Kostpedia
07.33
di edit dari cerita setahun yang lalu...
Musibah silih berganti pada roda hidup yang berputar lebih cepat, cukup
menghilangkan segenap harta benda mulai dari kolor yang kotor, hingga kamera
pemberian ayahanda tercinta, semuanya meleleh. Saya
segera memberitahu ayah, awalnya mungkin pura-pura menanyakan keadaanku, apakah
aku terbakar atau tidak. Kujawab “tidak ayah, anakmu baik-baik saja, hanya
saja, ya hmmm... ohhhh.. haaaa.. hmm... ehm huuuh hmmm haaa (itu hanya aku dan
ayah yang tahu bahasanya) dan segera ayah berkata, ya sudah, besok ayah kirim
kepeng itu.”. Sudahlah, tuhan menyuruhmu gantilah semua dengan yang baru..!
begitu katanya. Karena tempatkan sesuatu pada tempatnya, kau tak butuh ilmu
matematika yang mengatakan, the straight
line is the fastest way to the ends. Ya, ayahku jago bahasa inggris, kalau
dirumah, kami berbahasa minang english. Seperti, abis everything is tagageh
sih. Begitu Minang English. Ya enggak lah, ayah gak bisa bahasa inggris.
Kalau orang menyemangati kita yang sedang jatuh, pasti ada efek baiknya,
tapi kalau orang menyemangati kita yang sudah semangat berapi-api, rasanya lucu
dan asing.
Itu hanya sedikit saja, sebelumnya pada saat gempa juga telah cukup
menjadikan shocking days. Ternyata tuhan hanya sedikit memberi pesan kalau
dibalik musibah, “gantilah ceritamu dengan yang lain,” sepertinya begitu. Oke
saya ganti, saya ganti rumah, saya ganti teman, saya ganti hape, dan pastinya
kolor saya juga ganti, sebelumnya hanya polos-polos saja, sekarang rasanya
kepingin ganti dengan yang cerah, berwarna, atau bermotif saluak laka, atau
itiak pulang petang. Mana tahu warna kolor merupakan determinan dari masa
depan, semakin cerah kolor seseorang maka akan semakin cerah masa depannya, hmm
mana tahu..!! ya tidak begitulah.
Sesama korban bencana tentulah kami diperhatikan oleh teman-teman yang
lain, ada yang memberikan bantal (ehm, terima kasih yang memberi bantal), ada
juga yang lengkap, tak dipungkiri, teman-teman genta andalas, you’re amazing lah pokoknya, mulai dari
kolor hingga kasur mereka belikan untukku, entah dari mana uangnya, terakhir
untuk buat acara saja, kita keliling kota padang cari sponsor hanya dapat
rupiah segenggam. Apakah karena cerpen “peluh ibu” yang fenomenal (padahal
cerpen saya publish hanya satu selama menjabat anggota) tetapi fenomenal. Semua
pada membicarakan peluh ibu. Request banyak datang supaya saya membuat cerpen berjudul
peluh ayah dan peluh mak uwo, peluh mak etek dan peluh pak tani. Berbagai macam
lah. Tentu kalau saya menilai, banyak sisi, apakah ini sebagai cemoohan cerpen
saya yang buruk atau apresiasi karena ya asik dibaca. Saya tak tahu, I will not
judge kritik yang datang. Ya, walaupun kolor nya tidak muat, kekecilan, tapi
kau pasti berpikir, hmm NOT KIND OF THAT ONE, BITCH..!! tapi harus bagaimana?
Kunamai tiga kembar itu menjadi, yang hijau terung namanya billy, yang kelabu
namanya andrews, dan yang cokelat namanya abdul. Entahlah.
Setelah kebakaran yang saya lihat apinya berkobar-kobar besarrr sekali itu,
cukup, tak ada yang harus disesali. Hidup tak akan berhenti hanya karena kolor
terbakar. “Benar saja, bencana hari ini, akan menjadi bahan candaan di esok hari”.
Sudahlah tak perlu menangis, mau meraraw sampai kelangit ketujuh pun kolor
yang lama tak akan kembali lagi, walaupun banyak rahasia diantara kami. Aku dan
kolorku. Atau kalau boleh menjadi headline “kos kebakaran, puluhan kolor
mahasiswa terbakar, kini kerangkanya telah menyatu dengan alam”. Judul yang
menjual bukan? Nah, kita muda, kita terbatas dalam uang, segalanya, tapi kita
tak perlu terbatas untuk berfikir. Walaupun belum ada bentuk yang nyata,
kalaupun ada itu hanya dalam skala kecil, nah, tapi kan yang kecil itu adalah
unsur pembentuk dari yang besar. Anda minum air putih saat haus, itu kan
materialnya air, Gelombang Tsunami itu juga air. Ya kan?
Tapi dari kebakaran inilah grafik paling menukik tajam kebawah dari
pemetaan hidup saya, disaat cerita cinta yang saya punya sedang dalam konflik,
ibarat sinetron, sedang dicerai berai oleh pihak ketiga yang ingin merebut
perusahaan saya. Maka saya berkhayal, mereka memisahkan kami, dan mereka
membakar rumah saya hingga saya benar-benar terpuruk, tapi mereka tak sempat
memutus rem mobil saya, karena saya ceritanya belum punya mobil.
Mulai saat itu juga saya bangkit, takkan ada yang mau menggendong saya
supaya tidak terpuruk terlalu dalam, tak ada, kecuali diri sendiri, saya beli
buku tulis baru, disana ditulis secara sistematis lengkap dengan berapa waktu
yang dibutuhkan untuk survive dan beradaptasi. Karena tak mungkin menumpang
terus, cukup beberapa hari, saya menemukan kos baru, bersama dengan korban
lainnya. Kami kontrak selama setahun, sebuah rumah (ya tepat sekali, bukan
sebuah kotak) sebuah rumah yang aman dan damai. Hanya ada 3 kamar, ada lapangan
didepannya. Cukup untuk membuat kenyamanan dalam menyusun rencana menyerang
kerajaan empu gandring.
Mencoba itu harus dibarengi daya manjemen kita. Kalau kita mencoba untuk
merokok, hanya mencoba sekali-sekali tak apalah, begitu kan. Nah ternyata kalau
kita tak mampu mengelola dan tak punya dasar yang kuat, yang sekali-sekali ini
menstimulasi untuk jadi berkali-kali. Maka jangan coba untuk memulai hal yang
berhubungan dengan PASSION, kalau kau bernafsu untuk makan, maka kau maunya
makaan saja. Kalau kau bernafsu untuk menonton film beradegan bertarung didalam
kelambu. Kaupun pasti inginnya itu saja...!! maka saya ambil kesimpulan bahwa
kalau kita bekerja karena passion pasti kita tak akan mundur. Terakhir saya
baru mengetahui bahwa ada sebuah penelitian “ada 85% manusia bekerja karena gajinya besar dan hanya 15% yang bekerja
karena passion, ternyata, 10 atau 20 tahun kemudian yang kaya justru yang 15%
nya. Apakah artinya? Sama kan dengan apa yang saya jelaskan diatas?
Ini bukan sebuah tulisan ilmiah, karena berliku-liku entah kemana, antara
kepala dan pantat tidak searah, ya mana mungkin searah? Kalau pantat kiri dan
pantat kanan tentulah searah, kecuali kalau terpeleset di wese, maka pantat
akan menjadi tidak seimbang.
Kalau ceritanya berliku-liku sebagai pembelaan saya, sedangkan hidup saja
berliku, apalagi cerita saya. Hmm, begitulah. Dan takdir membuat saya harus
pindah dari kontrakan, dikarenakan satu. Saya tidak tega terus mengganggu teman
sekamar saya yang (maaf) kristen, setiap mau sembahyang harus usir dia dulu.
Karena itulah, saya sadar diri dan tidak mau terus mengganggunya. Tidak enak
mengganggu orang. Suwer.
Jadilah hari itu, saya berkelana mencari kos, bersama teman saya yang
bernama Ade, yah, namanya disebutkan saja, tidak perlu dengan “sebut saja
bunga” karena dia bukan korban pemerkosaan, juga bukan korban tabrakan mobil
avanza. Juga bukan korban Aceng. Dapatlah sebuah rumah yang didalamnya mewah
sekali, ada kasur, lemari, kamar mandi, kamar wese, dan kamar kamar lain selain
kamar jenazah. Tapi harganya, maakkkkkk 800 ribu sebulan, karena saya bukan
orang kaya uang. Maka saya bisa saja ambil dengan memangkas uang jajan sebanyak
400 ribu karena target saya hanya mencari kos yang harnyanya 400 ribu saja
sebulan.
Coret.
Kami lanjut mencari jodoh dalam kurung kost. Lalu entah kenapa barang saya
ada yang tertinggal saat mengungsi kerumah saudaranya si punya kost yang
terbakar. Lalu saya ditawari dengan emas berlian, eh. Ditawari dengan kostnya
yang kosong melompong, katanya. Setelah saya lihat, wah benar, kamar kosong,
(bukan judul film horor a.k.a bangku kosong. Hmm, pucuk dicinta, bahagia pun
tiba. Hati saya senang riang gembira. Besoknya langsung pindah.
Sayapun nginap untuk malam pertama, mandi pertama dikamar mandi, besok
paginya adalah peristiwa bersejarah yaitu boker pertama di kost baru. Wah
ternyata disini ada juga penghuni lain. Disinilah komunitas baru saya, yang
komunitas sebelumnya sudah berpencar, walau sudah merencanakan mengurus visa
untuk berangkat menuju negara lain, sudah membayangkan menginjakkan kaki di
Chatrapati Shivaji International Airport dengan memakai kacamata gelap membawa
kerel layaknya touris dari negara barat sana. Backpacker, namun ingat, bule
kalau jalan-jalan keluar negeri gak perlu bawa oleh-oleh. Teman-temannya gak
pernah minta oleh-oleh, “ya oloh cin, elo di Macau ya, jangan lupa oleh-oleh
ya”. Hanya cerita yang menginspirasi yang mereka bagikan, yang mereka anggap sangat
berharga. Tapi kita dari indonesia yang perlu oleh-oleh, cerita tak perlu,
hanya terkesan kita membanggakan diri saja. Dan dijauhi.
Komunitas baru ini lebih kompleks, tapi itulah indahnya, saya tidak pernah
pilih-pilih mau sekosan sama orang papua, jawa, batak, aceh. Mau kristen, hidu,
budha, terserah. Semakin beragam, semakin kayalah kita.
Sekarang saya tanya, apa didunia ini yang gratis, kencing aja bayar, gitu
kan. Tapi ternyata ada satu yang tak perlu kau bayar untuk mendapatkannya,
itulah teman, gratis adanya, kau dapatkan ia tanpa biaya, tapi bukan karena ia
murah, karena nilai belinya itu tak hingga, maka menjaga sahabat itu lebih
diutamakan daripada kau menjaga hubungan pacaran, karena laki-laki menjalin
persahabatan lebih erat daripada perempuan, cobalah lihat, ketika seorang
perempuan ditanya kemana dia semalam, temannya mungkin berkata, tidak tahu,
tapi cobalah pria, ketika kau tanyakan kemana ia, pasti, oh, dia dirumah sianu,
dirumah sianu, oo, semalam dirrumah sianu. Itu dia, kita tahu apa yang terjadi
dengan teman-teman. Kita tak butuh dia saudara kandung sedarah saja dengan nama
saudara, yang namanya saudara itu bagi saya terikat oleh ‘rasa’ saja.
Dari kecil saya memang tak perlu bergengsi-gengsi, tak perlu merasa
penting, tak perlu bermanja-manja, siapalah saya, pria yang tidak seberapa ini,
tapi jadi manusia harus serba bisa, kalau kita dihadapkan dengan situasi dimana
kita harus memasak, maka saya bisa memasak. Ketika dihadapkan dengan motor
pompa air rusak, saya bisa rewinding, menggulung ulang motor induksi, ketika
kita dihadapkan dengan situasi dimana kita ada uang, maka habiskan dengan cara
kita.. hmm yang terakhir bukan sebuah ke-bisa-an. Setiap orang bisa
menghabiskan uang.
Saya juga tak perlu bersombong-sombong, tak ada satupun yang bisa saya
sombongkan, kalaupun pernah terlihat sombong, itu karena ke-autisan saya karena
sibuk memikirkan masalah sendiri. Saya datangi satu persatu penghuni kos ini
dengan cinta, seperti album sulis ‘cinta rasul’ (beda). Namun ada yang begitu
mengganjal di hati, ketika saya bertemu seorang teman (sebut saja ‘bunga’). Hmm
jangan, namanya wahyu, sesaat saya perkenalkan diri, dengan lembuuuuutttttt
sekali, lemah gemulai meliuk liuk bagai tanpa tulang. Tetapi no respon, ini
bahaya. Kenapa bahaya? Karena buaya akan tetap makan walaupun hanya ada seekor
kelinci disampingnya, walaupun kita tahu kelinci itu makhluk yang luthuw,
imoet, dan wahh.. sangat menggelikan. Yah apapun lah artinya. Tapi tetap saja,
jika anda mendapati sebuah masalah, rumuskan sebanyak mungkin hipotesa dan
jangan terpaku pada nilai subjektif supaya suatu saat anda tidak mengutuk diri
anda menjadi batu, apalagi hanya batu karang, kalau batu berlian dan batu nisan
bolehlah.
Tapi rasanya ada yang kurang dari komunitas kecil ini, atau mungkin
semuanya masih baru-baru, tidak pernah melihat mereka main, ‘pak pak tani pak
tani beli roti’ rotinya kotor kotor pak tani beli motor’ atau main ‘satu
sepatu, dua kecewa, tiga mentega’. Ya, kalau saya punya prinsip, kalau kos itu
hanya untuk tinggal, sangat rugi saya bayar perbulan mahal-mahal. Tidak apa
nambah rugi sedikit lagi, tapi dapat lebih banyak bonus. Kompak dan selalu
hangat. Harus.
Dan berselang beberapa bulan, semuanya telah cair, ya semuanya, gunung
mencair, lautan mencair, hingga ingus mencair. Tinja mencair, kalau mencret.
Kini genap dua bulan saya berada disini. Bukan menghitung-hitung. Kalau saya
hitung tujuh bulan lagi saya beranak.