Kawan Kecil di Cambodia
01.10
Aku siap
menunggangi sepeda pilihanku, siap pula dengan ancang-ancang untuk melaju,
kuderingkan bel untuk memberi kode supaya Elly mempercepat memilih sepeda yang
cocok untuknya, ia masih sibuk memeriksa ban, menggoyang-goyangkan stang,
sadel, pedal, dan keranjangnya. Dengan raut muka tak yakin satu pilihan dapat
juga. Sepeda ini nantinya akan kami gunakan untuk didayung menyusuri daerah
pinggiran kota. Satu dollar lima puluh sen untuk satu sepeda, dengan jaminan
passport kami tinggalkan kepada pemilik. Papan penunjuk jalan mengarahkan kami
menuju tujuan yang cukup jauh sebagai ujungnya, danau Tonle Sap.
Tengah hari
panas menggelegak, jalanan sempit diaspal kasar dan berlubang, lapisan tanahnya
mudah sekali berdebu. Bocah-bocah bersepeda yang membuat ramai jalanan,
berboncengan dengan sepeda kecil, semuanya berseragam sekolah, bahkan tas
mereka ada yang hanya kantong kresek berisi buku dan pensil.
Mereka riuh
menyapa kami yang masuk dalam rombongan. Dengan penampilan seperti ini tak
salah jika aku dianggap Khmers, kulit hanya sedikit lebih terang, wajah asia
tak banyak perbedaan, bangkai manusia asia tenggara pun berbaur rata. Pantas
saja kami disapa dan disahuti dengan bahasa Khmers.
“Bong,.!!!” salah satu anak menyapa. Aku tahu sapaan ‘bong’.
“Hey, we’re not Khmers. I’m from Indonesia
and my friend from Malaysia” aku menyahuti.
Elly
berkulit hitam manis, berdarah India-Melayu. Semua citra dirinya menggambarkan
gadis dari negeri anak benua yang cantik rupawan. Aku grogi memandang matanya
yang tajam dan menakjubkan. Ah, sudahlah nanti terkesan aku memberi sinyal
pertanda lain.
Sadar kalau
hari ini mereka menemui orang asing serupa orang lokal mereka langsung terkekeh
berusaha mengucap bahasa Inggris. Anak-anak disini memang lebih terbuka dan
biasa menerima kedatangan tamu asing dari berbagai belahan dunia.
Seorang anak
lelaki gempal, mungkin masih TK atau kelas satu SD, badannya bulat agak gendut
menantangku adu pacu sepeda dengannya. Ia merapat kearahku sambil memajukan
arah badan sambil mengontak pedal seperti menandakan pertarungan. Aku hanya
tersenyum kearahnya, kupikir sepeda kecil layaknya upil yang mudah disentil, takkan
ada apa-apanya ketimbang sepedaku, satu putaran rodaku seimbang dengan tiga
kali putaran ia mengayuh.
Namun
gertakannya menghidupkan birahi pertarungan di dada, aku menyanggupi
mengernyitkan alis dan menyipitkan mata, lagaknya saat Eddy Guererro
mendapatkan kesempatan akan membanting tubuh lawannya bak adonan kulit martabak
mesir di atas ring.
Kehormatan
Indonesia seperti dipertaruhkan disini. Kami disoraki, tak tahu siapa yang
mereka dukung. Dengan sepeda kecilnya ia lihai menginjak pedal seperti bayangan
lalu secepat kilat melesat jauh didepanku, sumpah, aku tak menyangka, entah
pakai sihir sakti lagi mandraguna tak jelas yang pasti aku terpongah melihat
sepeda sebesar lidi itu melesat seperti lalat, merasa mendapat lawan tak
sebanding, ia menoleh kebelakang lalu melambat seperti merendahkan kemampuan
bersepedaku. Wajahnya seperti mengundang teman-temannya supaya menyorakkan
dukungan padanya. Hmm, aku geram.
Aku terbakar
ego tak mau dikalahkan anak kecil, atau aku akan jadi pecundang, demi Indonesia
sempak pun akan kupertaruhkan. Kukecoh dia yang sudah berhenti didepan,
pura-puranya aku tak ingin ikut balapan, kukayuh sepeda dengan santai penuh senyuman,
manusia-manusia di kiri dan kanan kuanggap pohon cemara, setelah dekat bak
Valentino Rossi menggasingkan ban kuda empat enam nya digaris start aku melesat
didepannya, perang kembali dimulai sontak mengejutkannya, imajinasiku merasa
aku melesat selintas bagai cambuk Gengis Khan, debu mengepul sejenak. Sepeda
berderak-derak terhenyak dalam lubang-lubang jalan, sampai air mineral botol dalam
keranjang depan tak kuat menerima kanyataan terpelancar keluar pecah dan
berserakan, namun tak kuperdulikan, bagiku kompetisi ini lebih penting dari
sekedar gelar juara. Padahal akan lebih dramatis jika masih ada air mineral yang
bisa kutenggak dengan slow motion sambil membasahi rambut dan
mengibaskannya.
Agaknya
sebentar ia ternganga melihatku melesat. Tak mau kalah ia segera mengayuh lagi.
Kulihat kebelakang Elly dan teman-teman yang lain menyoraki sembari
melambai-lambai tak jelas mendukung siapa. Warga disekitar sampai tercengang
melihat pemandangan ini. Hampir saja aku melupakan kalau aku berkendara di
Negara dengan jalur kanan.
Aku khawatir
saat ia terlalu bersemangat mengalahkanku, sedangkan disebalik tikungan sebuah
tuk-tuk lewat dari arah berlawanan, ya benar, tuk-tuk ini membuatnya terkejut dan
mengarahkan sepeda kepinggir dengan kecepatan seperti melayang akhirnya bocah
ini kehilangan keseimbangan, sepedanya rebah terhalang balok papan nama “sedia
bibit ikan hias”. Sedangkan tubuhnya terpelanting kedalam selokan berlumpur, ia
bangkit dengan sebelah bagian badan hingga rambutnya dilumuri lumpur, untung
saja tas sekolah dan bukunya diikat di body sepeda sehingga tidak ikutan masuk
kedalam selokan. Ia tetap tertawa menyembunyikan malu, entah sakit atau
bagaimana.
Aku cemas
kalau terjadi sesuatu padanya. Semua buru-buru mengejar dari belakang, mereka
bersorak semakin heboh, warga sekitar ikut berhamburan mengerubungi, kutolong
ia membersihkan seragam sekolahnya yang berlumpur. Kuperhatikan tak ada yang
cedera, sukurlah. Kuangkat ia keluar seperti menggendong anak kambing. Seorang
bapak di bengkel sampai meninggalkan roda mobil reparasinya untuk mengerumuni
kami. Main catur di kedai kopi pun sempat bubar untuk mereka kelabakan melihat
kami.
Elly
mengabadikan momen ini dengan mengajak mereka berfoto bersama. Sepasang turis
bule yang naik dengan tuktuk menjadi terengah-engah entah terharu atau senang.
Orang-orang berdatangan, sopir tuk-tuk seperti informan terbesar yang bercerita
dengan antusias sekali.
Selanjutnya
kami bersepeda beriringan, yang lain sudah memencar dan banyak yang sudah
menikung karena sampai dirumah mereka. Tepat disebuah gang crocodile farm, teman cilik ini berhenti dan bersorak ke arahku
mencoba memberi tahu masih dalam bahasa Khmers, aku tahu maknanya bahwa ia
sudah sampai dirumahnya, ia melambaikan tangannya, ah, haru sekali, aku
menghentikan sepedaku dan berbalik kebelakang, kami bersalaman tanpa turun dari
sepeda. Ia menunjuk ke arah sebuah rumah, rumah dengan tatanan bata
sepinggangnya, dilanjutkan dengan susunan papan kayu hingga ke atap. Aku
mengiyakan, mukanya mendongak polos ke arahku.
“Keep in school, buddy, we’ll meet again
someday.” Sambil kuusap kepalanya.
Ia tersenyum
seperti tak rela, dan segera membelokkan sepedanya, kupanggil lagi dia dan
kusodorkan selembar satu dolar.
For your
victory.
“akun,
uncle”, sahutnya. Akun adalah ucapan Terima Kasih dalam bahasa Khmer.
Oh no, not
uncle, say “thanks, bro.! please”. Tapi mungkin ia malu berbahasa Inggris.
Ia senang
menerimanya sambil berlalu dengan sepeda kecil itu, tak kulepaskan pandanganku
hingga ia menutup pintu rumahnya, ia langsung merebahkan sepedanya terhempas ke
tiang jemuran. Lalu sigap berlari menuju pintu dan mendorongnya dengan cepat.
Setelah
pintu tertutup tak lantas membuatnya tak
muncul lagi, ia menyibak tirai jendela dan menjulurkan kepala dengan
tangannya masih melambaikan selembar satu dolar ke arahku. Itu bukan uang
apa-apa, hanya hadiah, nafkah tentu dari bapaknya.
Aku terharu
sekali, hanya anak kecil, baru bertemu pula dan hanya bercakap entah saling
mengerti atau tidak, lalu berpisah.
Elly selalu
diam-diam memperhatikan kami, ia tak ikut satupun percakapan, hanya menopang
dagunya di setang sepeda seperti menonton film drama. Setelah aku terkesiap ia
lalu menggoda.
“Jiwang
sangat, a happy ending bromance.!”
Ucapnya sambil bertepuk kecil menahan kagum persis seperti saat seorang jejaka ranum
dipertemukan dengan Pamela Anderson.
I think I need to have a baby soon. Kubalas
godaannya.
Kulihat Elly
masih senyum-senyum, aku yakin yang ada dalam pikirannya masih tentang cerita
haru bersama teman kecil sekilas tadi. Ia tertawa lepas saat aku menatap tajam
bola matanya untuk segera menghentikan pikirkannya.
Keceriaan
mereka sama sekali tak memperlihatkan kekeringan negeri Khmers yang semakin
nampak bertambah melarat disepanjang jalan menuju Wat Knang Pnom Krom, sebuah
pagoda diatas bukit. Sudah lumayan jauh kami mendayung sepeda, belum juga
terlihat bukit tempat pagoda berada.
I Love Cambodia.