Menyambut May Day

Korupsi di Negeri kita memang sudah semakin membudaya, tak pandang bulu, setiap orang mungkin memiliki jiwa menggelapkan dana, karena korupsi tidak terbatas pada mengambil uang Negara, tapi juga mengambil uang dari Bank Bunda, atau Bank Ayah Nasional. Membudaya diartikan bahwa korupsi juga bisa diwariskan, lihatlah berbagai tindakan remaja-remaja putra maupun putri yang menggelapkan uang pembelian buku, atau uang untuk keperluan sekolah lainnya. Jika harga buku 50.000 maka mereka akan minta lebih dari itu dengan judul permintaan adalah untuk membeli buku, selisih harga buku dengan uang yang diberikan mereka pakai untuk keperluan hura-hura, traktir teman-teman, beli pulsa, pacaran.

Contoh lainnya, dalam organisasi mahasiswa pun, ketika mereka terpaksa mencetak proposal atau keperluan dokumen lainnya, memang dengan bukti, tetapi bukti yang dibuat dengan pembayaran yang dilakukan punya perbedaan yang menguntungkan si actor untuk mendapatkan nilai dari selisih dana tersebut. Hal itu terjadi sehari-hari, di tempat jasa Printer dan foto copy yang saya amati. Memang korupsi bukan dihitung dari nominal atau jumlah yang digelapkan, banyak lagi apa-apa yang dinamakan dengan korupsi lainnya. Tetapi ini sudah menunjukkan bahwa dalam diri manusia sudah ada bibit yang tertumpuk, bibit tersebut adalah bibit korupsi, tidak dijual terpisah. Apakah bibit tersebut tumbuh dan berkembang pesat, jawabannya ia.

Apa yang dapat mencegah bibit tersebut tumbuh dan berkembang. Menurut hemat saya, aktivitas di Negara ini harus memenuhi azas reward and punishment juga, mengapa, sediakan reward untuk mereka yang mampu berbuat lebih untuk negeri, dan sediakan juga hukuman yang tidak hanya membuat mereka jera. Koruptor yang dihukum seperti tamu hotel yang diperlakukan layaknya sedang berlibur menikmati reward atas kerjanya, tak jauh berbeda antara reward dan punishment yang selama ini berjalan.

Hukuman tersebut sepertinya tidak membuat para koruptor menjadi jera, tapi hanya menghentikan tindak korupsi untuk sesaat sebelum memulai aksi yang lebih besar sambil menyusun rencana. Begitulah strata yang ada mengatur peraturan, pencuri buah kakao yang bermotif ingin menjadikan buah kakao untuk bibit, diadili tidak dengan kapasitas orang berpendidikan hukum yang baik, dengan dakwaan pasal sekian dan sekian yang tak akan dicerna seketika oleh korban, hingga dijebloskan kepenjara, mereka jarang atau tidak pernah menang. Walaupun nyata mereka salah, tanpa ada pembelaan khusus yang ditujukan untuk membela hak nya. Walaupun saat ini sudah ada lembaga bantuan hukum.

Kapitalis tak punya hati, Kapitalis memang berkata rugi dengan laba yang memenuhi rongga hatinya, dalam wacana ini masyarakat buruh dijarah dari dua sisi, koruptor yang sah mengambil uang rakyat, dan kapitalis yang mengekspoitasi mereka. Pengusaha hidup bermewah-mewah dengan rumah yang sedemikian mubazirnya untuk ditempati, kendaraan yang menyumbangkan polusi, sedangkan buruhnya hidup dengan tangan dibawah dagu, dangau yang bertema kertas. Apakah ini yang dinamakan kesejahteraan buruh.

Kekejaman kapitalis yang telah me-rodi-kan buruh memang sadis, sama halnya dengan koruptor dengan skala besar mungkin. Manakah dari konsep reformasi yang bebas, manakah wujud dari sila kelima pancasila, KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA. Seharusnya sistem ekonomi subsistensi komunis diterapkan untuk kesejahteraan buruh dan pengusaha. Biarlah tidak dibagi rata, mungkin sistem ekonomi komunis level 1 bisa mensejahterakan buruh.

0 Responses