertema rasis, ini
keberagaman yang terhampar menyediakan hal-hal diluar yang mampu kita temui
secara nyata, bukan melihat di televisi, atau mendengarnya di radio, inilah pentingnya kita untuk punya basis dalam setiap
hal untuk tidak menggeser nilai-nilai yang positif yang telah kita pegang.